Chapter XVII - |᮴| -

53 6 2
                                    

Tahun 1579 Masehi.

Lari.

Selamatkan anak mu.

Jangan lengah.

Pertarungan belum berakhir.

Hanya empat kalimat yang terus ia ulang kembali dalam pikiran kalut. Tubuh penuh luka dalam tidak dihiraukan selama ia masih bisa berjalan maka dipaksakan kedua kaki gemetar itu untuk tetap maju. Satu tangan menggenggam kujang, satu tangan lain menimang makhluk kecil rapuh yang sedang tertidur pulas. Kain motif mega mendung menghangatkan tubuh si mungil di antara hutan gelap berkabut.

Ayah dari si mungil terjebak di jalan buntu. Ia bisa saja memanjat tebing curam itu tetapi akan berbahaya untuk anak nya yang masih belum bisa melihat dunia indah. Sekarang yang diperlukan hanyalah bertahan sembari mencari jalan lain untuk melarikan diri. Manik jingga terus berkedut menahan sakit luar biasa pada perut. Ditekan lah luka nya hingga darah benar-benar berhenti mengalir. Gesekkan antara semak-semak membuatnya panik dan ia kembali berlari menuju arah berlawanan.

Teriakan demi teriakan terus memanggil nya dari kejauhan menambah kepanikan. Fisik sudah lelah meminta kematian damai namun bara api bertahan hidup masih berkobar kembali memaksa tubuh sekarat. Dan pada akhirnya ia harus menerima batas kemampuan lalu terjatuh ke atas rumput lembut. Sangat beruntung punggung nya yang pertama mendarat, bukan lengan nya yang sedang menimang bayi. Karena terkejut akibat tubrukan keras, sang bayi terbangun dengan mata bulat nya yang berkaca-kaca. Tangisan nya cukup untuk mengisi keheningan hutan malam. Sang ayah segera bangkit lalu menenangkan anak nya.

Sura,"Shhh shh... Ayah disini, Bayu.. Ayah disini"

Air mata diseka dari pipi merah gembul. Bayi itu kembali tenang dan menatap wajah ayah nya yang terluka. Istirahat sebentar mungkin tidak buruk. Sura duduk di lapangan terbuka lalu mengambil sedikit sari pisang. Disuapkan lah pada Bayu kecil yang segera tertawa. Istri nya sudah meninggalkan mereka karena melindungi ia dari tusukan pria Portugis yang marah. Darah di bilah kujang nya milik pria Portugis itu. Ia masih sempat meminta warga desa yang ia lalui untuk mengubur ibu dari anak mereka. Bahkan tidak ada waktu yang diberikan untuk menangisi kematian sang istri. Bayu masih membutuhkan asi juga kasih sayang seorang ibu. Rasa bersalah kembali menghantui hati rapuh yang perlahan berjatuhan menjadi abu.

Teriakan yang memanggil nama nya kembali terdengar. Kaki dipaksa berdiri dan kujang diambil, kembali pada posisi bertarung. Cahaya obor menerangi antara pepohonan disertai panggilan nama nya berulang kali. Tiga sosok keluar dan berhadapan dengan 'musuh' mereka.

Zain,"Aa! Aa tidak perlu takut! Aku hanya ingin bertanya"

Sura,"Apapun pertanyaan mu, aku tidak bisa menjawab nya"

Dirga,"Paman, dengarkan dulu..."

Kirana,"Paman masih bisa hidup! Sebagian warga Padjajaran beralih agama dan beberapa menetap di Banten. Ikut kami, Paman"

Sura,"Maaf aku tidak bisa"

Zain,"Aa! Aku tidak mau membunuh mu! J-Jadi ikut lah dengan ku!"

Sura,"Aku tidak bisa"

Perdebatan dan perdebatan terus berlanjut tanpa ujung. Kembar Nusantara berusaha menengahi mereka meski gagal. Bayi kecil dipangkuan Sura menggeliat tidak nyaman mendengar teriakan antar orang dewasa ditengah tidur nyenyak. Muak dengan pertengkaran, Zain mengeraskan suaranya agar terdengar jelas.

Zain,"Aa! AKU TIDAK MAU DITINGGALKAN SENDIRI! AKU TIDAK MAU KAU MATI DITANGAN KU! AKU INGIN KAU HIDUP, TERUS HIDUP, HINGGA ANAK MU BESAR!!!"

Sura,"Jika aku tidak bisa?!"

"Krakatoa"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang