Maaf

764 96 4
                                    

Saat ini Nana dan Winda sedang berada di ruang kesehatan. Winda yang mengajak Nana kesini, tujuannya untuk mengobati luka yang ada di sudut mata pria itu.

Nana duduk di ranjang ruang kesehatan, memperhatikan Winda yang dengan telaten mengobati lukanya. Dia diam tidak bersuara, membiarkan Winda tenang mengobatinya. Dalam hatinya dia masih merasa bersalah. Apalagi saat melihat Winda yang sesekali masih terisak.

Nana meruntuk. Dari dulu, Nana masih belum bisa mengendalikan amarahnya. Diantara para sahabatnya, Nana merupakan orang yang paling menyeramkan saat marah. Dia tidak pandang bulu. Baik itu muda atau tua, pria atau wanita. Jika sudah membuatnya marah, Nana tidak akan segan untuk melawan.

Memang tidak sopan, dan itu adalah salah satu hal paling terburuk yang Nana punya. Dia ingin merubahnya, tapi tidak bisa.

"Aw!" Nana meringis saat Winda tidak sengaja menekan lukanya terlalu kuat.

"M-maaf, aku nggak sengaja."

"Nggak pa-pa."

Setelahnya keheningan kembali terjadi. Winda sudah selesai mengobati Nana, sekarang gadis itu sedang membereskan obat yang dia gunakan untuk mengobati Nana barusan.

"Dada?"

Winda mendongak. "Kenapa?" Dengan suara parau sisa tangis Winda bertanya.

"Maaf."

"Kenapa minta maaf?"

"Karena udah bikin kamu nangis."

Mendengar itu, tangis Winda kembali. Sungguh, tatapan Nana tadi itu sangat menakutkan, itulah mengapa Wina menangis. Selain itu, Winda juga tidak tega melihat luka di wajah Nana.

Nana yang melihat Winda kembali menangis panik bukan kepalang. Lalu dengan ragu, Nana menarik Winda kedalam pelukannya. "Maaf, maaf, maaf."

Winda membalas pelukan Nana, dia menyembunyikan wajahnya di bahu pria yang akan menjadi suaminya kelak, menangis lebih keras di sana. Sedangkan Nana hanya bisa terus menggumamkan kata maaf berkali-kali, seraya mengelus rambut panjang Winda dengan lembut.

Winda melepaskan pelukannya, kemudian mendongak untuk menatap netra hitam kecoklatan milik Nana.

"Kak Nana tadi nyeremin ... Aku takut."

"Maaf."

"Harusnya aku yang minta maaf." Winda menunduk.

"Kenapa jadi kamu yang minta maaf? Yang salah aku, bukan kamu."

"Semuanya gara-gara aku." Bibir Winda melengkung ke bawah, dia sudah bersiap untuk kembali menangis.

Nana tersenyum, Winda saat ini terlihat seperti seorang anak kecil. Sangat lucu dan menggemaskan.

"Hey, kok salah kamu? Kan yang berantem aku, bukan kamu. Kamu nggak salah, Da."

"Iya ... Tapi, kan, tetep salah aku. Kalo bukan karena aku, Kak Nana nggak bakalan berantem kayak tadi!"

Nana tertawa kecil mendengar celotehan Winda yang barusan. Minggu ketujuh mereka saling mengenal, Nana jadi mengenal Winda lebih baik lagi.

"Bukan salah kamu, Da. Emang salah aku yang emosian."

"Makanya, Kak Nana jangan emosian kalo jadi orang! Asal Kak Nana tau, ya, emosi itu bisa merusak banyak hal. Persahabatan, kekeluargaan, suatu hubungan, dan masih banyak lagi. Emosi juga bisa bikin kita di pandang buruk sama orang lain. Pokoknya, emosi itu bisa merusak banyak hal! Ngerugiin diri sendiri lagi! Jadi, Kak Nana harus bisa kendaliin emosi Kakak. Jangan sampe lepas kendali kayak tadi!"

Nana tersenyum simpul. Dia merasa seperti sedang diceramahi oleh seorang istri. Bahkan, Clarissa belum pernah menceramahi dirinya seperti ini.

"Kok malah senyum-senyum? Kak Nana denger, kan, aku ngomong apa barusan?"

Dream cansertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang