[42] Perihal Senja

231 56 8
                                    

Happy Reading

part ini terinspirasi dari mv savior - leehi ft B.I

Mereka berdua masih duduk di atas pasir putih pantai, masih memandangi langit yang sama selama beberapa manit kemudian. Masih ditempat yang sama dan hari yang sama.

Keduanya memilih diam beberapa saat, enggan membahas tentang kesedihan yang sedang mereka hadapi.

Haidan mengusap pelan ujung hidungnya yang kembali mengeluarkan cairan merahnya, hanya sebentar lalu dia membiarkan cairan tersebut merembet melalui mulutnya dan menetes dibajunya.

Lea menoleh, melihat Haidan yang terkekeh setelah mengusap hidungnya dengan jari telunjuk.

Lea hanya mampu menatap tanpa ingin membantu. Menyerahkan keputusan Haidan yang nampak abai setelah mengusap sedikit darah yang keluar.

"Dan..." Kali ini Lea memperingati Haidan saat darah tersebut menetes ke baju yang dikenakan lelaki itu.

Haidan menoleh, terkekeh pelan lalu mengusapnya dengan ujung bajunya. "Kenapa? Baju gue tetep kena, kan?" ujarnya.

Lea menatap datar Haidan yang justru terkekeh sembari mengusap darahnya.

"Lo pulang dengan keadaan kayak gitu juga nggak bagus," sahut Lea tidak suka. "Gimana kakek nenek lo kalo liat? Reno juga?"

"Nggak apa, gue bisa jujur kalo gue lagi nggak enak," jawab Haidan.

"Bukan lo banget, pembohong." ujarnya mengejek.

Sementara Haidan hanya terkekeh dan terkekeh, namun bukan kekehan lucu, melainkan kekehan miris. Melihat keadannya yang kini dipenuhi darah yang mengalir dari hidungnya.

"Lucu Dan?"

"Banget, hidup gue lucu banget, ya?"

Lea berhenti menyahuti, dia kehilangan kata-kata untuk membalas ucapan Haidan yang semakin melantur.

Pandangan mereka berdua menyatu ke arah depan, melihat langit yang semula abu-abu tergantikan oleh sinar jingga yang memenuhi penjuru pantai. Bahkan airnya memantulkan sinar terang tersebut, pertanda hari sudah sore.

Keduanya diam beberapa menit sebelum Lea kembali memulai obrolan.

"Lo tau Dan? Senja yang selalu jadi temen waktu gue pindah tempat les satu ke tempat les lain. Dia yang kasih gue semangat buat masukin ilmu ke otak gue, walaupun agak kepaksa." kata Lea.

Haidan kembali tersenyum tipis, menundukkan kepalanya enggan melihat warna jingga yang menerpa sebagian wajahnya.

"Buat gue, senja itu musuh Le."

Lea menoleh, satu hal lagi yang ia tahu tentang hidup Haidan.

"Disaat semua orang punya senja, gue punya malam. Gue jadi sering ingat hal yang nggak seharusnya gue tau,"

"Apa itu?"

"Jam kematian bunda. Kata nenek, bunda milih nyerah saat gue berhasil dilahirkan, tepat jam setengah lima sore."

Diam-diam air mata Haidan kembali meluruh, tidak kuat dengan cerita yang ia ceritakan kepada Lea. Lagi-lagi ia harus mengingat segala cerita dari sang nenek.

Lea sendiri diam, memikirkan dirinya ada diposisi Haidan yang cukup sakit. Ia kira hanya dirinya yang terlahir dengan segala tuntutan, ternyata ada Haidan yang lebih dituntut oleh Tuhan untuk kuat. Sekuat itu lelaki disampingnya.

eja [ ✓ ] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang