2.4 ᝰ Sebagai Anak Pertama

778 116 17
                                    

Kadang memang harus mengorbankan sesuatu yang besar, demi hal lain yang ingin digapai. Karena tidak selamanya, manusia itu mendapatkan semua yang diinginkannya. Selalu ada kekurangan dan kelebihan, dan di setiap perjuangan pasti ada banyak pengorbanan. Tidak ada hal yang instan didapatkan, semua butuh proses yang melelahkan. Tinggal bagaimana kita mengatasi rasa lelah, dan kembali bertarung.

Vano tidak pernah menyangka akan sebesar ini batin yang ia korbankan untuk adiknya sendiri. Sebuah jam dinding di pos satpam sudah menunjukkan pukul tiga sore, yang berarti sudah tiga jam Vano menunggu di sekolah. Tadi, dirinya sudah menyempatkan diri sholat zhuhur sebentar, namun sampai ashar akan berkumandang, belum juga ada yang menjemputnya.

Vano terus celingukan, hingga tidak sengaja melihat sebuah taksi berhenti di dekat gerbang sekolahnya. Vano berlari kesana, anak itu masuk ke taksi tersebut ketika tau mobil berwarna biru itu sedang tidak memiliki penumpang. Sang Sopir menatapnya heran, tapi Vano masih berusaha tenang.

"Pak, tolong antar ke Rumah Sakit Kusumawati." Vano berucap, sambil menatap sopir taksi itu.

"Sendiri aja, dek?"

"Kalo bapak lihat saya berdua, berarti bapak punya indra keenam."

Bapak itu menelan ludahnya kasar, "Maksudnya, nggak sama ibu atau bapak?"

Vano mendengus kesal, "Saya nggak bisa kasih informasi, kita bahkan tidak saling kenal."

Sopir taksi mengangguk pelan, "Adek bawa uang?"

Vano menatap sopir taksi yang tengah mengantarnya itu, "Bapak tau saya sekolah dimana kan?"

"Tau, di sekolah internasional yang tadi kan?"

"Terus kenapa nanya soal uang? Sekarang, saya cuman minta bapak antar saya ke rumah sakit itu. Nggak usah banyak tanya, ya!"

Sopir taksi itu mengangguk menuruti, tatapan Vano cukup menyeramkan untuk ukuran anak kelas satu SD. Nampaknya, anak itu memang sudah begitu lelah hari ini. Menunggu memang kelihatannya adalah hal yang sederhana, namun ada begitu banyak kesabaran yang dilimpahkan dalam kegiatan itu. Sayangnya, manusia itu selalu punya batas dalam sabar, termasuk Vano yang masih begitu kecil.

Sekitar dua puluh lima menit sampai akhirnya Vano tiba di depan lobi rumah sakit. Vano mengatakan pada si Sopir Taksi untuk menunggu sebentar, sungguh dirinya juga bingung harus kemana meminta uangnya. Entah mendapat keberuntungan darimana, seorang dokter yang Vano kenal langsung menarik atensinya.

"Om Bayu!" teriak Vano.

Bayu menoleh, mendapati Vano berlari kecil menuju dirinya yang kebetulan lewat di depan lobi. Bayu mengernyit, "Kamu kok disini? Nggak di atas sama buna, ayah?"

Vano menggeleng, "Boleh minta tolong?"

Dokter Bayu mengangguk, "Tolong apa?"

Vano menunjuk sebuah taksi yang masih menunggu di depan lobi, "Tolong bayarin taksinya, tadi Vano naik itu dari sekolah."

"Hah?" Bayu sontak melihat jam tangannya, pria itu kemudian menyadari ini sudah terlalu sore untuk seorang anak SD baru saja pulang sekolah. Tidak mau berspekulasi lebih, Bayu segera membayarkan ongkos Vano.

Setelah taksinya pergi, Bayu kembali menghampiri Vano, "Kamu tadi pagi sekolah? Om kira kamu masih sama Jeffrey."

"Hah? Emangnya ayah kenapa?" tanya Vano, sembari mengambar gandengan Bayu yang mengarahkannya ke suatu tempat.

Bayu menghela nafasnya panjang, tidak lama langkahnya tiba di depan koridor ruang operasi. Bayu menunjuk Jeffrey dan Rayna yang tengah berdiri di dekat pintu, "Adikmu masuk ruang operasi tiga jam yang lalu, sampai sekarang operasinya belum selesai. Om kira kamu tau."

Married Her [New Season On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang