Pagi itu Jennie terbangun dengan mata sembab. Gadis itu mengutuki dirinya sendiri saat melihat dirinya dicermin. Jennie meraih ponselnya lalu menghela napas kecewa. Tak ada satu pun pemberitahuan pesan baru dari Alfa. Hatinya kembali sakit mengingat cowok itu bahkan tak mau repot-repot membujuknya setelah pertengkaran mereka kemaren. Jennie menangis lagi, selagi berharap dengan menangis rasa sesak yang ada di dadanya akan berkurang.
Setelah mandi, Jennie turun menuju ruang makan. Rumahnya telah sepi karena kedua orang tuanya telah berangkat kerja. Ia mengambil roti dan selai coklat dari lemari dapur. Dalam diam Jennie melahap sarapannya.
Ponsel yang ada di dalam tas Jennie bergetar ketika ia hendak keluar rumah. Sebuah nama yang menjadi sumber rasa sakitnya saat ini terpampang dilayarnya. Lagi, air mata Jennie menggenang. Ia menggeser tombol hijau yang ada dilayar dan menaruh ponsel ditelinganya. "Hmm."
"Kamu udah berangkat?"
Jennie menghela napasnya. "Belum."
"Udah sarapan?"
"Udah."
"Gini, yang. Aku kebetulan ada perlu. Gapapa kan, kalau hari ini kamu berangkat sendiri?"
Jennie menggigit bibirnya kesal. Nada bicara Alfa yang seolah tidak ada masalah apa pun membuatnya marah. Benaknya dipenuhi pemikiran 'selagi dia menangis semalaman, mungkin cowok itu tidur dengan nyenyak'. Ternyata hanya dia sendiri yang tersiksa jika mereka harus berpisah. Kesal, Jennie pun menutup panggilan itu tanpa mengatakan apa pun lagi.
***
"Tumben lo datengnya telat," ujar Anggi saat sahabatnya itu menghampirinya di dalam kelas. Jennie duduk disamping Anggi, memeluk lengan Anggi dan bersandar dibahunya.
"Kesel banget gue sama si Alfa. Capek. Ga tau gue."
Anggi mengerutkan dahi. "Perasaan baru kemaren gue liat lo berdua romantis banget. Ada apa sih?"
Jennie masih diam. Gadis itu memejamkan matanya. Sesaat kemudian ia menghembuskan napas berat. "Ke kantin yuk Ngi. Gue laper banget nih."
Anggi mengangguk. Tak lama kemudian mereka sudah berada di kantin. Jennie memakan mie ayamnya dengan lahap.
Anggi yang hanya memesan jus alpukat menatap sahabatnya penuh selidik. Kantung mata Jennie walau tak terlalu kentara membuatnya bertanya-tanya. Sepertinya sahabatnya itu habis menangis.
"Lo gapapa kan Jen?" tanya Anggi khawatir.
Jennie mengangguk. "Gue cuma lagi berantem sama Alfa."
"Berantem kenapa?" tanya Anggi heran. Selama Jennie pacaran dengan Alfa, keduanya hampir tak pernah bertengkar.
Lagi, Jennie menghela napas. "Gue lagi gak mau ngebahas itu Ngi." Mata Jennie berkaca-kaca saat mengatakannya.
Anggi menjadi paham kalau ini bukan pertengkaran biasa. "Oke." Anggi mengangguk mengerti.
"Habis ini, lo mau gak nemenin gue jalan-jalan ke Mall. Gue kepengen nonton sama belanja," ujar Jennie seraya tersenyum penuh semangat. Ekspresinya sangat bertolak belakang dengan sebelumnya.
Anggi mengangguk menyetujui. "Oke."
***
Jennie menatap jam tangan yang melingkar di tangannya. Jam telah menunjukkan pukul 8 malam. Ia baru saja sampai di rumah setelah mengantar Anggi ke rumahnya. Begitu ia mendekati gerbang rumahnya, ia melihat mobil Alfa terparkir tak jauh dari sana. Air mukanya tampak terkejut mendapati keberadaan cowok itu. Alfa telah keluar dari mobilnya dan menghampiri mobil Jennie.
Jennie meraih ponselnya yang dari pagi ia matikan. Ia ingat setelah makan di kantin, ia dan Anggi langsung melesat ke Mall terdekat. Setidaknya selama ia bersama Anggi, Jennie sepenuhnya melupakan Alfa dan masalah mereka.
Begitu ponselnya aktif, Jennie mendapati banyak pemberitahuan panggilan dan pesan dari Alfa. Ia menelan liurnya sendiri. Ketukan di kaca mobilnya membuat Jennie memukul kepalanya sendiri ke stir mobil. Tapi ketika mengingat perlakuan Alfa padanya pagi ini, Jennie merasa cowok itu layak mendapatkan pembalasan darinya. Ya, dengan pemikiran itu, Jennie keluar dari dalam mobilnya dengan percaya diri.
"Apa?" ujar Jennie dengan nada kesal.
Alfa maju dan mengukung tubuh Jennie diantara kedua tangannya. Kedua bola matanya menatap Jennie lembut.
"Dari tadi kemana aja?" tanyanya dengan nada lembut.
Jennie membuang muka. Gadis itu takut dirinya akan luluh karena tatapan Alfa.
Alfa menghela napasnya lelah. "Sayang?" panggilnya.
Jennie menatapnya dengan tatapan terluka. "Emangnya kamu peduli?"
Alfa terdiam sejenak. Ia juga menatap Jennie dengan tatapan terluka. "Menurut kamu?"
"Aku gak ngerti sama kamu," Jennie mendorong tubuh Alfa dan bergerak hendak meninggalkan cowok itu. Namun Alfa menahan tangannya.
"Aku nungguin kamu disini udah 4 jam. Menurut kamu apa aku akan ngelakuin itu kalau aku gak peduli sama kamu?"
Jennie menengadah. Air matanya mendesak hendak keluar. Emosinya terasa kacau.
Alfa menarik tubuh Jennie ke pelukannya. Air mata yang ditahan Jennie pun tumpah ruah. Gadis itu menangis dalam pelukan Alfa dan memukul-mukul dada cowok itu. Ia benci, karena Alfa sudah membuatnya menjadi kacau seperti ini. Tapi ia juga tidak bisa mendustai perasaannya yang sudah terlanjur sayang pada cowok itu.
"Maaf," lirih Alfa. Ia mengecup puncak kepala gadis itu lembut.
"Sakit banget tau gak."
Alfa mengeratkan pelukannya. "Apa yang harus aku lakuin supaya kamu gak marah lagi sama aku, hmm?"
***
Jennie terdiam dan menatap kosong pemandangan dihadapannya. Saat ini ia dan Alfa tengah berada di taman kompleks perumahan. Mereka menduduki ayunan yang ada disana. Namun sesaat telah berlalu, keduanya masih saja diam.
"Hari ini aku ketemu sama teman papa yang anaknya lulus beasiswa ke Jerman," jelas Alfa. "Aku ga nyangka ternyata Papa setuju sama keputusanku," Alfa tersenyum kecil. "Aku bisa punya contoh beberapa essay dari mereka yang udah lulus beasiswa itu."
Jennie mengangguk kecil. Ia tak mengatakan apa pun.
"Jen, apa kamu bener-bener ga bisa nunggu aku?"
Pertanyaan Alfa membuat Jennie dilanda kegundahan. Ia ikut senang jika Alfa bisa mewujudkan cita-citanya. Tapi di lain sisi ia tak tahu apakah ia bisa berhubungan jarak jauh dengan Alfa.
"Jen?" panggil Alfa pelan. Cowok itu terdengar putus asa. "Aku tahu aku egois. Aku membuat kamu harus memilih. Tapi kalau kamu memilih untuk terus sama aku, aku janji aku ga akan ngecewain kamu."
"Aku gatau Al," lirih Jennie. "Mungkin aku butuh waktu buat mutusin."
Alfa mengangguk walau pun berat. "Berapa lama?"
Jennie menggeleng. "Aku gatau."
"Terus kita gimana sekarang?"
Jennie menatap Alfa. Ini memang bukan pertama kalinya ia memiliki kekasih, tapi ini pertama kalinya ia benar-benar hanyut dalam perasaannya. Ia mungkin bisa saja melanjutkan hidupnya tanpa Alfa, sama seperti sebelumnya. Ia tidak harus terikat pada cowok itu. Tapi entah kenapa dia tidak terlalu yakin. Mungkin ia bisa mencoba break dari cowok itu untuk mencari tahu apa yang dia inginkan sebenarnya. Ya, dia bisa melakukan itu.
"Mungkin untuk sementara waktu kita break dulu," putus Jennie. "Jangan hubungin aku dulu. Aku butuh waktu."
Alfa menatap Jennie dengan perasaan terluka. Tapi ia tampak berusaha menegarkan diri. "Oke. Kalau itu yang kamu mau." Ia meraih tangan Jennie dan mengecupnya. Ia tersenyum ke arah cewek yang sudah mengacaukan emosinya seharian ini, dan mungkin juga hari-hari berikutnya. "Aku akan nunggu kamu. Aku harap kamu akan kembali ke aku."
![](https://img.wattpad.com/cover/285127824-288-k934862.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
JeNa (Jennie and Alfa) || COMPLETE ||
Teen Fiction"Gue tau lo kesulitan di mata pelajaran eksak, dan gue ahli dibidang itu. Gue bisa bantu lo jadi tutor lo supaya misi lo semester ini berhasil. " Ucapan Alfa tersebut berhasil menarik perhatian Jennie. Cewek itu terlihat tengah memikirkan ide yang d...