Hari ini mungkin bisa jadi hari yang di tunggu oleh Darra, Karina, Giselle dan Winda, sebab hari ini adalah hari pertama dimana keempatnya masuk ke sekolah baru.
Hari yang di tunggu oleh semua orang, terkecuali keempat pria yang akan menjadi suami mereka nantinya.
Dua Minggu telah dilewati, hubungan canggung itu kini sudah tiada lagi. Itu mungkin juga sebab dari para pria yang mulai menunjukan sikap protektif pada keempat gadisnya. Serius, sejak Darra, Karina, Giselle dan Winda turun di parkiran, keempat pria itu sama sekali tidak melepaskan gandengan di tangan mereka.
Tidak apa-apa sebenarnya, mereka hanya risih saja. Pasalnya, mereka berempat bisa melihat banyaknya pasang mata yang melihat kearah mereka dengan sinis. Sangat kentara sekali tidak sukanya.
"Kak Nana." Nana menoleh ke arah samping, guna melihat Winda yang memanggilnya barusan.
"Kenapa?" tanyanya.
"Maaf, tangannya boleh dilepas?"
Kening Nana berkerut, memperlambat langkahnya. Membiarkan ketiga pasangan lainnya berjalan menjauh menjauhi mereka. "Emangnya kenapa? Nggak suka?"
Sontak Winda menggeleng cepat. "Bukan!" bantahnya.
"Terus?"
"Aku risih." Winda menunduk setelahnya.
"Risih?" Nana berkata pelan, kemudian mengedarkan pandangan. Bisa dia lihat para siswa dan siswi yang berada di sana menatap dirinya dan Winda dengan tatapan tak suka. Terutama para siswi, mata mereka menghunuskan tatapan tajam ke arah Winda.
Nana menghela napas pelan, kemudian menghentikan langkahnya di depan tiga orang siswi yang dia kira seangkatan dengan dirinya. "Hai, mau kenalan sama dia, nggak? Dia murid baru, siapa tau mau temenan," tanya Nana, menunjuk Winda dengan dagunya.
Ketiga siswi di depannya saling pandang, tidak mengerti sama sekali.
"Ah, nggak usah, deh. Gue nggak mau pacar gue temenan sama orang-orang kayak lo semua." Nana berkata ringan, membuat semua orang yang ada di sana menatapnya kaget. Termasuk Winda sendiri.
Gaara, Darra, Jeremy, Karina, Haikal dan Giselle berhenti saat mendengar suara Nana, semuanya berbalik hanya untuk menemukan Nana yang tengah menatap tiga siswi dengan tatapan tidak bersahabat.
"Si Nana ngapain?" tanya Haikal.
"Nggak tau. Udahlah, nggak usah di urusin, udah gede ini." Gaara menjawab, kemudian melanjutkan langkahnya bersama dengan Darra.
"Biarin aja, nih?" Lagi Haikal bertanya pada Jeremy, Jeremy hanya mengangguk dan melangkah mengikuti langkah Gaara. Haikal mengedikan bahu, lalu ikut pergi dari sana.
"Kak?" lirih Winda, sedangkan Nana hanya tersenyum sekilas, kemudian tatapannya berubah jadi datar saat kembali menatap tiga gadis di hadapannya.
"Maksudnya, Na?" Salah seorang bertanya.
"Nggak, tadinya gue mau ngenalin pacar gue sama kalian. Tapi, nggak jadi, deh. Kalian kayaknya nggak pantes jadi temen cewek gue." Nana mengedikan bahunya, meremehkan. Tidak lupa menekan setiap perkataannya.
Nana berjalan mundur, berhenti di tengah-tengah koridor, diantara banyaknya siswa dan siswi yang menonton aksinya tadi. Mengangkat tautan tangannya dengan Winda sebatas dada, tersenyum setelahnya.
"Kalian kayaknya harus tau, deh. Kenalin, Winda, pacar gue!" Nana berkata lantang. Semua siswa terdiam, masih tidak percaya.
Nana tidak peduli dengan kesenyapan di sana, dia malah membawa Winda pergi. Tanpa tahu, mungkin saja perkataannya barusan akan menjadi suatu masalah untuknya dan Winda. Bukan saat ini, tapi di suatu saat nanti.
***
Gaara berhenti saat merasakan baju seragamnya ditarik pelan oleh Darra, kemudian mengangkat alisnya bertanya. Darra menggerakkan tangannya, memberi isyarat pada Gaara untuk menunduk. Mereke berdua berjalan paling belakang, itu sebabnya Darra berani melakukan hal ini.
"Aku mau ke kamar kecil." Darra berbisik.
Gaara mengangkat kedua alisnya. "Lo kebelet?" Darra mengangguk.
"Oh, ya udah. Ayo gue anter." Baru saja Gaara ingin berjalan, namun Darra sudah terlebih dahulu menahan tangannya.
"Nggak usah, tunjukkin aja toiletnya dimana. Aku bisa sendirian."
"Emang berani?"
Darra terdiam. Benar juga, dia tidak akan berani ke kamar mandi sendirian. Darra ini penakut, dan sayangnya Gaara mengetahui hal itu. Karena Darra pernah mengetuk pintu kamar Gaara di jam setengah satu dini hari, hanya untuk minta diantar ke dapur.
Darra menggeleng kecil. "Nggak."
Gaara tersenyum, menarik tangan Darra pelan. "Makanya, gue anter aja. Nanti takutnya lo diculik sama penunggu toilet."
Darra memukul bahu Gaara secara pelan, membuat sang empu tertawa. Akhir-akhir ini Gaara sering menggodanya menggunakan hal yang berbau mistis seperti tadi. Gaara melakukan hal itu semenjak dia tahu bahwa Darra ini penakut.
Darra tentu saja sangsi. Waktu itu dirinya haus, namun air yang selalu di siapkan bibi di kamarnya habis. Tanggung haus, akhirnya Darra keluar dari kamar. Namun, dia bimbang. Kediaman Valerin itu besar, jarak dari kamarnya ke dapur saja sama dengan jarak panti ke taman belakang.
Untuk itu, Darra melangkahkan kakinya ke arah kamar Gaara, kemudian dengan ragu mengetuk pintu tersebut dengan pelan. Awalnya tidak ada respon, namun saat Darra ingin berbalik menuju kamarnya, Gaara keluar. Dan berakhir dengan dirinya diantar oleh Gaara ke dapur untuk mengambil minum.
"Nah, udah masuk. Bentar lagi bel." Gaara melepaskan tangannya, mempersilahkan Darra untuk masuk ke dalam toilet.
Darra mengangguk, kemudian masuk ke dalam toilet dengan sedikit terburu, membuat Gaara mau tidak mau tertawa melihatnya.
Tentu saja itu mengundang perhatian para siswi yang berada di kawasan toilet. Seorang Gaara Wiatmaja Valerin tertawa hanya karena seorang wanita adalah pemandangan baru di mata mereka. Terlebih, mereka sama sekali tidak mengenal wanita tadi.
Sadar di perhatikan, Gaara pun merubah ekspresinya menjadi datar, seperti Gaara yang biasanya. "Ngapain liatin gue kayak gitu?"
Segerombolan siswi yang memperhatikan Gaara tadi langsung kelagapan. "Nggak. Lo ngapain di sini, Gar? Ini kawasan toilet cewek." Satu siswi di sana bertanya.
"Urusan lo?" ujar Gaara, tidak peduli.
Siswi yang bertanya tadi langsung bungkam. Dia lupa dengan Gaara yang memiliki mulut yang lebih pedas dari apapun. Dia saja langsung bisa di bungkam hanya dengan seperti itu.
Raut wajah datar Gaara berubah saat Darra keluar. Dari yang awalnya datar, menjadi sedikit berekspresi, dengan senyum kecil di bibirnya.
"Udah?"
"Udah. Belum bel?"
"Belum, kita keruang guru dulu, ya. Baru kita ke kelas." Tangan Gaara kembali terulur, ingin menggandeng kembali tangan Darra, namun dengan cepat Darra tepis.
"Ini lingkungan sekolah, Gaara. Nggak boleh pegangan tangan!"
"Terus tadi kita ngapain kalo bukan pegangan tangan?"
Darra terdiam, matanya berputar dengan bibir bawah yang di gigit. "Ya itu, kan, tadi! Sekarang jangan!"
Lagi-lagi Gaara terkekeh. "Oke, oke. Ya udah ayo. Mau di sini terus?"
Gaara dan Darra mulai berjalan meninggalkan daerah toilet. Sama sekali tidak memperdulikan berbagai tatapan siswa dan siswi yang mereka lewati. Bahkan Gaara yakin, Darra sama sekali tidak menyadari bahwa mereka berdua menjadi pusat perhatian saat ini.
"Kita ke ruang guru buat tau kelas aku, kan?" tanya Darra, Gaara mengangguk.
"Yang lain ada di sana?"
"Iya, kayaknya. Mungkin juga udah ke kelas yang mau di tempatin."
Darra menganguk-anggukan kepalanya, tanda bahwa dia mengerti. Perjalanan mereka berdua menuju ke ruang guru di warnai oleh berbagai obrolan, sesekali mereka berdua juga tertawa. Lagi-lagi menghiraukan tatapan para siswa dan siswi yang ada di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream cansert
FanfictionDream Cansert, bukan sebuah perkumpulan geng abal-abal yang suka tawuran dan mabuk-mabukan. Bukan pula sebuah perkumpulan geng yang suka melawan orang tua. Namun, sebuah geng yang isinya anak kesayangan papa dan mama juga sekolah. Tidak pernah meras...