Gaara Wiatmaja Valerin punya beberapa alasan mengapa dia itu amat suka melukis. Pertama, Gaara bisa menumpahkan semua emosinya ke dalam sana. Entah saat dia senang, sedih, marah ataupun kecewa, Gaara akan melampiaskannya pada sebuah lukisan. Karena dengan begitu, dia bisa merasa perasaannya kembali membaik.
Kedua, saat melukis, Gaara selalu merasakan perasaan tenang. Dan ketiga, melukis bisa membantunya untuk membuat alasan saat dimintai pertolongan oleh sang Bunda. Dari semua alasan itu, alasan nomor tigalah yang paling menguntungkan. Karena, jika dia sedang melukis, sang Bunda tidak akan berani menggangu. Bunda akan membiarkan Gaara menyelesaikan lukisannya dulu, baru dia mintai tolong.
Mari berkenalan dengan sang Bunda tercinta. Kiera Larasati, wanita berumur pertengahan tiga puluh tahun. Namun, jangan salah. Walaupun Bunda sudah berumur, wajah Bunda tidak terlihat tua sama sekali. Dia masih terlihat cantik seperti wanita muda berumur 20 tahunan.
Bunda itu orang tercerewet di rumah. Dia tidak tidak mengomel walau sehari saja. Setiap pagi, siang, sore, bahkan malam, Bunda akan selalu berteriak. Untungnya, tidak ada yang pernah protes. Karena jika ada yang berani protes, siap-siap saja akan di diamkan selama 1 Minggu penuh. Sang Ayah pernah merasakannya.
Walaupun begitu, Gaara masih sangat menyayangi Bunda. Bagaimana pun, Bunda adalah orang yang paling berjasa dalam hidupnya. Lalu, mari berkenalan dengan Ayah Gaara juga. Gio Wiatmaja Valerin. Orang paling tegas yang pernah Gaara kenal.
Ayah mendidiknya dengan keras. Bukan sebagai Ayah pada anak, namun sebagai laki-laki kepada laki-laki lainnya. Tidak pandang bulu.
Namun, di balik itu semua, Ayah itu orangnya receh nggak ketulungan. Hal apapun akan ayah tertawakan, meskipun itu tidak lucu sama sekali. Perkara Gaara yang kejedot meja makan saja, bisa ayah tertawakan selama satu jam penuh.
Kata Bunda, dulu ayah itu orangnya dingin minta ampun. Ngomongnya irit, kayak orang sariawan. Cuma ngomong panjang pas lagi berantem sama bunda aja, katanya. Gaara awalnya nggak percaya, soalnya, ya, masa iya ayahnya yang receh itu dulunya seorang cool boy?
Tapi, setelah denger penjelasan dari sahabat ayah, akhirnya Gaara percaya. Meski agak Speachless awalnya.
Dan terakhir, nggak ada. Keluarga Gaara cuma segitu. Jangan tanya adik. Gaara nggak punya, dan nggak ada niatan buat punya.
"GAARA! BANGUN UDAH PAGI!!"
Seperti biasa, pagi-pagi buta rumah megah kediaman keluarga Valerin sudah heboh oleh teriakan Bunda. Ayah hanya bisa geleng kepala melihatnya.
"Aku udah bangun, Bun. Nggak usah teriak!" Gaara berbicara di pintu perbatasan antara ruang tengah dengan ruang makan. Dia sudah siap dengan seragam sekolah yang tidak di masukan ke dalam celana. Dasi yang di ikat secara asal-asalan, juga tas yang hanya tersampir di bahu sebelah kanannya.
"Bunda kira belum bangun. Tuh, sarapan. Abisin." Bunda menyerahkan dua potong roti bakar dengan toping selai coklat, kegemaran Gaara.
Gaara mengangguk, tidak lupa mengucapkan terima kasih pada sang bunda. Mulai memakan makanannya, Gaara melirik pada sang ayah yang malah berkutat dengan laptop.
"Ayah nggak ngantor? Biasanya jam segini udah berangkat."
Ayah berdehem. "Nanti Ayah ada meeting sama klien di luar, jadi nggak bakal ke kantor dulu."
Gaara mengangguk. Lanjut memakan makanannya. Belum habis satu potong, tapi dia sudah berdiri dari duduknya dengan tergesa. Lalu kemudian berlari menuju ke arah kamar mandi terdekat, kamar mandi dapur.
"Dia kenapa, Bun?" Ayah menunjuk Gaara yang baru saja menutup pintu secara kasar menggunakan kepalanya.
"Mules, kali. Kebiasaan emang, kayak kamu dulu." Bunda menjawab acuh, melanjutkan acara minum teh hangat miliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream cansert
FanfictionDream Cansert, bukan sebuah perkumpulan geng abal-abal yang suka tawuran dan mabuk-mabukan. Bukan pula sebuah perkumpulan geng yang suka melawan orang tua. Namun, sebuah geng yang isinya anak kesayangan papa dan mama juga sekolah. Tidak pernah meras...