22 - Dua Rasa

95 29 15
                                    

Elania melirik jam dinding yang kini menunjukkan pukul tiga sore. Dia lantas melirik meja di sisinya yang sejak jam istirahat kedua hanya diisi oleh sebuah tas selempang, sementara pemiliknya entah sedang berada di mana.


Helaan napas berat pun keluar dari belah bibir Elania, Elania menaruh dagunya ke atas tumpukan buku gambar di mejanya sementara tatapannya mulai bergulir menuju ke arah lain, tepatnya adalah ke arah meja Davi berada yang keadaannya tidak beda jauh dengan keadaan meja Ardhan, sama-sama dalam keadaan kosong.

Mungkin yang membedakan adalah alasannya.

Alasan Davi tidak ada dimejanya sebab Davi memang hanya memiliki jadwal mengajar di jam pertama dan jam kedua saja, sama seperti Elania yang pagi tadi juga memiliki jadwal mengajar tepatnya sih di jam kedua sampai jam istirahat dan baru kembali ke ruang guru saat bel istirahat pertama berbunyi, bertepatan dengan keadaan meja Davi yang sudah kosong.

Pada intinya, lagi dan lagi, Davi tidak bisa menjadi penolongnya.

Penolong hubungan antara dirinya dan Ardhan yang tidak dalam keadaan baik-baik saja.

Elania kemudian menggulirkan bola matanya menatap lurus pada pintu ruang guru yang tertutup rapat membayangkan akan seperti apa hubungannya dengan Ardhan jika kejadian semalam sudah memberikan jarak yang pasti untuk keduanya.

Ya, Elania sadar bahwa keputusannya untuk tidak menjelaskan apa alasannya merahasiakan semuanya pada Ardhan dan Davi mungkin bisa menjadi alasan munculnya rasa sakit baru, baik di hatinya maupun dihati Ardhan dan mungkin juga dihati Davi jika Davi tahu soal kejadian semalam. Terbukti sekarang, ketimbang Ardhan berusaha mendesaknya untuk jujur Ardhan malah lebih memilih melepaskannya, membiarkan semuanya berjalan sesuai keinginan Elania dan pada akhirnya mau tidak mau Elania harus bisa menerima keadaan yang menimpanya sekarang. Elania harus bisa menerima ketika Ardhan seolah menjauhinya bahkan hari ini tidak ada satupun kata yang terucap dari bibir Ardhan. Agak berbeda kasus dengan Davi yang sempat menyapanya pagi tadi. Meskipun sekilas tapi Elania tahu bahwa rasa kecewa itu perlahan mulai terkikis oleh waktu, Davi memang laki-laki luar biasa yang semudah itu memaafkan orang. Tapi Ardhan?

"El Mas Ar bukan gue"

"Dia perlu alasan untuk bisa maafin lo. Apa lo nggak mau dimaafin sama dia?"

Elania mengerutkan keningnya dalam-dalam saat secara tiba-tiba dia mengingat apa yang Davi katakan semalam.

"Apa gue minta maaf aja sama Mas Ardhan dan jelasin sedikit soal alasan kenapa gue sampai merahasiakan semuanya sama dia" gumamnya. Elania terdiam sejenak tampak mempertimbangkan semuanya, 'Paling enggak dia bisa paham sama posisi gue dan dia nggak akan sekecewa itu sama gue' batinnya.

Elania menganggukkan kepalanya pelan. Dia kemudian bangkit dari posisinya lantas berjalan keluar dari ruang guru mencari keberadaan Ardhan.

Tempat pertama yang Elania datangi adalah laboratorium. Elania ingat, hari ini Ardhan tidak ada jadwal mengajar di kelas sampai sore, terakhir itu sekitar sebelum istirahat kedua dan sudah bisa dipastikan bahwa Ardhan pasti tidak berada di kelas. Seharusnya Ardhan di ruang guru, tapi jika ditempat itu pun tidak ada, maka Elania yakin Ardhan pasti ada di laboratorium IPA; tempat kesukaan Ardhan.

Elania menghentikan langkahnya di depan pintu laboratorium. Dia menghembuskan napasnya kasar mencoba menetralkan rasa gugup yang entah bagaimana caranya memenuhi hatinya. Ah, padahal kan Ardhan belum tentu ada di dalam sana. Tapi entahlah, kenapa Elania merasakan perasaan seperti ini sekarang.

Dengan segenap keberanian yang sejujurnya tidak seberapa, Elania kemudian mendorong pintu laboratorium IPA perlahan.

Seulas senyuman tipis terpatri di wajah Elania saat manik matanya melihat presensi Ardhan yang ternyata memang berada di dalam laboratorium, sesuai dugaannya. Dia terlihat duduk di sebuah bangku bundar di belakang meja ngomong-ngomong.

The Teachers (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang