36 - Different Answer

90 29 12
                                    

"Ekhem"

Elania menolehkan kepalanya dalam tempo cepat. Terkejut bukan main ketika mendengar suara dehaman seseorang dikala dirinya sedang terjun ke alam bawah sadarnya, memikirkan segala hal yang menjadi akar dari kebiasaan Elania dalam berbohong. Mulanya memang berbohong akan perasannya, hingga kemudian merembet ke banyak hal dan sempat membuat persahabatan mereka hancur. Beruntung terselamatkan karena kedua sahabatnya yang bisa memahaminya.

Belum juga selesai dengan rasa keterkejutannya, jantung Elania harus kembali bekerja ekstra, berdegup dengan begitu kencangnya seolah akan melompat melewati rongga dadanya. Tepatnya saat melihat sosok seorang pria berbalut kemeja formal dan celana katun longgar berjalan menghampirinya sembari melemparkan senyuman manisnya yang membuat wajahnya terlihat berkali-kali lipat lebih tampan.

Ah sial, terkadang Elania merutuki dirinya yang selalu memuji sosok pria itu kelewat berlebihan. Bukannya sosok itu tidak pantas mendapatkan pujian darinya, hanya saja Elania sadar bahwa memuji tanpa bisa disampaikan hanyalah suatu hal yang percuma. Kalimat bahwa Davi jauh lebih menarik dibanding sosok itu selalu dijadikan alasan, meskipun bagi wanita yang memiliki rasa lebih pada seorang pria, jelas saja mau diapakan pun si pria yang dia sukai akan jauh diatas segala-galanya dari pria lain, termasuk Davi sekalipun. Pandangan seorang wanita memang begitu kan?

Elania mengulum bibirnya. Melihat dia yang kini duduk di sisinya tapi tidak sedikitpun melihat ke arah Elania, melainkan menatap lurus ke arah danau buatan sekolah. Tampak menikmati pemandangan yang sudah berkali-kali dia lihat.

Suasana hening mendominasi. Elania membiarkan mereka duduk di sana dalam diam. Elania fokus melakukan kegiatan memainkan topinya sendiri. Mengusir kecanggungan yang biasanya akan muncul diantara keduanya ketika diposisikan berdua begini. Tidak selalu, tapi sekalinya muncul akan menimbulkan suasana yang berbeda. Sialnya terjadi dihari ini.

"Nggak makan di kantin, Mas?" Tanya Elania memecah hening diantara mereka. Elania tidak begitu suka kecanggungan yang terjadi diantara mereka sekarang. Aneh. Ditambah pemikirannya barusan yang menjelajahi masa lalu dan menemukan banyak sekali perkataan berisi kebohongan yang menyakiti hati Ardhan. Kecanggungan sekarang ini seolah diakibatkan oleh pertemuan pertama mereka setelah kejadian itu.

Ardhan, sosok yang menghampirinya itu menoleh sekilas ke arah Elania kemudian menggelengkan kepalanya pelan, "lo sendiri?"

"Nggak laper" balasnya singkat. Elania melirik Ardhan sekilas kemudian kembali menatap ke arah danau buatan di sana. Ardhan sendiri meresponnya hanya dengan anggukan pelan. Dia lantas menatap wajah Elania dari samping. Terlihat jelas sorot keraguan dari caranya menatap Elania. Sejak awal dirinya mencari Elania memang ada yang ingin dia bicarakan, sesuatu yang sangat penting, tapi ketika dirinya sudah bertemu Elania ditambah dengan suasana yang sangat mendukung, Ardhan malah dilanda keraguan dan rasa takut seperti ini. Ia takut respon Elania terlalu berlebihan, "eum---Gue dari tadi nyariin lo"

Elania menoleh ke arah Ardhan dalam tempo cepat saat Ardhan tiba-tiba mengatakan hal itu. Elania berdeham pelan sadar bahwa reaksinya terlalu berlebihan untuk seukuran sahabat yang sudah beratus-ratus kali mendengar ucapan Ardhan dengan makna serupa. Elania hanya merasa sedikit janggal pada nada suara Ardhan yang terdengar ragu.

"Ada yang mau dibahas ya, Mas?"

Anggukan pelan menjadi jawaban Ardhan atas pertanyaan Elania. Ardhan berdeham pelan sebelum mengatakan apa yang sebenarnya ingin dia bahas. "Gue udah bicara sama Luna"

Elania mengerjapkan kelopak matanya beberapa kali tampak terkejut ketika menyadari bahwa pembahasan yang Ardhan bangun sekarang bukan berkaitan soal hati seperti yang dia pikirkan. Melainkan tentang wanita ular itu.

The Teachers (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang