Chapter IV -Wijaya muda-

193 17 2
                                    

Tahun 1310 Masehi.

Seorang pemuda dengan pakaian khas Kerajaan Jawa berlari dengan bebas di hutan lebat. Di depan sang pemuda ada seekor rusa berlari dengan cepat. Tangan sang pemuda yang dipenuhi dengan gelang emas mengambil anak panah lalu mengarahkan panah nya pada sang rusa. Dengan tangan nya dilepas dari benang, anak panah melesat  dengan cepat dan langsung mengenai jantung sang Rusa.

Tubuh rusa tergeletak ke tanah lemas. Sang pemuda menghela napas lalu menghampiri tubuh rusa dan membawanya keluar dari hutan. Sinar mentari mulai menyirami sang pemuda. Kulit tan kecoklatan berkilau, manik emas coklat nya menatap jalan, terkadang saat para wanita muda menyapa nya ia akan tersenyum ramah dan membalas mereka kembali.

Pedagang,"Wijaya!! Kene!!"

Wijaya,"Nggih, Pak!!"

Wijaya Madjasanagara, personifikasi kerajaan Majapahit atau Nusantara tersebut segera berlari ke pedagang untuk memberikan hasil buruan nya. Ketika sang pedagang akan memberi nya uang gebog dalam jumlah yang cukup banyak, Wijaya segera menolaknya.

Wijaya,"eh- mboten napa-napa, Pak! aku ora butuh! Aku nindakake iki murni kanggo mbantu sampeyan!"

Pedagang,"Sampeyan yakin? pancen angel golek kidang iki.."

Wijaya,"Ora apa-apa! iki gampang kanggo aku!"

Pedagang,"sepisan maneh, matur nuwun Wijaya!"

Wijaya,"Nggih, Pak!"

Seorang prajurit dari kerajaan mendatangi Wijaya, memberi sebuah perintah.

Prajurit,"Wijaya, raja kepengin sampeyan ketemu ing kerajaan"

Wijaya,"Hm? Iyo iyo..."

Wijaya dengan lesu pergi ke kerajaan. Didalam pikiran nya hanya Jayanagara yang akan memarahi nya karena kabur dari kerajaan atau pihak dari Kerajaan Srivijaya datang untuk memukul nya atau dia disuruh untuk belajar lagi. Ya, dia kabur dari kerajaan karena sendu berada didalam kerajaan terus menerus. Ah semoga dewa berpihak padanya sekarang.

Sesampainya di gerbang Kerajaan, sesosok pria berumur dengan pakaian Mahabhusana Wilwatiktapura sedang berbicara dengan penasihatnya. Langkah kaki Wijaya tiba-tiba saja mundur perlahan namun ditahan oleh sang Guru yang sudah menatapnya galak.

Wijaya,"Ehehehe...Piye kabare, Pak ..?"

Guru,"Piye kabare piye kabare ndas mu! aku wis ngongkon sinau buku nomer papat kaca rong atus sepuluh, iya ora?!"

Wijaya,"Uhhh...nuwun sewu ...?"

Guru,"TEKA MRENE KOWE BOCAH BANDEL!!"

Wijaya,"GYAAAHH!!!!"

Pecutan rotan diberikan oleh sang guru pada bokong Wijaya muda. Orang disekitar hanya bisa berdoa untuk keselamatan personifikasi Majapahit tersebut. Sang Raja yang menyadari keberadaan Wijaya menenangkan sang guru.

Jaya,"Tenang, Pak. Bisa uga Wijaya bosen yen tetep kraton suwene mula dheweke minggat saka kene lan muter lan nulungi njaba"

Guru,"Hmph! Bocah ala ora bakal ngerti!"

Wijaya sendiri berlari dan berlindung dibelakang Raja nya. Mata sang guru dengan nya saling menatap tajam. Jayanagara sampai harus menenangkan sang guru dan berjanji akan mengembalikan Wijaya pada nya bila urusan nya sudah selesai. Setelah sang guru pergi dengan langkah besar, Jayanagara menatap Wijaya.

Jaya,"Wijaya, jangan bandel lagi yah"

Wijaya,"Maaf, Raja..."

Jaya,"Sudah jangan dipikirkan. Aku memanggil mu untuk beberapa hal"

"Krakatoa"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang