Chapter V -Pustaka Raja Purwa-

156 11 6
                                    

Sang rembulan muncul menggantikan sinar mentari. Langit berubah menjadi kegelapan dengan bintang-bintang bersinar terang. Wijaya muda menyadari bahwa ia harus beristirahat mencari gua terdekat. Dikala mata nya melihat lubang besar yang cukup untuknya juga teman-teman nya berteduh, segera ia pergi kesana dengan beberapa daun pisang yang sudah ia potong.

Menghela napas lega, tangan nya bergerak cepat untuk membuat tempat tidur yang nyaman untuknya juga ketiga teman nya. Antabhoga sibuk membantu Wijaya sementara Daryana dan Multo hanya terbang diatas mereka berdua tanpa dosa. Dengan satu tarikan dari Wijaya, mereka dimarahi habis-habisan.

Wijaya,"Kalau kalian tidak bisa membantu, setidaknya diam dibawah!"

Daryana,"Yang mulia ini tak bisa menginjak tanah kotor itu, Wijaya"

Wijaya,"Lalu kau ikut karena apa?! Jika ingin ikut mau tak mau kau harus terbiasa dengan ini! MULTO JUGA JANGAN PANCING HEWAN LAIN KESINI! AKXNSZJHS"

Dibelakang Multo ada beruang hitam dengan wajah ganas nya. Ular naga bersisik coklat tersebut hanya tertawa dengan seram membuat Wijaya muda semakin emosi. Antabhoga berhasil mengusir beruang itu dan menenangkan Wijaya.

Antabhoga,"Sebaiknya kalian tidur saja. Aku akan menjaga gua"

Wijaya,"Baiklah... Bila Multo dan Daryana melakukan sesuatu, jangan segan untuk membakar mereka jadi sate ular-naga"

Sebuah tatapan tajam Wijaya berikan pada Multo juga Daryana yang malah menganggap ancaman itu sebuah lelucon. Ular-naga yang gagah ini hanya bisa mengangguk pasrah melihat hubungan tuan nya dengan kawan-kawan nya. Pada akhirnya Wijaya, Multo juga Daryana tidur sementara Antabhoga tetap berjaga di depan gua.

Rembulan terbenam dan mentari terbit di timur. Tepukan dari ekor sisik coklat mengganggu tidur pulas tuan nya. Kelopak mata itu terbuka menampakkan manik emas coklat nya yang masih mengantuk. Sisik hijau menarik kalung tuan nya tanpa dosa. Dengan segera, sebuah tamparan ia berikan pada kawan ular naga nya itu.

Antabhoga mengingatkan perjalanan Wijaya muda. Segera mata itu terbuka sepenuhnya dan tubuhnya mulai bergerak dengan panik. Bekal nya ia makan terburu-buru hingga tersedak. Segera ia berlari ke arah utara lagi bersama dengan teman-teman nya.

Ketika matahari sudah berdiri tepat dipuncaknya, Wijaya berhasil sampai ke daerah Candi Borobudur. Napas nya tak beraturan karena ia berlari sekuat mungkin, takut Kakang nya menunggu lama disini. Dua orang prajurit menahan nya lalu menyeret nya untuk menghadap pembuat sang candi.

Seorang gadis muda dengan paras Ayu, manik emas berkilau, Surai coklat panjang diikat dihiasi dengan mahkota indah, kulit tan coklat manis yang bersinar di bawah sinar matahari, dan pakaian Mahabhusana Kadatwan Sriwijaya  yang dihiasi perhiasan emas mendekati nya. Manik emas itu menatapnya tajam.

Sri,"Kau lagi?"

Wijaya,"Ya maaf. Aku kemari ada urusan. Kalau tidak ada, mana sudi aku kesini"

Sebuah tinjuan dari tangan halus nan lentik Sri dilayangkan pada kepala Wijaya. Jika saja Antabhoga tak menahan nya maka Wijaya akan merasakan hal yang lebih menyakitkan daripada rotan guru nya. Antabhoga meminta izin pada Sri untuk bertemu Neeraja disana. Tentu saja Sri izinkan karena Antabhoga sangat ia percayai. Akhirnya Wijaya dibawa oleh kawan-kawan nya ke lantai atas Candi Borobudur.

Sesampainya di Arupadhatu, mereka melihat seorang pria berkebangsaan India dengan mata tertutup juga tangan menangkup sedang berdoa khusyuk disana. Akhirnya mereka menunggu dibelakang dengan diam. Antabhoga juga Wijaya duduk patuh, Multo berkeliaran mengelilingi Stupa utama dan Daryana tiduran disebelah Wijaya.

Neeraja,"Lambe samay se nahin dekha, Wijaya Mudha"

Kelopak mata nya terbuka memperlihatkan manik coklat pucat yang sudah lama tak ia lihat. Wijaya segera memeluk Kakang nya itu penuh rindu.

"Krakatoa"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang