Chapter XXI -Liar-

47 9 0
                                    

Keheningan dalam ruang kantor si tiang putih pucat membuat pikiran jenuh. Kembar yang terjebak harus menunggu perintah dari Hollanda sialan. Hanya karena mereka sekali kabur untuk menjenguk paman tercinta, mereka dikurung di kantor super dingin ini. Sang kakak sibuk menghitung data rempah-rempah sementara sang adik menggerutu kesal dan menyumpah-serapahi tiang berjalan milik Eropa.

Kirana,"Dih cuman ingin ketemu paman Zain tapi dilarang. Giliran dia ingin ketemu adek nya sendiri boleh. Tai lah Meneer"

Dirga,"Mau sekeras apapun kamu menyumpahi nya, tetap tak akan didengar soalnya dia ketinggian"

Kirana,"Sama belagu nya?"

Dirga,"Dek.."

Kira-kira seperti itulah percakapan mereka. Memang sih tiang berjalan itu jarang mendengar sumpahan Kirana. Baru didengar saat kaki Kirana menendang tulang kering atau menarik syal nya hingga ia tercekik. Bar-bar sekali gadis satu ini. Dirga menyuruh Kirana untuk kembali bekerja tetapi gadis itu merengek mengatakan semuanya tidak adil. Kalau diingat, Jaka beruntung bisa keluar bersama Meneer itu untuk mencari informasi. Oh iya, Jaka kecil sudah dewasa sekitar 17 tahun semenjak VOC dibangun.

Jam selanjutnya masih dalam keheningan mencekat membuat Kirana kembali menggerutu lebih keras. Perempatan imajiner terbentuk di kening pria sawo matang. Buku akuntansi tebal hampir terlempar bila keributan diluar tidak terdengar oleh mereka. Manik emas mengintip ke luar mendapati keributan juga wajah panik para penjaga. Mereka saling tatap kebingungan dan akhirnya hentakan kaki keras semakin mendekat. Pintu ditendang oleh seseorang tanpa ampun.

—Beberapa jam sebelum kejadian—

10 pagi, Batavia.

Gadis kecil berjalan penuh kebingungan. Berkali-kali bertanya letak kantor VOC pada orang lewat, setengah orang putih menolak berbicara bahkan menatap jijik dirinya. Ia hampir saja terlibat perkelahian dengan orang putih dewasa jika tidak ditahan warga lokal. Warga lokal itu merupakan suku betawi yang kebetulan mau berdagang dan akan melewati kantor VOC. Merah senja itu menghela napas lega tidak perlu berkelahi.

Rakata baru tiba di pusat kota jam 9 pagi. Sebelumnya dia harus istirahat di desa hingga akhirnya mengikuti tumpangan dari gerobak kerbau. Paman kerbau itu tidak tahu letak kantor VOC karena pertama kali disini jadi ia menyuruh Rakata bertanya warga lokal atau bangsa asing disini. Sedikit kisah juga mengapa ia bisa sampai adu mulut dengan bangsa asing. Padahal yang pertama menghina adalah pria arogan itu.

Sekumpulan pedagang berpamitan setelah mengantar Rakata sampai gerbang VOC. Tidak lupa ucapan terima kasih diberikan dan meminta maaf telah merepotkan mereka. Senyuman ramah memberi tanda tidak apa-apa. Sekarang ia hanya perlu mencari tuan sah nya. Kaki polos berjalan diatas tanah dengan samping daun sumbit menyapu lantai bumi. Kebaya putih ringan, gelang kalung sabuk emas, selendang api tembus pandang serta bunga melati menghiasi surai coklat tanah cukup terlihat jelas seperti pribumi. Dua senapan membentuk silang memblokir jalan Rakata. Wajah gadis itu berubah menjadi pertanyaan tak terbatas.

Prajurit 1,"Inlander dilarang masuk"

Rakata,"...Inlander?"

Prajurit 2,"Ras rendahan tidak diizinkan menginjak kan kaki disini"

Apa-apaan dengan kalimat kasar itu? Wajah manis Rakata perlahan memerah diiringi urat kencang di pelipis. Amplop coklat dikeluarkan memberi bukti ia datang untuk menyampaikan pesan penting. Kaki dihentak tegas seakan ia tetap diam disana sampai bertemu orang yang diinginkan.

Rakata,"Bawa aku ke Kak Kirana dan Kak Dirga! Aku hanya ingin menyampaikan surat!"

Prajurit 1,"Sudah ku bilang inlander dilarang masuk! Kalian akan mengotori lantai suci kami!"

"Krakatoa"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang