Hari berikutnya adalah hari dimana Jennie terpaksa menjadi perwakilan kelasnya dalam pertandingan voli. Gadis itu tampak menggerutu. Sementara itu Alfa berdiri dipinggir lapangan dengan tawa tertahan.
Sebuah bola voli meluncur melintasi lapangan dengan kecepatan yang memukau ke arah Jennie. Dengan ekspresi wajah penuh kehati-hatian, Jennie menjauh dari bola dengan cepat.
Satu poin untuk tim lawan.
Gelak tawa terdengar dari penonton melihat aksi Jennie tersebut.
"Jen! Lo gimana sih?!" seru Ardito tak jauh dari tempat Jennie berada.
"Gue gak bisa main monyet!" Jennie benar-benar kesal pada ketua kelasnya itu. "Buru lo cari pengganti gue kalau ga mau kelas kita kalah!"
Ardito mengusap wajahnya frustasi. Ia tak punya pilihan lain selain membiarkan Jennie bermain untuk tim kelas mereka. Meskipun dia tahu Jennie itu payah dalam olahraga.
Tapi satu yang tak dia prediksi. Ternyata setelah melihat Jennie yang cendrung menghindari bola tersebut, tim lawan justru menjadikan gadis itu sebagai sasaran untuk mencetak angka. Beberapa kali Jennie terkena lemparan bola.
Ardito bisa melihat rahang Alfa mengetat melihat pemandangan itu. Lalu tiba-tiba pukulan smash dari pemain lain menghantam Jennie. Tubuh gadis itu terhuyung mundur dengan kekagetan, sementara penonton menahan napas dalam antisipasi reaksi selanjutnya.
Alfa berlari melintasi lapangan menghampiri Jennie yang tampak meringkuk memegangi hidungnya yang berdarah. Ardito ikut mendekat karena khawatir dengan kondisi Jennie. Namun gerakan tangan Alfa menahannya. Cowok itu menolaknya dengan tegas.
"Tahan pake tangan kamu. Kepalanya miringin ke depan. Oke. Kamu bisa jalan?" tanya Alfa pada Jennie.
Jennie mengangguk.
"Oke, kalau gitu kita ke UKS. Ngi, lo bisa bawa Jennie ke UKS, gue mau cari batu es buat ngompres." Anggi yang dari tadi berada di sisi Jennie pun mengangguk. Dia menemani Jennie ke UKS.
Alfa menatap Ardito dengan tatapan mengintimidasi. Kali ini Ardito menciut dibawah tatapan Alfa.
***
"Kamu gapapa?" tanya Alfa sesaat setelah Jennie mengompres hidungnya dengan kain berisi es yang diberikan Alfa. "Ada pusing atau gimana gitu?"
"Gapapa," jawab Jennie lemah.
"Kalau gak habis ini kita ke dokter deh, buat mastiin," usul Alfa.
"Aku gapapa Al," Jennie menggeleng.
Anggi menatap keduanya dan tersenyum. "Kalau gitu gue ke kelas ya Jen," pamit Anggi. "Lo WA aja kalau ada apa-apa."
Jennie mengangguk. "Thanks Ngi."
Sekarang hanya tinggal Jennie dan Alfa di ruangan itu. Jennie menatap Alfa yang masih tampak kesal karena kejadian tadi. Ia meraih tangan Alfa dan tersenyum pada cowok itu.
"Kenapa senyum-senyum?" Tanya Alfa heran.
"Gapapa. Seneng aja."
Alfa mengerutkan dahi. "Seneng gimana? Lagi bonyok kok malah seneng."
"Seneng soalnya ada yang merhatiin," jelas Jennie.
"Tapi aku gak seneng. Karna kamu buat aku khawatir,"
"Tapi aku seneng dikhawatirin sama kamu."
Alfa menggenggam lembut tangan Jennie dan mengusapnya pelan. Cowok itu tampak merenung selama beberapa saat lamanya.
"Jen..." panggil Alfa pelan.
"Hmmm."
"Kalau aku ga bisa selalu berada disisi kamu, gimana?"
Jennie mengerutkan dahi, kemudian tertawa. "Aku kan ga minta kamu setiap saat merhatiin aku Alfa. Kamu juga punya kehidupan kamu sendiri."
Alfa menatap Jennie dalam satu tatapan lurus. Ia tampak sangat serius. "Kalau kita kuliah nanti, aku mungkin ga akan ada buat kamu kayak sekarang. Aku ga akan ada saat kamu sakit. Ga ada saat kamu terluka. Apa kamu ga akan apa-apa?"
Jennie merasakan sakit di dadanya mendengar hal itu. "Maksud kamu apa sih? Aku gak ngerti."
Alfa bangkit berdiri. Ia mengalihkan pembicaraan. "Ya udah yuk, aku anterin kamu pulang. Lebih baik kamu istirahat di rumah."
"Kamu bilang kita ga akan putus. Kamu bilang kamu mau LDRan sama aku. Terus apa maksud kamu ngomong kayak tadi? Kamu bohongin aku?" Jennie bangkit berdiri. Api amarah berkobar dimatanya.
"Aku ga pernah bohong sama kamu,"
"Ya terus maksud kamu apa?"
Alfa menghela napasnya. "Aku ga mau putus sama kamu. Tapi kamu, bikin aku ragu sama keputusan yang udah aku buat. Tiap kali aku ngeliat kamu, aku selalu mikir, apa keputusan yang aku buat ini udah benar."
"Jelasin sama aku apa maksud kamu Alfa," ujar Jennie dengan suara bergetar. Gadis itu tampak menahan tangis.
"Jen, aku udah mutusin buat ngambil beasiswa ke Jerman."
Ucapan Alfa membuat Jennie merasa tanah di bawahnya seakan runtuh.
"Apa?"
***
Honda jazz berwarna hitam itu mendarat di depan rumah Jennie. Namun tak ada satu pun diantara keduanya yang keluar dari dalam mobil tersebut. Hanya ada hening selama perjalanan merek menuju rumah Jennie. Hingga Jennie buka suara.
"Kamu mau ke jerman?" tanya Jennie retoris.
Alfa mengangguk. "Ya."
"Kenapa harus Jerman?"
"Karna aku udah rencanain itu dari lama. Aku pikir peluang kerja akan lebih bagus kalau aku kuliah disana."
"Rencana kamu itu, apa gak bisa kamu wujutin disini? Kamu tinggal pilih jurusan apa pun yang kamu mau. Selama kita masih dipulau yang sama, aku gak keberatan kok Al, menempuh jarak berjam-jam cuma buat ketemu kamu."
Alfa diam sejenak, entah kenapa ia tahu Jennie akan bereaksi begitu. Disudut hatinya ia sedikit merasa kecewa. Kemudian tanpa menatap Jennie dia berkata, "Teknologi sekarang kan udah maju, Jen. Kita masih bisa berhubungan walau beda negara."
"Ya tapi rasanya bakalan beda!" Jennie menyugar rambutnya frustasi. Ia menghujamkan pandangannya pada Alfa. "Kamu ga ada disini, aku ga bisa dateng ke kamu kalau aku kangen, dan kamu juga ga bisa dateng saat aku bener-bener butuh kamu. Kamu ngerti gak sih Al maksud aku? Kalau aja misalnya saat kejadian tadi kamu gak ada, justru cowok lain yang ada buat aku, kamu yakin kamu bakalan baik-baik aja? Kamu yakin kita bakalan baik-baik aja?"
Alfa meremas stir mobilnya dengan rahang mengetat. Membayangkan hal itu saja sudah membuatnya marah. Tapi hal yang membuatnya semakin marah adalah pemikiran bahwa Jennie mempertimbangkan cowok lain selain dirinya.
"Kalau kamu benar-benar sayang sama aku, kamu gak akan biarin cowok mana pun masuk dalam hubungan kita. Kecuali memang itu mau kamu Jen."
Jennie tertawa tak percaya. Hatinya terasa sakit teriris karena sepertinya ia tak bisa melawan keputusan Alfa. Keputusan Alfa itu benar-benar membuatnya sakit.
"Kamu bener-bener gak takut kehilangan aku ya?" tanya Jennie dengan rasa tak percayanya.
Alfa menatap Jennie. "Aku sayang sama kamu. Tapi kalau kita mau teruskan hubungan ini aku membutuhkan Jennie versi lain. Jennie yang aku butuhkan adalah Jennie yang bersedia buat setia sama aku selama aku kuliah di jerman."
Jennie tercekat oleh air matanya sendiri. "Terus gimana dengan versi Alfa yang aku mau? Apa kamu peduli? Gak kan? Egois kamu."
Ia mendorong pintu mobil itu untuk keluar. Dalam hati ia masih berharap Alfa akan memgejarnya. Tapi tidak. Kali ini pria itu membiarkannya pergi begitu saja. Hati Jennie terasa hancur.
Malam itu ia menangis tanpa seorang pun di rumahnya mengetahui. Kali ini ia benar-benar patah hati untuk pertama kali.
KAMU SEDANG MEMBACA
JeNa (Jennie and Alfa) || COMPLETE ||
Novela Juvenil"Gue tau lo kesulitan di mata pelajaran eksak, dan gue ahli dibidang itu. Gue bisa bantu lo jadi tutor lo supaya misi lo semester ini berhasil. " Ucapan Alfa tersebut berhasil menarik perhatian Jennie. Cewek itu terlihat tengah memikirkan ide yang d...