Rumah baru 02

652 99 2
                                    

Berbeda dengan Jeremy dan Karina yang sudah sampai ke rumah, ketiga pasangan lainnya kini sedang makan bersama di sebuah restoran cepat saji.

Dalam perjalanan pulang tadi, Nana berinisiatif mengajak yang lainnya untuk mampir terlebih dahulu ke sana. Bukan tanpa alasan, dia merasa mungkin saja ketiga gadis yang mereka bonceng itu merasa lapar.

Suasananya canggung tentu saja. Restoran cepat saji ini hanya menyediakan meja khusus untuk 2 orang saja, jadi mereka berenam duduk terpisah. Gaara dan Darra di meja sebelah kiri, Nana dan Winda meja tengah, dan Haikal juga Giselle dimeja samping kanan.

Meja mereka berenam senyap, para pria fokus pada ponsel, lalu para gadis yang menyibukkan diri dengan buku menu dihadapan mereka. Pengalihan dari rasa canggung yang mereka rasakan.

Mungkin meja Gaara dan Haikal tidak terlalu kentara canggungnya, sebab beberapa kali terdengar obrolan di sana. Yang paling kentara itu meja Nana. Sejak mendudukkan diri, tidak terdengar satupun percakapan antara orang yang duduk di sana.

Nana ingin berbicara, namun tidak tahu harus bicara apa. Dia sama sekali tidak mempunyai topik untuk di bicarakan. Sehingga, Nana lebih memilih untuk bermain game online di ponselnya. Sesekali melirik ke arah Winda yang masih fokus melihat buku menu.

"Ehm, Kak Nana mau makan apa?" tanya Winda membuat Nana mendongak.

"Samain aja."

Winda menghembuskan napas. Padahal dia itu sengaja bertanya kepada Nana, pasalnya sedari tadi dia masih tidak tahu harus makan apa. Ini pertama kali baginya makan di tempat seperti ini. Jadi, dia tidak tahu mana makanan yang benar-benar enak dan baik untuk dimakan.

Mendengar hembusan napas Winda, Nana kembali mendongak. Nana mematikan ponselnya, lalu dengan sigap merebut buku menu dari tangan Winda.

"Lo nggak ada alergi makanan, kan?"

"Nggak ada. Cuma, aku nggak boleh makan pedes aja."

Nana mengangguk, melihat-lihat buku menu. Memilih makanan yang sekiranya tidak pedas, dan bisa diterima dengan baik oleh lidah Winda. Setelah menemukan menu yang ingin dimakan, Nana memesan.

"Minum?"

"Terserah Kak Nana."

Nana kembali melirik kearah pelayan yang mencatat makanan apa yang akan dia pesan. Kemudian menyebutkan nama makanan dan minuman yang sebelumnya tidak pernah Winda dengar.

Sembari menunggu pesanan keduanya datang— ah ralat, pesanan Nana maksudnya, Nana memutuskan untuk mengajak Winda mengobrol. Dia bosan bermain ponsel, juga tidak tega mendiamkan Winda sendirian.

Mereka membicarakan banyak hal, dari mulai kucing peliharaan Winda yang mati beberapa bulan lalu, Giselle yang marah pada Darra hanya perihal makanan, dan masih banyak lagi.

Nana hanya diam mendengarkan gadis dihadapannya berbicara, tidak ada niat untuk menyela. Mata Nana sama sekali tidak berpindah kemana-mana, hanya berfokus pada Winda. Dia suka cara bicara Winda yang lucu tanpa dibuat-buat. Sesekali Nana tersenyum dan tertawa kecil saat Winda menceritakan hal yang lucu.

Sekarang Nana tahu, Winda ini bukan gadis pendiam. Winda cerewet, namun hanya dibeberapa momen saja. Dan Nana bersyukur untuk itu. Obrolan antara keduanya—ah, atau mungkin lebih layak di sebut sebagai cerita Winda, sebab Nana sejak tadi hanya terdiam menanggapi—terhenti saat pesanan sudah datang.

Sedangkan di meja yang lain, lebih tepatnya meja Haikal, hanya terdapat Haikal yang terus memperhatikan Giselle makan. Saking fokusnya, Haikal sampai tidak berfokus pada makanannya sendiri.

Haikal menarik sudut bibirnya saat melihat pipi Giselle yang menggembung karena di penuhi oleh makanan. Haikal menduga Giselle ini pasti termasuk kepada sekte panganut ilmu Korea. Maksudnya adalah mengunyah makanan dengan proporsi yang banyak, sehingga membuat mulut penuh karenanya.

"Lo nggak takut keselek?" Haikal bertanya, membuat Giselle yang sejak tadi menunduk untuk mengaduk makanan mendongak. Kemudian gadis itu menggeleng. Meski belum genap satu hari mereka bertemu, entah sudah keberapa kali Haikal mengatakan ini, Giselle itu menggemaskan dengan segala tingkahnya.

Giselle menelan makanannya, kemudian menunjuk piring Haikal menggunakan sendok yang dia genggam. "Kamu nggak makan? Kok makanannya masih utuh?"

"Gue nggak terlalu laper."

"Mubazir, ih!"

"Nggak pa-pa. Udah, lo fokus sama makanan lo aja."

Giselle menggeleng, mengambil alih makanan milik Haikal membuat pria itu menaikan sebelas alisnya. Dengan gerakan pasti, Giselle menyendok nasi goreng pesanan Haikal, lalu menyodorkannya kehadapan sang empu.

"Makan!"

"Ng—" Belum selesai Haikal berucap, Giselle sudah memasukan makanan yang tadi kedalam mulut Haikal. Dengan sudah payah Haikal mengunyahnya.

Setelah menyuapi Haikal secara paksa, Giselle kembali pada makanannya. Menghiraukan Haikal yang tengah menatapnya tidak percaya. Haikal tertawa pelan, gadis dihadapannya kini benar-benar tidak terduga. Kemudian Haikal mulai memakan makanannya sendiri.

Lalu di meja paling kiri, terdapat dua insan berbeda gender yang masih memilih menu. Di saat dua pasangan lainnya sudah memesan, mereka masih sibuk menentukan harus memakan apa.

Entah kebetulan atau bagaimana, Gaara dan Darra itu termasuk ke dalam sekumpulan orang yang pilih-pilih terhadap makanan. Yang dimana mereka akan melihat terlebih dahulu dengan detail apakah makanan tersebut layak untuk dimakan, mengandung atau tidaknya zat berbahaya, dan sebagainya. Berlebihan memang, namun sudah kodratnya seperti itu.

Mungkin itu karenakan mereka sama-sama di besarkan oleh Gio. Gio itu termasuk orang yang perfeksionis, semuanya harus sempurna, termasuk dalam hal makanan. Dan Gio selalu mengajarkan seperti itu baik pada Gaara maupun pada Darra, sejak dari mereka kecil.

"Udah tau mau makan apa?"

Darra menggeleng pelan. "Semua makanan di sini sehat, kan?"

"Kayaknya." Gaara menjawab, mengedikan bahu tidak peduli.

Darra kembali menimang, lalu melihat buku menu. "Nasi goreng aja, deh," ujarnya setelah beberapa saat.

Tanpa banyak bicara, Gaara memanggil pelayan, lalu menyebutkan menu pesanan keduanya.

"Kamu nggak makan?" tanya Darra saat mendengar Gaara hanya memesan minum saja, tidak beserta makanannya.

"Nggak, belum terlalu laper."

"Kok gitu?"

"Gitu gimana? Apanya?"

Darra memanyunkan bibirnya, dengan jari tangan yang saling melilit. "Masa aku doang yang makan?" cicitnya.

Untuk sejenak Gaara terdiam. Sungguh, dimatanya kini Darra terlihat seperti anak SD yang tengah meminta maaf kepada ayahnya karena telah mendapatkan nilai kecil. Terlihat menggemaskan, membuat Gaara sedikit terpana. Kiera tidak menceritakan perihal ini padanya.

"Ya nggak pa-pa, dong. Emang kenapa, sih?"

"Nggak enak, lah! Kenapa lagi emangnya?" Gaara berjengit kaget mendengar nada bicara Darra yang berubah dalam kurun waktu kurang dari satu menit saja.

"Ngapain nggak enak, sih? Tinggal makan aja. Gue mah gampang, emang jarang makan juga anaknya. Santai."

"Gitu?" Gaara mengangguk.

Darra membulatkan mulutnya. "Pantes aja pendek sama kurus."

Tentu saja Darra mengatakannya dengan pelan. Mana mungkin juga dia mengatakan hal seperti itu dengan keras, bisa-bisa Gaara tersinggung dengan ucapannya. Meski Darra tidak tahu bahwa perkataannya barusan di dengar oleh Gaara, namun pria itu diamkan. Tidak peduli lebih tepatnya.

***

Dream cansertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang