Chapter XXIX -Permintaan-

44 5 2
                                    

Tasikmalaya-Garut, 1835.

Setiap pinggir jalan terpenuhi mayat berhelimpang. Penyebab mati entah karena kelaparan, penyakit, maupun penindasan. Pemandangan yang sungguh memilukan. Bahkan ketika kaki akan menginjak tanah, rasanya berbagai tangan mayat menahan pergerakan. Banyak yang berteriak meminta tolong. Tapi sayangnya mereka sudah mati.

Manik senja melihat pemandangan ini dengan perasaan mual. Para gunung lain berjalan seperti biasa seakan hal ini sudah puluhan kali mereka lihat. Pemimpin gunung hanya berbicara dengan beberapa arwah kebingungan atau membantu gunung yang lain. Hingga akhirnya ia melihat dua orang yang ia hormati.

Kedua tuan sah memikul karung berat berisi hasil panen. Wajah mereka kotor akan tanah dan di banjiri keringat. Desisan menahan sakit terdengar sedikit jelas meski jarak jauh. Manik senja terus memperhatikan, khawatir bila mata beralih mereka akan tersakiti.

Ditengah jalan, gadis sawo matang jatuh. Karung yang dibawa isinya berserakan ke tanah, sudah tak layak jual. Pria dibelakang segera menghampiri, mengabaikan karung yang dibawa. Gadis itu meringis sakit sembari memegang kaki nya yang setengah membiru. Rupanya kakinya terkilir. Luka yang seperti lebam itu telah berubah menjadi ungu gelap. Sang kakak berusaha mengobati meski tiada hasil.

Opsi terakhir adalah menatap pria jangkung dibelakang. Pria putih menyadari tatapan emas segera mendekati. Saat sampai, tidak ada yang dikatakan. Hanya tatapan dingin serta intimidasi. Sang kakak murka.

Dirga,"Tidak kah kau melihat adik ku sudah tak sanggup?!"

Willem,"..."

Dirga,"Biarkan dia istirahat!"

Willem,"...Indies, berdiri"

Kirana hanya menatap tajam Willem dengan manik emas sayu. Keringat dingin mulai bermunculan karena rasa sakit yang berlebihan. Saat ia akan berdiri, ia ditahan oleh Dirga.

Dirga,"Biarkan adik ku istirahat, brengsek"

Kirana,"Abang, Tidak apa-apa"

Dirga,"Tidak, Kirana. Kau harus istirahat. Sisa tugas Kirana berikan padaku dan biarkan dia istirahat!"

Tepat setelah itu, tongkat besi memukul kaki kanan Dirga. Teriakan sakit terdengar diantara budak-budak kerja rodi. Dirga menggeram menahan sakit sementara Kirana segera melilitkan dua tongkat kayu di kaki kakak nya yang sudah membiru. Kata-kata kasar dikeluarkan dari mulut si gadis.

Kirana,"Maksud mu mematahkan kaki abang ku apa, sialan?! Apa kau mencari mati?!"

Willem,"Sekarang kalian berdua dalam kondisi yang sama. Lanjutkan bekerja"

Kirana,"BRENGSEK! Apa kau tidak punya akal?!"

Dirga menahan amukan Kirana. Sang kakak menggelengkan kepalanya, meminta untuk tidak melawan lebih lanjut Meneer sialan itu. Kirana tidak terima tapi ia mendengar. Bisa-bisa dia ikut gila bila terus berdebat dengan orang bodoh didepan. Karung mereka bawa lagi dengan rasa sakit luar biasa. Gadis kecil yang melihat hanya bisa membeku di tempat.

Banyak karung telah mereka bawa. Hingga akhirnya mereka telah sampai dibatas kekuatan. Kedua personifikasi jatuh ke atas tanah. Kaki mereka benar-benar sudah berubah warna menjadi hitam. Tak ada darah yang mengalir lagi. Pria putih kembali mendekat membawa tongkat kayu mahalnya. Hijau zamrud menatap kebawah seperti merendahkan sepasang adik-kaki didepan nya.

Amarah kembali naik dan Kirana lah yang pertama mengeluarkan nya.

Kirana,"Apa lagi, brengsek?"

Dirga,"Kita sudah tak bisa berjalan. Terima kasih atas pukulan tongkat besi sialan mu"

"Krakatoa"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang