"Udah? "
Jennie menatap Alfa yang kini telah berada di kelasnya. Saat itu kelasnya hampir kosong karena guru yang mengajar telah keluar sejak sepuluh menit yang lalu. Hanya ada Jennie dan tiga anak cowok yang terlihat sedang mendiskusikan sesuatu di meja bagian belakang.
"Kok lama sih? " tanya Jennie tak habis pikir kenapa lama sekali Alfa datang menjemputnya. Dia sempat berniat menyusul Alfa ke kelas MIPA satu tadi. Akan tetapi cewek itu terlalu malas jika harus disoroti dengan tatapan menyebalkan dari anak cewek kelas Alfa.
Cowok itu mengusap belakang lehernya. Wajahnya tampak lelah. "Yuk, " ajaknya sambil mengulurkan tangannya.
Jennie bersidekap. "Aku tanya alasan kenapa kamu telat," ujar cewek itu menuntut. Ia terlanjur kesal karena gelisah menunggu tanpa kabar.
Alfa menghela napasnya, berat. Cowok itu akhirnya berbicara dengan dipaksakan. "Tadi dipanggil sama bu Citra. Bimbingan karir. "
Raut wajah Alfa terlihat kusut. Cowok itu terlihat tidak ingin membicarakan topik tersebut. Jadi Jennie memilih untuk diam dan mengikuti langkah cowok itu keluar dari kelas.
Begitu sampai ditempat parkir, mereka dihampiri oleh dua orang cewek --yang sepertinya adik kelasnya. Jennie mengenali keduanya sebagai adik kelas karena wajah mereka terlalu 'unyu' dan polos untuk anak kelas 12. Jennie mengira salah satu dari anak cewek itu adalah adiknya Alfa yang bernama Nabila. Akan tetapi dia tidak tahu yang mana karena menurutnya tidak satu pun dari keduanya yang mirip Alfa.
"Yang mana Nabila? " bisik Jennie pada Alfa.
Dari pada menunjuk seseorang yang merupakan adiknya, Alfa lebih memilih memperkenalkan keduanya.
"Jen, kenalin ini adik gue, Nabila. Bil, kenalin Jennie, " cowok itu berujar cuek dengan kedua tangan terbenam di saku. Cowok itu menunjuk keduanya hanya dengan tatapan dan kedikan bahu.
Jennie mengulurkan tangannya lebih dulu pada seorang cewek berkaca mata dan rambut ponytail. Kulitnya putih bersih seperti Alfa dan mungkin jika dia sedikit berdandan ia tidak akan kalah menawan seperti abangnya. Tapi sayangnya cewek itu bukan tipikal yang peduli dengan penampilan.
"Jennie, "
"Nabila, "
Nabila lebih dulu tersenyum ke arah Jennie. Jennie balas tersenyum pada cewek itu.
"Udah yuk bang. Lama banget sih! Udah berkuah nih nungguin dari tadi, " keluh Nabila pada Alfa dengan nada kesal.
"Iya, bawel ah, " Alfa meng-unlock kunci mobilnya. Cowok itu membuka pintu yang berada disebelah kemudi dan masuk ke dalamnya.
Jennie bingung dirinya harus duduk disebelah mana. Jadi ia menunggu hingga Nabila memilih tempat duduknya sendiri. Setelah itu barulah dia ikut masuk ke dalam mobil Alfa.
Selang beberapa saat mobil tersebut telah berada di jalan raya. Jennie akhirnya duduk di jok depan sedangkan Nabila dan temannya --yang Jennie tak tahu namanya-- duduk dibagian belakang.
"Pulang jam berapa? " tanya Alfa.
Jennie menatap Alfa bingung karena dia pikir pertanyaan itu ditujukan padanya. Namun sebelum dia membuka mulutnya, Nabila lebih dulu menjawab.
"Jam 8,"
Alfa membelalakkan matanya seraya melirik ke belakang sekilas. "Kenapa malem banget sih?! " seru cowok itu kesal.
"Ya namanya juga kerja kelompok. Pasti lama lah. Mana ini bikin prakarya. Udah untung aku ga nginep disana, " Nabila membela dirinya.
"Ya gak harus gitu juga. Bawa aja prakaryanya pulang, ntar abang bantuin. "
"Males banget lah. Itu kan kerja kelompok bukan individu. Ngapain aku kerajinan ngerjain itu sendirian? " Nabila mengutuk kesal mendengar ide abangnya itu.
"Ya ketimbang kamu pulang malem karna kerja kelompok yang lebih kebanyakan ngobrolnya dari pada kerja, " oceh Alfa. "Pokoknya abang jemput jam 6. Jam 6 udah harus pulang. "
"Yah, kok gitu?! " seru Nabila tak terima. "Mama aja ngijinin! "
"Ya kalau kamu mau pulangnya jam 8 cari tumpangan lain aja sana, " ancam Alfa.
Mulut Nabila membuka tidak percaya dengan ancaman abangnya itu. Ia menatap teman sekelompoknya yang menahan senyum melihatnya. Sedangkan Jennie --pacar abangnya itu-- tampak meringgis. Nabila menebak, sepertinya Jennie juga mengalami masalah yang sama dengannya. Sikap suka mengatur Alfa itu benar-benar menyebalkan. Meski pun segala hal yang dilakukannya untuk kebaikan mereka juga.
"Kak Jennie, " panggil Nabila.
"Hm? " Jennie tampak kaget karena Nabila tiba-tiba mengajaknya bicara.
"Aku turut berduka cita. Yang sabar ya kak ngadepin kak Alfa, "
Ucapannya membuat Alfa --untuk kesekian kalinya-- mendelik padanya. Akan tetapi bibir cowok itu sama sekali tak terbuka untuk melemparkan balasan. Justru cowok itu penasaran dengan reaksi cewek disebelahnya.
Jennie cuma terkekeh sendiri. Guratan tertekan terlihat jelas diraut wajahnya. Cewek itu menatap Nabila dan mengangguk. Seolah dirinya menyetujui apa pun yang ada dibenak Nabila saat ini.
Alfa menghela napasnya. Cowok itu memutar bola matanya malas. Sebelah tangannya terulur untuk mencubit pipi Jennie. Entah apa tujuannya. Yang jelas dia hanya gemas saat ini.
Akhirnya setelah kurang lebih 30 menit perjalanan, mobil itu mendarat di depan sebuah rumah bergaya minimalis. Nabila beserta temannya --yang Jennie masih belum tau namanya itu-- turun dari mobil. Hanya Jennie dan Alfa yang tersisa disana setelah sebelumnya cowok itu mengingatkan --hampir seperti mengancam sebenarnya-- agar adiknya itu tidak membuatnya menunggu nanti. Jennie bergidik ngeri. Dalam hati dia bersyukur dia dianugerahi Abang yang sabar, penyayang, dan pengertian seperti Alan.
"Yang, udah deh. Biarin aja Nabila bebas sedikit kenapa? Dia kan udah gede juga, " ucap Jennie sedikit sebal karena Alfa masih memandangi sosok Nabila memasuki halaman rumah minimalis bercat putih tersebut. Mata cowok itu menyipit mendapati anak cowok yang membukakan pintu.
"Mana dirumah cowok lagi belajar kelompoknya, " Alfa geleng-geleng kepala.
"Ih, udah, kayak bapak-bapak deh kamu, "
"Aku cuma khawatir. Dia kan cewek. "
"Aku juga cewek, " Jennie menunjuk dirinya sendiri. "Dan kamu pacar aku. Dan kita lagi berduaan sekarang dimobil. "
Alfa memutar pandangannya ke arah Jennie. Otaknya berusaha mencerna maksud dari ucapan Jennie. Akhirnya satu helaan napas lolos melewati mulutnya. "Kamu pasti ngerti. Banyak banget cowok brengsek didunia ini. " Secara tidak langsung Alfa mengingatkan Jennie pada mantan-mantan Jennie yang pernah ditemuinya. "Nabila itu terlalu polos. "
"Kalau gitu aku ga polos? Jadi gapapa kalau aku berduaan sama cowok yang aku suka? Hmm? " Jennie mengangkat sebelah alisnya.
Lagi, Alfa menatap pacarnya itu cukup lama. Sebelah tangannya terulur untuk mengelus helaian rambut Jennie yang jatuh di pipinya. Sepertinya cowok itu baru sadar kalau dirinya double standar. Tapi sangat berat mengakui hal tersebut. Alfa membuka mulutnya.
"Aku cuma mau ngelindungin kamu dan Nabila oke? " jelas Alfa.
Jennie mengangguk. Dia tidak meragukan intensi Alfa akan hal itu.
"Oke, aku akan coba lebih percaya sama Nabila." Alfa mengangguk paham. "Tapi kalau pacar aku, kayaknya aku masih butuh waktu buat ngendaliin diri aku sendiri. Kamu pasti tau kalau aku cemburuan."
Mendengar itu Jennie mengangguk setuju. Sejak berpacaran dengan Alfa dia memang lebih banyak mengalah dari sebelumnya. Jennie menghindari hal-hal yang mungkin akan membuat Alfa kesal --seperti bercanda dengan anak-anak cowok di kelasnya. Tapi Jennie melakukannya dengan suka rela. Menurutnya hal-hal yang diminta Alfa darinya masih dalam batas wajar dan dia tidak keberatan melakukannya.
"Oke aku ngerti."
Alfa mengulurkan tangan untuk mencubit pipi pacarnya dengan perasaan sayang dan gemas.
"Apa?" tanya Jennie ikut gemas dengan tindak tanduk pacarnya yang mendadak tersenyum manis.
"Enggak. Cantik banget pacar aku,"
"Halah, gombal."
KAMU SEDANG MEMBACA
JeNa (Jennie and Alfa) || COMPLETE ||
Roman pour Adolescents"Gue tau lo kesulitan di mata pelajaran eksak, dan gue ahli dibidang itu. Gue bisa bantu lo jadi tutor lo supaya misi lo semester ini berhasil. " Ucapan Alfa tersebut berhasil menarik perhatian Jennie. Cewek itu terlihat tengah memikirkan ide yang d...