Musik? Gila kamu!

299 23 69
                                    

Saat pembagian rapor adalah saat paling mendebarkan bagi semua siswa. Terutama bagi mereka yang tidak pintar dibidang akademik. Begitu juga bagi Jennie --seorang siswa di SMA Bela Negara. Ia meremas tangannya takut akan menerima amukan ibunya karena nilainya sangat jauh dari ekspektasi sang ibu.

"Ranking terakhir lagi? " Ujar Mamanya dengan frustasi seraya menghempaskan rapor Jennie ke atas meja.

Udara disekitarnya mendadak panas. Jennie bisa merasakan api amarah ibunya yang sebentar lagi akan meledak.

"Mau jadi apa sih Jen? Kan Mama udah sering bilang, belajar belajar BELAJAR!! Jangan main piano sama gitar terus! Liat nih, nilai kamu jadi ANCUR! "

Jennie meremas tangannya dengan kalut. Ya, sebagian ini memang salahnya. Tapi dia tidak terima hobinya selalu dikait-kaitkan dengan belajar. Jennie bukannya sibuk dengan piano dan gitarnya. Dia hanya tidak suka belajar.

Jennie memberanikan diri untuk bicara. Ia merasa harus membela dirinya. "Bukan ranking terakhir kok Ma. Ada dua orang lagi dibawah Jennie-"

"Trus, kamu pikir Mama bakalan seneng dengernya?! Kamu liat dong abang kamu! Jangankan ranking terakhir, keluar dari ranking 3 besar aja gak pernah! "

Kedua bola mata Jennie terpejam kesal. Abang abang abang terus! Kenapa sih mamanya selalu membanding-bandingkan dia dengan abangnya? 

"Jennie kan juga 3 besar, tiga besar dari belakang hehe-" balasnya sinis.

Kedua manik hitam mamanya melotot. "Gak lucu!"

"Ya lagian Jennie ga butuh dapet nilai bagus disemua mata pelajaran Ma. Yang penting kan semuanya tuntas. Jennie itu mau kerja di dunia musik. Jadi apa pentingnya punya nilai matematika 90? Ya gak sih Ma? "

Jennie harap mamanya akan mengerti hal ini. Jennie merasa dia tidak punya bakat dibidang akademik. Dia juga tidak tertarik bekerja kantoran. Apalagi menjadi dokter seperti abangnya. Hal itu tidak pernah terlintas dibenak Jennie.

Mamanya tertawa mengejek mendengar ide yang dilontarkan Jennie. "Apa kamu bilang? Musik? Udah gila ya kamu? "

Jennie menatap mamanya bingung. Dia merasa apa yang dia cita-citakan itu bukanlah ide yang gila. Justru dia sangat antusias hendak menyelesaikan masa SMA dan masuk ke jurusan yang diidam-idamkannya. "Ya kan emang Jennie mau jadi komposer. "

Lita, Mama Jennie, mengurut keningnya dengan frustasi. Anak bungsunya memang berbeda sekali dengan si sulung, Alan. Alan hampir selalu juara 1 dikelas. Ia juga disiplin dan pandai dalam mengatur waktunya. Lita tidak pernah pusing karena Alan, yang ada dia selalu dibuat bangga oleh prestasi anak sulungnya itu. Bertolak belakang dengan Jennie. Anaknya ini susah sekali dinasehati. Keras kepala dan keras hati!

"Mama ga setuju. Lebih baik kamu fokus belajar dan pilih jurusan yang lapangan pekerjaannya lebih luas. Mau jadi apa kamu nanti kalau main musik ga jelas! Mau makan pakai apa kamu? Pakai daun?"

Selalu seperti itu, batin Jennie. Mamanya itu tidak pernah mau mendengarkan pendapatnya. Selalu memaksakan pemikirannya pada Jennie. Jika dia ingin A maka Jennie harus melakukan A. Mamanya selalu merasa dia tahu segalanya tentang Jennie dan Jennie tidak tahu apa-apa tentang dunia ini. Padahal Jennie kan juga punya pemikiran sendiri. Pemikiran yang bisa jadi lebih baik dari Mamanya jika saja Mamanya mau mendengarkan. Kenapa sih mamanya gak mau ngerti?

"Mama gimana sih! Ga support impian anaknya! " seru Jennie marah.

"Mimpi? Mimpi apa? Ga perlu mimpi, yang penting itu kamu bisa makan, punya rumah, punya kendaraan, udah!"

"Jennie ga mau ma, kalau harus jadi karyawan kayak Mama! "

Lita melempar Jennie dengan bantal sofa yang ada di dekatnya dengan geram. Ia tak tahu bagaimana cara menyadarkan anaknya. Rasanya ingin mengguncang-guncang tubuh Jennie supaya sadar. Tidak ada orang tua yang ingin menjerumuskan anaknya. Apa yang dia pilih untuk Jennie itulah yang terbaik untuk Jennie. Tapi anaknya itu bandel sekali.

JeNa (Jennie and Alfa)  || COMPLETE ||Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang