Simulasi H-02

840 116 0
                                    

Pagi hari di kediaman keluarga Perwira, tidak jauh berbeda dengan keluarga Valerin. Heboh dan berisik. Jangan heran, kedua keluarga tersebut memang 11 12 akan sikap. Arnold yang receh dan Clarissa yang suka teriak-teriak. Untuk itu, jika kedua keluarga ini di satukan, sudah di pastikan bahwa keadaan akan sangat kacau.

Hari ini simulasi hari kedua. Berbeda dengan hari pertama, di hari kedua simulasi dilakukan di pagi hari. Jadwalnya diubah secara mendadak. Baru tadi malam sekitaran pukul 12.34 informasi itu di sampaikan. Tentu saja hal tersebut sudah membuat Nana hampir saja mengumpat di pagi hari.

Masalahnya ada, dia sama sekali tidak mendownload kisi-kisi atau pencerahan perihal pelajaran yang akan disimulasikan hari ini. Ketiga sahabatnya yang lain pun sama. Mereka berempat bermain game kemarin malam, lalu tidur di jam 12.01. Belum lagi dia terlambat bangun. Lengkap sudah.

"MA, NANA BERANGKAT!"

"SARAPAN DULU!"

"NGGAK SEMPET!"

"TUNGGU DULU, MAMA SIAPIN BEKEL!!" Clarissa berteriak dari dapur seraya memasukan beberapa potong sandwich ke dalam kotak makan, lalu berlari keluar menuju Nana yang sudah duduk di atas motornya.

"Makanya kalo main game jangan sampe lupa waktu, begini kan!" Clarissa mengomel, dia tengah memasukan bekal ke dalam tas Nana. Sedangkan Nana hanya mendengarkan dari balik helm full facenya.

"Bukan salah Nana! Gurunya aja telat kasih info, masa ngasih info di jam setengah satu malem?!"

"Siapa yang kasih info?" Secara tiba-tiba saja Arnold muncul dari arah belakang, mengejutkan anak dan ibu yang tengah mengobrol itu.

"Pak Hussin!"

"Udah nggak heran papa mah. Emang dari dulu itu guru begitu. Kamu masih mending di kasih info jam 12-an, masih ada yang melek. Coba pas papa? Dia ngasih info jam 3 pagi! Gila nggak tuh!"

Arnold bersungut. Dia masih mengingat bagaimana dia yang harus di hukum karena telat datang ke sekolah.

"Belum lagi, nih, ya. Pas papa protes, tau nggak apa yang dia bilang?" Nana menggeleng. "Masa dia bilang 'ya bapak pikir kalian ada yang sholat tahajud, makanya bapak kasih info jam segitu.' ngeselin, kan?"

"Wah, ngeselin banget! Papa di hukum sendiri?"

"Nggak. Bareng sama Keylan, Kaylan sama Daffa, sih."

"Om Gio, nggak?" Dahi Nana berkerut, dia hanya heran. Biasanya, di mana ada Arnold, maka di situ ada Gio. Begitupun sebaliknya.

"Nggak. soalnya dia kan–"

"Katanya telat, kok malah ngobrol?" Clarissa memotong perkataan Arnold barusan. Membuat anak dan ayah itu melirik ke arahnya.

Nana menggetok kepalanya yang terlindung helm, lalu menyalakan motornya. "Gara-gara papa, nih! Nana jadi lupa kan kalo Nana lagi buru-buru!"

"Lah? Malah nyalahin. Salah kamu sendiri malah ladenin papa," ujar Arnold.

"Udah, ah. Terserah. Nana berangkat, assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

***

Setelah sampai di sekolah, Nana buru-buru turun dari motornya. Lalu berlari saat melihat Gaara dan Haikal tengah berjalan di ujung koridor kelas 10.

"Woy, tungguin!" Nana berteriak, berlari sekuat tenaga untuk mencapai dua sahabatnya itu.

Sedangkan Gaara dan Haikal kompak berbalik saat mendengar Nana berteriak. Namun, saat mereka berbalik, mereka memang menemukan Nana di sana, tengah berlari menuju mereka. Yang anehnya adalah, Nana masih menggunakan helm di atas kepalanya.

"Hah, untung nggak telat." Nana mengusap dadanya lega. Dia pikir dia akan terlambat hari ini, tapi ternyata tidak. Bahkan Nana yakin, Jeremy belum tiba di sekolah. Dia sama sekali tidak melihat motor pemuda itu di parkiran tadi.

"Na, lo sehatkan?"

"Sehatlah! Emang kenapa, sih?"

"Coba pegang pala lo."

"Hah? Apasih? Emang kenapa sama pala gu–e." Nana sedikit tercekat saat merasakan helm masih terpasang di kepalanya. Sedetik kemudian dia melepasnya, lalu menatap Gaara dan Haikal yang tengah menatapnya jengah.

"Buru-buru tadi, takut telat. Makanya nggak berasa kalo masih pake helm." Nana cengengesan. Kontras dengan Gaara yang memutar mata juga Haikal yang mencebik. Lalu, ketiganya berjalan beriringan di koridor.

"Kalian kok tadi jalannya santai banget? Si Jery belum dateng?" Nana bertanya.

"Lo liat info di grup nggak?"

"Nggak, emang kenapa?"

"Jadwal di ubah, lagi."

"WHAT THE–" Nana sontak berhenti berjalan, lalu mencari ponsel di ranselnya. Dengan cepat dia membuka grup kelasnya, di sana terpampang jelas sebuah chat bertuliskan; "Maaf ada kekeliruan, jadwal kembali di ubah menjadi pukul 09.15, bukan pukul 07.30."

"NI GURU ADA MASALAH HIDUP APA SIH?!" Nana berteriak frustasi.

"Nggak tau. Tanya aja langsung sama Pak Hussin." Gaara menjawab acuh.

"Trus, kalian kok udah ada di sekolah?"

Gema menepuk-nepuk pundak Nana dengan wajah seperti orang yang sedang sakit hati. "Kita sama, Na. Kita baru buka hp pas di parkiran, hiks."

"Pantes di Jery belom nongol batang idungnya." Gaara mencibir. Dia juga kesal, sama seperti Nana. Tadi dia bangun secara buru-buru, tidak makan, bahkan tidak minum.

"Gue belom sarapan. Ke kantin, lah." Gaara dan Haikal mengangguk, lalu mereka berjalan beriringan menuju ke arah kantin.

"Kalian mau mesen apa? Kalo gue bawa bekel dari rumah," ujar Gaara. Dia bersama dengan Haikal dan Nana sudah duduk di meja dekat dengan warung Pak Wawan, pedagang batagor paling enak.

Tanpa menjawab, Haikal dan Nana juga sama-sama mengeluarkan kotak makanan dari dalam tas mereka. Mereka sama sekali tidak malu membawa bekal seperti ini ke sekolah. Meskipun mereka ini adalah orang yang paling terkenal di seantero sekolah, namun mereka tidak peduli.

Mereka dengan tenang menyantap bekal yang mereka bawa masing-masing, menghiraukan berbagai tatapan dari adik dan kakak kelas yang ada di sana.

"Mau nyobain?" Nana mengansurkan kotak makannya, guna menawari Haikal dan Gaara. Clarissa memang memasukan sekitar 8 potong sandwich. Dia sengaja, karena dia tau Nana pasti akan memakannya bersama dengan yang lain.

"Buatan Mama, kan?" Nana mengangguk, lalu tanpa basa-basi, Gaara dan Haikal mengambil potongan sandwich dari dalam kotak bekal Nana.

"Wah, gila enak banget. Sandwich Mama emang paling juara." Haikal berdecak kagum.

"Nih, mie buatan bunda. Dia masukin lebih katanya, siapa tau kalian mau."

"Ini juga, mami bikin nasi goreng sosis. Banyak, makan gih."

Sampai akhirnya mereka bertukar bekal makanan. Gaara memakan bekal Haikal, Haikal memakan bekal Nana, lalu Nana yang memakan bekal Gaara. Sesekali mereka kembali bertukar bekal. Untuk merasakan masing-masing bekal buatan para ibu.

"Wih, makan nggak ajak-ajak." Jeremy datang, lalu tanpa izin menyendok nasi goreng yang tengah di makan oleh Gaara.

"Lo datengnya kelamaan," ujar Nana setelah dia selesai minum.

"Ngapain dateng pagi juga. Orang di undur." Jeremy menjawab acuh, kembali memakan nasi goreng yang sudah di berikan oleh Gaara sepenuhnya pada dirinya.

"Lo udah tau dari pagi, kan?" Jeremy mengangguk. "Kok nggak nelpon kita, sih, nyet?!"

"Ya gue kira kalian udah tau. Biasanya kan kalian on tuh subuh-subuh, makanya nggak gue kasih tau," terang Jeremy. Berganti menu, sekarang dia tengah memakan mie bawa Gaara.

Sementara tiga lainnya mendengkus keras. Terserah saja, yang terpenting Jeremy senang. Lagi pula, tidak terlalu buruk menunggu waktu simulasi tiba di sekolah. Lebih seru dari pada menunggu di rumah.

Dream cansertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang