Chapter XXXIV -Kata terakhir-

55 4 0
                                    

Apa yang terjadi?

Apakah dunia akan berakhir?

Apakah Yang Maha Esa telah murka?

Rasa sakit luar biasa menjulur dari ujung kaki hingga kepala. Kulit itu terasa seperti meleleh dan bau daging terbakar dapat tercium dimana pun. Ketika mata terbuka, hanya langit kelabu yang dapat dilihat. Manik emas sayu berkedip beberapa kali hingga ia tersadar saat tangisan anak kecil terdengar. Mata nya bergerak kesamping kanan, mendapati seorang anak kecil gembul menangis tak karuan. Kulit nya yang melepuh perlahan menghilang tapi tentu saja itu meninggalkan bekas yang begitu sakit.

Dirga bangkit masih dengan rasa sakit, menggendong si kecil lembut, berusaha menenangkannya. Manik emas menyapu seluruh pemandangan mengerikan. Tanah berwarna abu, rumah hingga pohon ambruk, tanaman serta hewan mati, sebagian manusia mati atau sekarat. Ia melihat adiknya masih didekap sang pria belanda.

Perlahan, manusia-manusia yang bertahan bangun, kebingungan melihat dunia yang sudah seperti neraka. Manik emas Dirga melihat wanita surai tembaga disebelahnya tak sadarkan diri dengan kulit melepuh. Ia menenangkan perlahan Endut sembari membenarkan posisi tubuh Karang. Tubuh adiknya juga bergerak saat ia akan menyingkirkan tangan Willem dari sana. Sebuah keberuntungan, beberapa personifikasi gunung datang untuk menyembuhkan manusia tersisa. Personifikasi gunung Lawu dan Merapi menghampiri untuk menyembuhkan lima orang sekaligus.

Dirga,"Lawu.. Apakah semua orang baik-baik saja?"

Lawu,"Sisa pengungsi baik-baik saja. Tak perlu khawatir"

Dirga,"Bagas dan Bayu?"

Lawu,"Mereka aman. Lembu, jangan banyak bergerak"

Anak gembul didekapan Dirga merengek kesakitan saat tangan nya ditahan Lawu. Mata putih itu terus mengeluarkan air mata. Tangan besar penuh luka itu menyeka pipi pucat Endut. Gadis tan dan pria tulip mulai mengembalikan kesadaran mereka. Mata mengerjap kesakitan melihat angkasa kelabu, membuat mereka terkesiap berpikir bahwa mereka sudah berada di neraka. Kirana meringis ketika ia duduk. Willem ikut bangun lalu memegang kepala nya yang berdenyut keras. Disisi lain Mandra masih mengulurkan tangan kedepan mengeluarkan cahaya lembut.

Kirana mencari-cari wujud sang kakak dengan panik sebelum akhirnya kembali tenang saat Dirga sedang dipulihkan. Ia mau mendekati tapi Lawu menyuruhnya untuk tetap duduk. Willem sendiri memijat kepalanya berulang kali sambil mendengar pembicaraan para pribumi disebelahnya.

Kirana,"Abang.."

Dirga,"Jangan bergerak, dek. Nanti sakit lagi"

Kirana,"...Tusuk emas ibu, bang..!"

Astaga. Bahkan di keadaan genting seperti ini Kirana masih mengkhawatirkan keadaan tusuk emas itu. Tangan Dirga yang sudah pulih membelai lembut rambut sang adik, menghibur nya pelan. Manik hijau zamrud mengerjap melihat pemandangan didepan nya janggal. Ia terpaku mendapati sesuatu hilang dari letak alam. Mandra sempat bertanya apa yang terjadi dan jari pucat yang mengarah ke depan menjadi jawaban.

Ditengah laut hitam berkecamuk, tiga gunung agung itu lenyap bak ditelan bumi. Pulau-pulau kecil disana adalah sisa dari ledakan tiga gunung agung tersebut. Semua mata melihat pada arah yang Willem tunjuk dan mereka pun terkesiap. Bulu kuduk mereka berdiri ngeri melihat laut hitam hampa telah menenggelamkan amarah alam.

Semua personifikasi terdiam. Tiba-tiba Kirana berdiri, hendak berlari turun dari bukit yang ditahan Willem. Kirana terus memberontak dan Mandra pun menengahi.

Mandra,"Putri! Berbahaya untuk datang kesana! Kita belum tahu dimana Rakata terlempar, atau bahkan tubuh nya sudah tidak ada!"

Kirana,"Tapi kita belum menamatkan janji!"

"Krakatoa"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang