Pohon demi pohon dilewati dengan cepat oleh ular naga tua. Mereka melewati teras candi yang tertimbun tanah kemudian melambung ke atas langit agar tak terlihat mata manusia. Ketakutan pada wajah anak laki-laki itu terlihat jelas. Jiwa nya seperti tertinggal di desa tadi. Sekarang ia memiliki waktu untuk menenangkan diri.
Manik emas gemetar melihat daratan dibawah, kakinya lemas tidak memijak apapun. Lengan mungilnya memeluk leher sang paman agar tidak jatuh. Sang naga mengerti dan ia malambatkan laju nya. Keluar dari perbatasan gunung Lawu, Multo baru bisa berbicara pada anak yang dibawa.
Multo,"Nak Dirga, bagaimana nak Dirga bisa ada di Lawu bersama Tuan tanah Eropa?"
Dirga,"Tuan Antonio memaksa ku untuk menunjukkan harta karun di gunung Lawu. A-Aku sudah mencoba untuk menghentikan nya tetapi Tuan Antonio memaksa.."
Multo,"Harta karun? Putri Mahendra tidak memiliki harta karun apapun"
Dirga,"Aku tau.. Harta karun yang mereka cari selain emas adalah rempah-rempah"
Multo,"...Nak Dirga, apa kau tau ramalan paman mu, Maharaja Gandra?"
Dirga,"Kak Lawu pernah mengatakan tentang Paman Gandra tapi tidak dengan ramalan nya"
Multo,"Paman akan menjelaskan nya nanti"
Perjalanan kembali hening. Dirga berusaha untuk istirahat agar menghilangkan semua rasa takut nya. Berjam-jam mereka melewati dataran Jawa, kecepatan Multo berkurang mengharuskan mereka istirahat di gunung sekitar. Multo mendarat di daerah bekas Kerajaan Mataram Kuno. Tubuh sang ular naga mengecil mengharuskan Dirga untuk turun.
Multo,"Dirga, panggil Putra Mandrageni"
Dirga,"Putra Mandrageni?"
Multo,"Panggil saja"
Cakarnya mengarah pada hutan belantara, perintah untuk memanggilnya disana. Dirga kecil berdiri didepan hutan gelap dengan berani. Saliva diteguk bersama tubuh kecil gemetar. Dalam hitungan lima, ia berteriak memanggil nama yang di perintah.
Dirga,"PUTRA MANDRAGENI!"
Suara bergema dipenjuru hutan. Awal-awal hanya suara angin, tidak lama gesekkan antar makhluk hidup dengan dedaunan mengarah pada Dirga. Seorang anak laki-laki melompat melewati nya lalu mendarat disebelah sang paman. Dirga segera membalik kan tubuhnya untuk melihat wujud anak laki-laki itu.
Surai merah bata lurus nan panjang, manik jeruk cerah yang bulat dan pakaian Basahan beserta emas menghiasi tubuh anak 13 tahun itu. Yang aneh adalah ia tak yakin bahwa anak itu laki-laki sepenuhnya. Anak laki-laki itu bertanya pada Dirga kecil.
Mandra,"Adik yang memanggil?"
Dirga,"P-Paman Multo yang menyuruh ku memanggil mu"
Mandra,"Oh? Lawu kesini kah?"
Multo,"Putri Mahendra tidak bisa turun gunung. Raja Kamulan menutup gerbang nya karena mangsa nya dibawa kabur oleh Putri"
Mandra,"Jarang sekali Lawu melepaskan mangsa. Lalu adik didepan ini siapa?"
Multo,"Nama nya Dirgantara. Salah satu kembar Nusantara dan anak dari Maharaja Wijaya juga Maharatu Sri"
Mandra,"Maharaja Wijaya? Maharatu Sri?"
Mandra,"Ratu Sriwijaya dan anak keempat Maharaja Sanjaya"
Mandra,"Anak...?!"
Mandra bertekuk lutut dihadapan Dirga. Kepala nya tertunduk dalam merasakan rasa bersalah yang besar karena telah melewati nya tanpa kesopanan. Dirga gelagapan melihat apa yang terjadi di depan. Tangan nya menepuk bahu Mandra, meminta untuk berdiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
"Krakatoa"
Historical Fiction"Mereka tak mendengar raungan sakit kalian. Maka biarlah 'kami' yang 'membuat' mereka mendengar" "Peringatan 'kami' akan mereka ingat selama ratusan tahun dan 'kami' pastikan, tak ada satupun yang akan melupakan nya" "Selamanya" . . . Update setiap...