Tugas setiap anak itu memang seharusnya berbeda, tapi masih tetap dalam batas keadilan. Adil bukan dalam artian sama, tapi adil yang dimaksud adalah seimbang dan sesuai dengan yang dibutuhkan. Kadang memang kelihatannya beban yang ditopang anak pertama lebih berat, namun sebenarnya itu sudah bagian dari takdir yang harus diterima.
Tidak salah jika Jeffrey sebagai seorang ayah mendidik Jevano sedikit lebih keras daripada Jenanda, karena si Kakak harus menjadi teladan untuk adiknya. Jeffrey sayang kedua jagoannya itu, namun sayang Nana yang harus mewariskan sesuatu yang tidak pernah ingin ia wariskan kepada satu pun anaknya. Takdir yang tidak sesuai dengan harapan, menjadi hal yang paling menyakitkan.
Hari ini, setelah seminggu dirawat pasca operasi, Nana diperbolehkan rawat jalan di rumah. Di sisi Vano sendiri, anak itu senang setidaknya adiknya tidak begitu kesakitan sekarang. Tapi, jika Vano berpikir dari sisi yang lain, rasanya ada sepi yang merengsek masuk di relungnya sekarang. Kedua orang tuanya memilih mendampingi Nana dua puluh empat jam, ketimbang menemaninya makan malam.
Vano melahap makanannya perlahan, beberapa suap masih ia lalui dengan baik. Hingga tak lama air matanya menetes, Vano tidak lagi sanggup menahan. Ada saat dimana ia menyalahkan kejamnya takdir yang berani membuat adiknya kesakitan waktu itu. Sampai akhirnya, hatinya juga yang jadi korban. Vano masih begitu kecil, untuk ditinggal begini.
Vano tersentak ketika merasakan tepukan di bahunya, anak itu menoleh masih dengan air matanya yang mengalir. Jeffrey sebagai pelakunya langsung terkejut melihat si Sulung menangis sambil makan, "Kamu kenapa, sayang?"
Alih-alih tenang, Vano semakin keras menangis, membuat Jeffrey segera mendekap tubuh mungil sulung Bachtiar ini. Jeffrey mengelus pelan punggung Vano, "Kak ... dengerin ayah, kakak harus lebih kuat ya? Kita harus bareng-bareng bantu adek biar bisa sehat lagi."
Vano terisak, "Kakak minta maaf, nggak bisa jaga adek sampe sakit ...."
Jeffrey menggeleng pelan, "Bukan salah kakak ..., emang udah gini jalannya, kak."
Vano sesegukkan, "Ayah ... kakak nggak bisa jadi kuat. Kakak tetep cuman anak kecil yang nggak bisa apa-apa, yah .... Kakak takut ...."
Jeffrey semakin erat mendekap anak sulungnya ini, "Ada ayah, nanti bantuin adek. Buna juga, kita semua berjuang bareng-bareng, kak."
Vano mendongak menatap sang Ayah dengan mata sembabnya, "Janji ayah?"
Jeffrey mengangguk, "Iya, kak. Kalau pun nanti ada salah satu dari kita harus pergi duluan, kita nggak boleh ada yang nyerah dan harus tetep jalanin hidup dengan baik. Ya, kak?"
"Ayah pernah di posisi takut banget kehilangan seseorang?" tanya Vano, sambil masih berusaha mengatur nafasnya.
Jeffrey tersenyum menyemangati, "Pernah, waktu nenek kamu puny sakit yang sama, sama punya Nana. Buna kamu juga pernah, waktu harus selalu dampingin ayah. Buna mungkin udah stress banget dulu, tapi buktinya buna masih bisa kuat sampai sekarang. Kamu juga ya, kak?"
"Buna hebat ya, yah?"
"Hebat banget ... sampai ayah nggak bisa berhenti sayang sama buna."
Vano menyambar dekapan sang Ayah lagi, "Kakak pengen peluk buna lagi, yah ...."
Jeffrey menghela nafasnya berat, "Itu buna di kamar kamu, sana samperin."
"Takut nanti ganggu adek ...."
"Coba dulu, kak. Yuk ... ayah temenin."
Vano berlari pelan-pelan menuju kamarnya, mengabaikan porsi makanan yang tadi sudah disediakan. Pintu kayunya dibuka perlahan, dipeluknya cepat tubuh sang Ibu yang tengah mengelus surai adiknya. Vano menenggelamkan kepalanya dalam dekapan hangat ibunya, rasanya merupakan tempat ternyaman untuknya singgah sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married Her [New Season On Going]
RandomNew Season : "Kita ini keluarga, kita jalanin semuanya bareng-bareng. Jangan putus asa dulu." Perjalanan setiap keluarga tidak ada yang selalu lurus tanpa rintangan, besar ataupun kecil pasti ada. Yang dipertanyakan adalah, apakah mereka masih bisa...