12 - Sweet, Like Apple. But...

89 31 18
                                    

Tok! Tok! Tok!

Ardhan bangun dari tidurnya saat mendengar suara ketukan pintu dari luar kamarnya. Dia menyempatkan diri melirik jam weker di atas nakas guna mengecek jam berapa sekarang ini---

16:02 WIB.

---Sebelum akhirnya dia melirik ke arah pintu kamarnya yang kembali diketuk dari luar.

Apa mungkin Elania dan Davi? Mengingat sudah jam pulang sekolah dan guru-guru juga pasti sudah pulang.

Tok! Tok! Tok!

Ardhan menghela napasnya pelan, kenapa juga dua manusia itu tidak langsung masuk ke dalam saja. Ardhan sedang malas membuka suara bahkan mengeluarkan sepatah kata seperti 'masuk' pun rasanya malas.

"Mas"

Ardhan tersentak terkejut saat dia mendengar suara lembut seseorang dari balik pintu kamarnya. Dugaannya salah ternyata. Itu bukan Elania maupun Davi.

Ardhan kemudian bangkit dengan susah payah merubah posisinya menjadi posisi duduk dan kemudian menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang. Ardhan yakin dia tidak masuk kategori sakit parah, tapi entahlah kenapa tubuhnya terasa lemas begini. Bisa jadi karena seharian ini Ardhan terus berbaring di atas kasur. Bukan kemauan Ardhan, tentu saja, melainkan perintah dari Hansa langsung.

Ardhan jelas tidak akan menuruti perintah Hansa, tapi sialnya Ayahnya jauh lebih tahu soal dirinya. Alhasil Ayah dengan sukarela memberi perintah ulang pada Ardhan agar mengikuti apapun yang Hansa katakan---Ardhan mana pernah bisa tidak menuruti perintah Ayahnya. Bahkan saking totalitasnya Ayah sampai menyita alat komunikasinya seperti laptop, ponsel bahkan remot televisi agar Ardhan benar-benar istirahat seharian ini. Luar biasa protektif Ayahnya itu. Tidak heran juga sih mengingat beberapa tahun lalu Ayahnya seniat itu pindah rumah hanya agar Ardhan bisa mendapatkan suasana baru dan diharapkan bisa segera kembali pulih. Sisi protektif yang Ayahnya tunjukkan sekarang ini hanya sebagian kecilnya saja. Paling-paling tidak sampai sepuluh persen. 

Ngomong-ngomong, Hansa sendiri adalah adik bungsu Ayahnya. Dia lahir setelah istri Mahesa lahir, rentangnya cukup jauh, sekitar tujuh tahunan, sementara dengan Ayahnya sekitar sepuluh tahunan. Yah, ketimbang memiliki dokter pribadi Ayah lebih suka menyerahkan tugas mengobati Ardhan pada Hansa.

Semuanya bukan semata-mata karena Hansa adalah paman Ardhan apalagi diiming-imingi pengobatan gratis, uang Ayah Ardhan cukup untuk membiayai pengobatan Ardhan bahkan sampai ke luar negeri sekalipun. Alasan Ayah mempercayai Hansa karena beberapa alasan pribadi. Yang jelas ada proses yang cukup panjang sebelum sampai ke titik tersebut.

"Masuk..." ujar Ardhan dengan suara seraknya. Ah sial, Ardhan benar-benar haus sekarang. Ardhan melirik sekilas ke arah gelas kosong yang terletak di sisi jam weker tadi lantas menghembuskan napasnya keras.

Ardhan lantas kembali menatap ke arah pintu kamarnya yang masih tertutup rapat. Apa mungkin dia tidak mendengar suaranya barusan?

"Masuk Chila"

Cklek

Krieett~

Pintu kemudian terbuka lebar. Ardhan mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali saat melihat seorang wanita berambut pendek dengan rok span selutut dan atasan berupa kemeja putih yang dibalut oleh cardigan sepanjang roknya itu berdiri ditengah pintu dengan raut wajah tertekuknya sembari menenteng kantung plastik yang entah isinya apa.

Ardhan mengangkat satu alisnya saat dua menit berlalu dan Chila benar-benar hanya berdiri di sana, kali ini tangan satunya sibuk meremat tali tas selempang yang terselempang di badannya.

The Teachers (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang