Berhari-hari telah berlalu, dan tepat hari ini, ujian di laksanakan. Semua siswa dan siswi kelas 11 SMA City High panik buka kepalang. Panik takut tidak bisa, panik takut jika tugasnya tidak memuaskan, juga panik jika sesuatu terjadi dan menjadi kendala.
Semua, tidak terkecuali anak Dream Cansert sekarang tengah mengantre untuk mengambil kartu peserta untuk ujian. Kartu peserta memang di bagikan saat ujian akan dimulai, lalu kembali di simpan saat ujian telah selesai. Jaga-jaga jika saja kartu tersebut hilang.
Ruangan yang digunakan untuk ujian memiliki total 13 ruangan. 6 ruangan untuk anak kelas 11 IPA, lalu 7 ruangan lainnya untuk anak IPS. Ruangan anak IPA ada di lantai dua, sedangkan ruangan anak IPS ada di lantai tiga. Sengaja, supaya tidak berisik nantinya.
Karena Gaara, Jeremy, Haikal dan Nana mengambil jurusan IPS, jadi mereka harus naik ke lantai tiga setelah mendapat kartu peserta. Mereka sekelas, namun kali ini harus berbeda ruangan. Para guru sengaja mengajaknya, agar nanti tidak ada yang berkerja sama satu sama lain.
Nana dan Haikal mendapat ruangan dua, sedangkan Gaara dan Jeremy mendapat ruangan lima. Sangat jauh memang, selisih dua kelas.
Mereka berempat berjalan beriringan di koridor kelas 12. Ini adalah daerah kakak kelas. Karena sedang dipakai untuk ujian, kelas 10 dan kelas 12 dipindah keruangan seberang.
"Gue kira bakal seruangan," keluh Haikal.
"Sama. Teryata di acak, gurunya ngada-ngada."
"Udahlah, sono lo berdua masuk. Gue sama Gaara pergi dulu." Jeremy mendorong bahu Nana dan Haikal, menyuruh mereka untuk masuk ke dalam kelas. Setelah Nana dan Haikal masuk, Gaara dan Jeremy berjalan menuju kelas yang akan mereka tempati.
"Gila, di baginya sampe 13 kelas, dong. Gue kira nggak bakal sebanyak ini," ujar Gaara. Dia melihat ke arah ruangan kelas yang mereka lewati, di sana sudah banyak siswa maupun siswi yang tengah duduk di depan komputer.
"Meminimalisir yang kerja sama." Jeremy menjawab acuh.
"Iya, sih. Para guru pinter juga, ya."
Sampai di ruangan kelas yang akan mereka tempati, Jeremy dan Gaara masuk lalu mencari tempat duduk sesuai dengan nomor peserta mereka masing-masing. Lagi-lagi, ternyata mereka terpaut cukup jauh. Gaara di barisan pertama, lalu Jeremy di barisan ketiga.
Tidak masalah sebenarnya, baik Gaara maupun Jeremy mengenal hampir semua orang yang berada di dalam ruangan ini. Jadi, tidak terlalu canggung.
Kelas yang ricuh karena banyak yang mengobrol langsung senyap saat guru dan pengawas ujian masuk. Setelah berdoa, ujianpun di mulai.
***
Nana menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal itu. Kepalanya mendadak pusing saat melihat soal-soal di hadapannya. Bukan soal angka, hanya soal pelajaran bahasa Indonesia, yang membuat pusing adalah Nana harus membaca banyak puisi dan cerita. Sudah tahu Nana tidak suka membaca.
Nana melirik ke arah Haikal yang tengah menelusup kan kepalanya. Lelaki itu terlihat frustasi, tidak ada bedanya dengan dirinya. Nana menghela napas pelan, kembali membaca, lalu kembali menggaruk kepala. Seperti itu terus.
"Ini soal nggak bisa lebih susah lagi, hah?" dumel Nana pelan.
"Dari puisi diatas, makna apa yang ingin di sampaikan oleh pengarang?" Nana membaca soalnya, lalu mengernyit. "Lah, mana gue tau. Gue bukan pengarangnya!"
Tidak ada bedanya dengan Nana, Haikal pun sama. Kegiatannya dari tadi hanya, membaca soal, membaca ceritanya, lalu mengetuk-ngetuk kepala bagian kanannya. Berharap otaknya bisa bisa berfungsi dengan baik.
"Ayo, dong! Masa sejarah manusia purba lo bisa, cerita penguin kayak begini lo nggak bisa!"
Jangan katakan Haikal aneh karena memarahi dirinya sendiri. Dia memang seperti itu.
"Oke, calm down, Cal. Calm down. Baca soalnya dulu, baru cari di dalam cerita. Oke, pasti bisa."
Haikal menarik napas lalu menghembuskan nya. Matanya kembali menelisik ke arah soal, lalu ke dalam cerita. "AH, PUSING!"
***
"Ini ngapa jawabannya bener dan sama semua?" Gaara menekuk wajahnya. Matanya memincing saat melihat soal di hadapannya sekarang. Soalnya mudah, yang membuat bingung adalah jawabannya. Ini pilihan ganda, dan dari pilihan A sampai E, Gaara sama sekali tidak menemukan perbedaan.
"Ini bedanya apa, dah? Perasaan sama aja."
"Nanti gue jawab A, yang bener B. Gue jawab B, nanti bener C. Jadi gue harus gimana?!" Gaara frustasi, dia menarik rambutnya pelan. Serius, soal dihadapannya itu berhasil memancing emosi seorang Gaara Wiatmaja Valerin.
"Cap cip cup aja lah. Kata ayah juga kan yang penting PD dulu." Lalu, dengan asal Gaara memilih jawaban.
Jeremy terlihat santai saat mengisi soal-soal itu. Dia dengan tenang membaca, lalu mengisi. Tidak terlalu sulit bagi Jeremy, ini soal anak SD. Hanya saja, soalnya dibuat berbelit sehingga membuat bingung. Maka dari itu, di kurun waktu dua puluh menit, Jeremy sudah mengisi sebanyak 25 soal.
"Kata ayah Gio, bener sama salah urusan belakangan, yang penting sekarang gue udah ngisi," monolog Jeremy pada dirinya sendiri.
***
Ujian selesai, sekarang anak-anak Dream Cansert sedang berkumpul di kantin. Tidak memesan makanan, hanya melungkupkan kepala mereka masing-masing. Terkecuali Jeremy tentunya. Mereka masih pusing dengan ujian tadi, sangat pusing.
"Otak gue ngebul kayaknya," ujar Nana lemas. Dia mengangkat kepala, lalu menumpukan dagunya di atas tangan yang di lipat.
"Bukan ngebul lagi gue, mah. Udah kebakaran."
"Lo nggak pusing, Jer?" Jeremy mengangguk.
"Pusing apaan! Dia yang pertama kali selesai tadi!" Gaara bersungut kesal. Tidak terima saat Jeremy mengatakan bahwa dirinya juga merasa pusing dengan soal tadi.
"Gue cuma nurut sama perkataan ayah aja, makanya cepet selesai," terang Jeremy.
"Perkataan ayah yang mana? Gue juga nurutin perkataan ayah, tapi masih pusing, tuh." Gaara lagi-lagi berseru. Mungkin akibat ujian tadi, dia jadi semakin emosian.
"Salah sama bener itu urusan belakangan, PD aja dulu. Yang penting gue udah ngisi," jawab Jeremy. Dia membuka kemasan teh botol, lalu meneguknya hingga sisa setengah.
"Lo ngarang, dong?" Perkataan Nana barusan berhasil membuat Jeremy memukulkan botol yang tengah dia pegang ke kepala Nana secara pelan.
"Nggak, lah! Masih gue baca sama gue pikirin. Cuma gue nggak bawa pusing aja."
"Lagian, kalo kalian punya IQ bagus, soalnya tuh sebelas dua belas sama soal anak SD sama SMP. Masa nggak sadar?"
Ketiganya menggeleng. Mereka sama sekali tidak sadar dengan apa yang di katakan Jeremy barusan.
"Emang iya?" Jeremy mengangguk.
"Terus, kalo soalnya sama kayak SD sama SMP, kenapa susah banget?!" Haikal memukul meja, emosi.
"Soalnya nggak sulit, cuma di buat berbelit aja. Tadi banyak yang jawabannya sama semua, nah itu yang bikin kalian pusing."
Gaara, Haikal serta Nana berdecak secara bersamaan. Jika mereka tahu ini dai awal, mereka tidak akan sepusing tadi. Mungkin, mereka akan lebih santai mengerjakannya, tidak keteteran.
"Besok numerisasi, kan? Matematika?"
"Iya, kenapa?"
"BALIK SEKOLAH, AYO BELAJAR!! POKOKNYA HARUS!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream cansert
FanfictionDream Cansert, bukan sebuah perkumpulan geng abal-abal yang suka tawuran dan mabuk-mabukan. Bukan pula sebuah perkumpulan geng yang suka melawan orang tua. Namun, sebuah geng yang isinya anak kesayangan papa dan mama juga sekolah. Tidak pernah meras...