Chapter XXXI -Kau akan menyesali nya-

43 5 2
                                    

20 Mei 1883, Bojong Kidul, Banten.

Kirana,"Meneer, kemarin banyak kuda yang panik sama gemetar kecil dimana-mana"

Willem,"Hm? Maksud mu?"

Dirga,"Banyak yang laporan disekitar desa terjadi guncangan seperti gempa bumi. Kuda-kuda semuanya bergerak panik"

Di bulan Mei yang cerah ini, 3 saudara Nusantara melaporkan ribu kejadian yang terjadi di Banten. Banyak yang melaporkan terjadi guncangan juga kuda-kuda mengamuk secara tiba-tiba. Tidak terkecuali juga kuda milik si pria Hollanda. Pria tulip itu hanya menatap meminta jawaban lebih lanjut. Adik kecil mereka lah yang menjawab penuh nada sarkas.

Bagas,"Meneer bisa lihat sendiri yah. Itu disana ada rumah yang agak roboh tuh. Nah terus itu ada kuda panik padahal kejadian nya kemarin. Meneer juga bisa lihat laporan-laporan dari warga sekitar pesisir yah"

Willem,"Tidak ada laporan"

Bagas,"...Tapi itu kuda meneer gelisah loh"

Willem,"Zwart baik-baik saja"

Perempatan imajiner muncul di kening mereka. Kuda hitam itu terlihat sangat gelisah tapi tuan nya sendiri tidak peka. Sangat pantas untuk kembar Nusantara tidak peka. Pemuda jingga ini masih tersulut emosi. Hanya saja kali ini benar-benar mengamuk.

Bagas,"Kuda mahal meneer ini gelisah. Tapi tuan nya tidak peka?? Tuan macam apa ini?! Jika kau malas untuk membaca laporan, setidaknya dengarkan laporan dari kita. Percuma punya kening lebar tapi otak sebesar burung pipit, blok GOB—"

Kalimat pelangi tersebut tertahan oleh tangan besar sang kakak. Personifikasi Banten mengamuk layaknya kucing garong membuat si kembar harus menahan nya. Kepala tulip nampak berdenyut keras hingga akhirnya ia menyuruh Dirga untuk memulangkan Bagas sementara Kirana ikut menemani nya ke pantai terdekat. Sumpah serapah kembali terdengar dari kejauhan.

Hamparan pasir tebal mengitari pesisir pulau, sepatu boot hitam tinggi basah oleh deburan ombak, mata hijau melihat lautan luas dengan ditengah nya asap dari gunung aktif membumbung tinggi. Banyak pikiran melintas hingga membuat kepala nya pusing. Ia sebenarnya khawatir dengan bencana yang akan datang namun ada yang lebih penting daripada mengkhawatirkan alam yang tak bisa diprediksi.

Gadis manis dibelakang beserta kakak nya yang sudah menyusul mengikuti dalam diam. Dalam hati nampak gelisah mendengar banyak laporan dari warga namun di sisi lain gunung yang dimaksud terlihat baik-baik saja. Tapi marah atau tidak, alam tetap harus berjalan sesuai kehendak yang Maha Esa. Mereka semua tak dapat menghindari bencana alam.

Jalan mereka terhenti ketika melihat seorang kakek sedang menemani cucu nya bermain di pantai. Anak bulat itu membentuk rumah kecil dari pasir sementara sang kakek membantu mengukir beberapa bentuk bunga untuk menghiasi rumah kecil itu. Kakek putih terkekeh lembut saat sang cucu terus berceloteh tentang sekeluarga kumang yang berjalan keluar melewati rumah kecil. Mereka mendekati sepasang kakek-cucu tersebut. Manik putih menyadari ketiga orang itu merupakan orang yang dikenal nya. Segera ia bersimpuh lalu memberi salam dengan senyum lembut.

Rama,"Salam, Pangeran Dirga, Putri Kirana, Tuan Willem"

Kirana,"Tak perlu bersimpuh, Aki! Juga tak perlu formal pada kita"

Rama,"Tak apa, Putri Kirana. Apa yang sedang kalian lakukan disini?"

Dirga,"Kami hanya berjalan santai sembari memantau aktifitas Krakatau"

Rana,"Ah... Nak Rakata.."

Mata putih itu tak bisa dibohongi. Ada kekhawatiran yang sama saat nama gunung aktif disebutkan. Kembar Nusantara menghapus rasa gelisah itu dan memilih untuk bermain bersama anak kecil dibelakang. Personifikasi gunung Endut, Endut Cilebu, menunjukan kerang-kerang yang indah pada mereka. Terkadang ia akan bertingkah gemas membuat kembar Nusantara ikut gemas ingin memeluk si kecil gembul.

"Krakatoa"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang