Chapter XXIII -Medangkamulan-

48 6 6
                                    

Pagi hari yang cerah dalam hutan lebat. Angin segar meniup daun-daun kering ke tanah. Suara hewan hingga serangga hutan meriuhkan tempat. Diantara pepohonan, terampar kain pada rumput hijau. Sekumpulan pribumi alam makan bersama, bertukar sapa hingga tidur menikmati hembusan angin sejuk. Dengkuran hewan besar seperti harimau berada disana juga. Dua lutung tidur nyenyak disebelah kembar hijau lumut. Pemandangan yang nyaman di tanah Tatar Sunda.

Pria perak sibuk berbucin ria dengan gadis manik biru, sementara yang lain merasa ingin melempar sesuatu kepada pria perak. Abaikan dua kalimat diatas. Para gunung Sunda sedang mengadakan kumpul keluarga juga bothram atau makan bersama. Ini adalah kegiatan setiap akhir bulan bila tidak ada gunung erupsi. Mereka perlu healing meski tuan mereka sibuk mengurus sana-sini. Sedikit membantu kan?

Rakata yang berada didekat Karang meminta ikan bakar lagi. Kadang diingatkan oleh Kailasa untuk tidak memakan terlalu banyak. Cucuk atau duri ikan sangat menyakitkan. Satu lutung terbangun lalu mengambil jeruk. Mungkin belum sadar, jadi ia tak sengaja menarik buntut harimau pulas tersebut. Gerungan kasar membangun kan pria surai tembaga tua juga daun gelam. Si pelaku sendiri segera lari memanjat pohon, dikejar oleh si harimau. Lutung satu lagi hanya melihat seakan tak peduli lalu melanjutkan tidur nya. Sungguh random sekali chapter kali ini.

Pria tembaga tua mencibir kelakuan lutung tadi mengundang tawa pria daun gelam lain. Sebuah pukulan renyah pada punggung membuat si pemuda tersedak. Pertengkaran dimulai. Kakek manik putih melerai mereka diikuti pria manik hijau pucat menahan amukan si gunung perak. Tawa keras datang dari pria perak juga surai coklat manik emas. Salaka memukul kepala mereka. Jangan bertanya apa yang terjadi selanjutnya.

Salaka,"Cicing keun sungut maneh mun embung urang nyalengkatkeun"

Rama,"Heish ulah kitu ah, ujang"

Halimun,"Atuh nu duluan mah Salaka, Ki!"

Sangkuriang,"Heeuh, Ki! Da arurang mah ngan cicing didieu"

Omas,"Betul, Aki!"

Galung,"Geus cicing"

Pria bersurai kayu ek gelap menatap datar kelakuan gunung dari bekas kerajaan Padjajaran. Ia ingat sekali prabu mereka lebih tenang kelakuan nya. Ditengah keramaian tersebut, seekor anis gading mendarat di tanah. Mengheningkan semua keributan. Bahkan gunung yang sedang sibuk sendiri tiba-tiba memperhatikan burung itu. Seakan mereka semua takut untuk mengambil anis gading mungil didepan.

Lancaraka,"Aa, ambil"

Kailasa,"Kau saja tidak berani ambil"

Lancaraka, adik Kailasa juga personifikasi gunung Aseupan, menatapnya tajam. Gunung-gunung berdebat untuk menyuruh siapa saja mengambil burung paruh kuning itu. Ujung nya tidak ada yang berani mengambil. Gadis lain dengan manik merah memutar malas segera mendorong Salaka maju.

Sri,"Ambil"

Salaka,"Naon maksud na?"

Sri,"Cokot kehed"

Sangkuriang,"Ambil ku Salaka atuh!"

Perempatan imajiner terbentuk pada kening. Kaki bertekuk dan telapak tangan terbuka pada burung milik Lawu. Jari memberi cacing entah darimana. Paruh kuning nya mengambil cacing dari jari manusia. Cukup kenyang dengan cemilan yang diberikan, burung itu segera berkicau disertai mata bulat hitam menatapnya. Seperti sedang berbicara empat mata. Hanya kicauan yang didengar gunung dibelakang namun berbeda dengan Salaka.

Manik emas panas terkejut seakan mendapat kabar menakutkan sekaligus aneh. Kicauan berhenti tetapi tidak langsung terbang kembali. Makhluk bersayap ini menunggu jawaban para manusia. Salaka menghadap mereka lalu menyampaikan apa saja yang telah burung itu kicaukan.

"Krakatoa"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang