Chapter XXVIII -Mentari-

37 5 0
                                    

"Yolngu!"

Tubuh terhentak dan segera mata terbuka. Jantung berdegup cepat, napas terhenggal, manik hijau bergerak liar, badan gemetar tanpa henti. Raga sadar udara sekitar menjadi sangat dingin sampai dititik tangan nya membeku. Ini hanya perasaan nya. Jika udara benar-benar beku, maka kawah aktif disebelah tak akan bergejolak. Air belerang panas didekati lalu kedua tangan masuk agar kembali hangat.

Mata nya menatap kosong tangan. Mimpi milik siapa sekarang? Sudah dua tahun ia melihat mimpi orang lain. Hanya saja orang yang diimpikan selalu tentang dua mentari itu. Perbedaan yang diingat adalah ia seperti melihatnya dari berbagai perspektif. Kadang dari Kepala Suku Yolngu, pedagang Makassar, anak-anak, bahkan dari sisi Uluru pun ia melihatnya. Apakah ini kutukan dari tuhan karena ia gagal melindungi tuan nya? Bahkan ia kecewa pada dirinya sendiri.

Larut dalam pikiran, suara keras dari ranting yang dijatuhkan memecahkan lamunan. Gadis manik biru langit mengejutkan dirinya dengan sebuah pelukan erat. Rasa khawatir besar disalurkan pada dekapan hangat. Anak kecil surai tanah masih setia memeluk tumpukan ranting, menatap dengan tatapan datar. Selesai mengkhawatirkan si pemuda, kedua tangan nya yang super hangat digenggam.

Rara,"Tambora, apa yang kau mimpikan kali ini?"

Tambora,"Seperti...biasa"

Tatapan khawatir membuat canggung keadaan. Pada akhirnya yang hanya bisa dilakukan Rara juga Tambora adalah terus berprasangka baik dan mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Gadis kecil dibelakang diminta untuk ikut membakar ubi madu hadiah dari keluarga Sunda. Selama memakan ubi, Tambora bertanya gugup pada anak kecil disebelah.

Tambora,"Rakata, bagaimana kabar... Raja?"

Rakata,"Apak masih pergi"

Tambora,"Kemana dia pergi?"

Rakata,"Tidak tahu. Apak selalu pergi bersama kura-kura atau hewan laut lainnya"

Tambora,"Ah.... Lalu, bagaimana kabar.. Putri Kirana dan Pangeran Dirga?"

Rakata,"....Mau melihatnya?"

Tambora,"Eh? Dimana?"

Rakata,"Batavia"

Tambora,"Kau... Yakin?"

Rakata,"...Kata Pak Londo, bulan depan Kak Kirana dan Kak Dirga akan dibawa ke pulau lain"

Tambora,"Kemana?"

Rakata,"Tidak tahu. Pak Londo hanya memberitahu akan pergi"

Karena khawatir, Tambora mengiyakan tawaran Rakata. Seizin Rara, mereka segera turun gunung dan melewati pemukiman padat lalu pergi mengarungi lautan menuju pulau Jawa. Karena semakin lihai dalam menguasai batu apung, Rakata bisa menyaingi laju Tambora dan melesat cepat diatas arus-arus deras lautan.

Hanya satu setengah jam di laut, mereka telah sampai di pelabuhan Jaccarta. Pemandangan masih sama dengan pelabuhan dipenuhi kapal juga orang putih. Langkah kaki mereka membuat arah menuju istana atau pemerintahan pusat dimana tuan sah juga si tiang putih tinggal. Penyelinapan sempurna dan mereka segera mencari ruangan dimana sang tuan dikurung.

Merasa ada langkah kaki mendekat, mereka sembunyi di balik pilar. Setiap kata yang dikeluarkan tidak mereka mengerti sehingga tidak ada yang bisa disimpan sebagai bukti. Karena semakin penasaran siapa yang berbicara, Tambora mengintip dari balik pilar.

Surai coklat, manik hijau terang, kulit putih pucat, alis tebal, plester pada hidung dan badan tegap mengikuti pria pirang didepan. Manik hijau terbelalak hebat.

'Orang itu sama'.

Raga tiba-tiba berlari keluar istana, membuat panik Rakata dan juga teriakan ancaman si British. Mereka lari hingga sampai ditepi pantai Pangandaran. Wajah Tambora masih dalam keadaan tidak percaya. Rakata sendiri menatap heran sang kakak. 'Itu hanya orang biasa kan?', tanya Rakata dalam hati. Kepala sang gunung terus menggeleng meyakinkan hati. Mendengar deburan ombak, ia menatap kedepan memikirkan banyak rencana.

"Krakatoa"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang