Hebatnya sebuah keluarga terlihat dari bagaimana cara mereka menghadapi masalah yang menghadang. Masalah yang kadang bisa mengancam keharmonisan sebuah keluarga itu, tidak lagi berarti apa-apa. Pada intinya, mereka masih bersama siap akan setiap hal yang akan menerjang.
Pagi ini, Nana sendiri bisa merasakan bagaimana tidak enaknya daksa miliknya itu. Rasanya begitu kaku, bahkan untuk bergerak sedikit saja sulit sekali. Rayna yang sedari tadi membantu Nana untuk mengubah posisi tidurnya menjadi setengah tegak, karena anak itu akan menerima asupan makanan.
Rayna mengelus pelan surai Nana, kemudian mengambil mangkuk bubur yang disediakan oleh ruamh sakit. Rayna tersenyum ketika Nana mau menerima suapannya, "Dek, semangat ya? Yakin sama buna kamu bisa sembuh."
"Adek semangat kok, bun. Ayah aja bisa sembuh, masa adek nggak."
Rayna mencium kening si Bungsu, "Pinter banget anak buna. Nanti, kalo boleh keluar rumah sakit, kamu jangan capek-capek dulu ya? Nggak bisa main dulu sama temen-temen, nggak bisa main bola juga sama kakak. Nggak papa kan?"
Wajah Nana awalnya biasa saja, sampai anak itu tersenyum manis, "Yang penting adek sembuh kan, buna?"
Sepersekon kemudian, Rayna langsung mendekap tubuh mungil anaknya ini. Mengelus pelan punggung Nana dengan penuh kasih sayang. Ada banyak sekali hal yang sudah ia lewati bersama Nana selama ini, bahkan Vano sanggup mengalah untuk perhatian sang Buna kepada Nana. Istilahnya, memang Nana ini anak kesayangan buna.
Tidak lama kemudian, seorang dokter masuk ke ruang rawat Nana dengan senyumnya yang menawan. Dokter yang pernah menangani Jeffrey dulu itu, kini terlihat jauh lebih santai ketimbang ketika menghadapi Jeffrey. Entah karena harus menyembunyikan parahnya, atau memang tidak separah dulu.
"Bagaimana hari ini Jenanda?" tanya Juan.
Nana mengangguk pasti dengan senyuman, "Lagi disuapin buna, om."
"Yasudah, bentar ya om periksa dulu," pinta Juan.
Kala dadanya dielus sedikit oleh Juan, Nana berusaha hanya fokus pada senyuman sang Bunda untuk mengabaikan rasa sakit yang ada. Nana tidak tau harus bagaimana, karena ini benar-benar pertama kali ia menjadi seorang pasien tetap di sebuah rumah sakit. Apalagi, penyakit yang kini diidapnya bukanlah hal yang bisa disepelekan.
Juan tersenyum manis, ketika selesai memeriksa organ vital milik Nana ini, "Udah ya, Jenanda."
"Nana aja, om. Kepanjangan kalo Jenanda."
Juan mengelus pelan surai si Kecil Nana, "Iya, Nana. Lucu banget sih anaknya siapa?"
Nana berdecak pelan, "Aduh ... Om Juan jokes bapak-bapaknya udah ketinggalan ah."
Juan dan Rayna sama-sama tertawa dengan keluhan Nana. Anak itu memang seperti masih menikmati hidupnya yang sudah mulai tidak berjalan semudah membalikkan telapak tangan. Rayna mencium kening Nana lembut, "Habis ini adek istirahat lagi ya?"
@.@
Malam kemarin dengan malam ini memang hampir tidak jauh berbeda. Hanya saja, malam ini Jevano memilih masih terjaga sambil menunggu sang Ayah kembali ke rumah sakit dari kantor. Jevano masih dalam mode mengalah, ketika sang Bunda tidak lagi menanyakan dirinya tentang sudah makan atau belum. Dirinya paham, sang Bunda harus merawat Nana dengan baik.
Kepala Vano terangkat memandang daksa ibu dan adiknya tengah berpelukan dalam satu ranjang. Memang, bukanlah suatu hal yang langka lagi, karena kenyataannya Vano tidak hanya sekali melihat pemandangan seperti ini. Ketika sang Bunda akan memeluk Nana dulu sampai tidur, kemudian sebelum keluar kamar ibunya akan menyempatkan untuk mencium keningnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married Her [New Season On Going]
RandomNew Season : "Kita ini keluarga, kita jalanin semuanya bareng-bareng. Jangan putus asa dulu." Perjalanan setiap keluarga tidak ada yang selalu lurus tanpa rintangan, besar ataupun kecil pasti ada. Yang dipertanyakan adalah, apakah mereka masih bisa...