"Kalian bakal kami jodohin."
Perkataan Gio barusan membuat jantung Gaara, Jeremy, Haikal dan Nana langsung lululantah. Mereka langsung para orang tua yang sekarang juga tengah menatap ke arah mereka.
Hari ini tiba-tiba saja para orang tua mengajak mereka untuk berkumpul di rumah Gio. Mereka berempat berpikir ini hanya hal biasa, sebab mereka sering berkumpul untuk sekedar mengobrol atau makan bersama. Namun, nyatanya tidak.
"Maksudnya?"
"Kurang jelas? Ayah bilang kalian bakal di jodohin."
"Hah?"
"Gimana?"
Gio menghela napas bersamaan dengan Arnold, Keylan dan Kaylan. Sedangkan para ibu hanya menatap anak mereka dengan tatapan yang sedikit cemas.
"Dengerin ayah, ya." Gio berbicara cepat saat melihat Gaara dan lainnya yang sudah mengerti kemana arah pembicaraan mereka saat ini.
"Ayah, papa, sama papi punya anak asuh di panti asuhan tempat kita menyumbang. Usianya sama kayak kalian, cuma anak asuh Arnold lebih muda satu tahun." Gio menjeda untuk melihat reaksi keempat anak yang berada tepat di hadapannya sekarang.
"Mereka yatim piatu sejak bayi, bahkan mereka nggak tau masih punya keluarga apa nggak. Ibu panti bilang, dia nemuin mereka dibuang di dekat pembuangan sampah. Ada juga yang memang sengaja ditinggalin di depan pintu panti."
"Dari sejak mereka kecil sampe sekarang, semua biaya hidupnya di tanggung sepenuhnya sama kami. Mulai dari sekolah sama keperluan lainnya." Gio kembali menjeda. Dapat dia lihat keempat anaknya itu tengah menatap dirinya datar, tanpa ekspresi.
"Karena usia mereka yang udah besar, mereka nggak mungkin terus menerus tinggal di panti. Apalagi, sekarang anak-anak yang tinggal di panti terus bertambah setiap tahunnya. Jatah mereka berempat jadi sering terkorbankan untuk biaya anak panti lain. Mereka juga mulai kerja part time, ayah tau dari ibu panti."
Gio menghela napas sejenak. Tidak mudah baginya untuk menjelaskan semuanya secara terperinci. Dimana dia bersama dengan Arnold dan yang lainnya pertamakali melihat wajah lucu nan lugu anak perempuan itu, lalu kemudian memutuskan untuk mengasuh mereka tanpa adopsi.
"Jadi, kami berdiskusi untuk menjodohkan mereka sama kalian. Ayah harap kalian bisa ngerti sama terima." Gio mengakhiri ucapannya dengan seulas senyum, berharap anak-anaknya itu mengerti.
"Kenapa?" Gaara bertanya. Otaknya belum bisa mencerna semua perkataan yang baru saja keluar dari mulut Gio. Dia mengerti, tapi menolak untuk mengerti lebih jauh lagi.
"Karena kami ingin mereka punya kehidupan yang lebih layak dari sekarang." Arnold menjawab, matanya tidak lepas dari keempat putranya itu.
"Kalian bisa beliin mereka apart, kan? Kalian juga bisa biayain kehidupan sehari-hari mereka. Kenapa harus dijodohin sama kita?" Haikal berucap, dalam nada bicaranya terselip nada frustasi.
"Biar mereka ada yang jaga."
"KALO GITU BISA KAN DI JODOHIN SAMA YANG LAIN? KENAPA HARUS KAMI?!" Ini adalah pertama kalinya Jeremy berkata dengan nada tinggi, terlebih di hadapan para orang tua. Dia hanya sudah frustasi dengan keputusan yang di ambil oleh orang tuanya.
"Kami nggak bisa sepercaya itu sama yang lain. Kalian anak kami, jadi kami percaya sepenuhnya sama kalian."
Gaara, Jeremy, Haikal dan Nana kembali menghela napas frustasi. Baru saja kemarin pikiran mereka bisa terbebas dari banyaknya beban sekolah, sekarang pikiran mereka sudah kembali di penuhi oleh beban baru–perjodohan.
Mereka berempat tahu, mereka tidak seharusnya menentang para orang tua seperti yang mereka lakukan sekarang. Mereka hanya tidak bisa membayangkan apa jadinya mereka yang akan menikah di usia muda seperti sekarang. Usia mereka saja belum genap 18 tahun.
"Papa mohon, mereka cuma punya kami, mereka hanya di jaga sama kami. Kalau mereka di jodohkan sama kalian, mereka bakal punya penjaga tambahan." Kali ini Kaylan memohon pada Gaara dan yang lainnya. Sedangkan Gaara berserta Haikal, Jeremy dan Nana mengalihkan pandangan.
Dalam otak mereka saat ini hanya berisi oleh empat gadis yang baru saja di bicarakan oleh Gio. Mereka belum pernah bertemu, saling tahu saja tidak. Namun, saat mereka memikirkan bagaimana nasib keempat gadis tersebut, dalam hati mereka terdapat sepercik perasaan iba, dan rasa ingin menerima.
"Papi tau ini bakalan sulit buat kalian, tapi cuma ini cara satu-satunya yang kami punya." Keylan memandang putranya satu persatu.
"Mereka anak yang baik, mereka anak yang kuat. Selama kami berkunjung ke sana, mereka sama sekali tidak pernah menunjukan ekspresi sedih atau yang membuat iba. Mereka tetap kuat di keadaan mereka yang bisa di bilang sulit." Gio kembali menjelaskan, berharap keempat anaknya itu mengerti maksud dan tujuan kenapa dia menjodohkan mereka.
"Jadi, ini alasan kenapa papa nanya kami lagi Deket sama cewek atau nggaknya waktu itu?" Nana bertanya pada Arnold setelah sejak tadi terdiam. Arnold mengangguk.
"Udah keduga."
"Terus, bunda tau?" Gaara menatap Kiera lurus, berharap bundanya itu menjawab dengan jujur.
"Bunda minta maaf, kalian belum saatnya tau waktu itu, makanya bunda bohong." Kiera menjawab, dia balas menatap tepat ke arah mata Gaara. Dapat dia lihat kefrustasian dan keputusasaan dalam mata jernih anaknya.
"Kalo bunda jujur waktu itu, kami nggak mungkin bakal sekaget ini, Bun."
"Kami bisa aja mikirin hal ini kalo kalian bilang dari awal, nggak dadakan kayak begini." Haikal membanting punggungnya ke sandaran sofa.
"Ada alasannya kenapa kami bilangnya dadakan sama kalian," ujar Kaylan.
"Apa?"
"Kalian baru selesai ujian, kalau kami bilang dari sejak itu, nanti yang ada kalian tambah stress. Kami nggak mau berbuat jahat kayak gitu sama kalian," jawab Kaylan. Dia bersungguh-sungguh, dia tahu, jika mereka membicarakan hal ini dari sejak hari itu, maka akan sangat menganggu pikiran Gaara serta lainnya.
"Bener, sih," ujar Haikal lirih.
"Emang bener." Keylan menyeletuk saat mendengar lirihan dari anak semata wayangnya itu.
"Tetep aja! Kami sekarang juga tambah stres!" Gaara sedikit menaikan intonasi suaranya.
Gio kembali mengulas senyum. Dia merasa bersalah sebenarnya, tapi ini satu-satunya cara agar anak asuhnya mempunyai penjaga yang benar-benar bisa menjaganya dengan baik.
Mungkin Gio bisa saja membelikan apartemen, memberikan mereka uang setiap bulannya, lalu menyewakan bodyguard jika memang di perlukan. Namun, maksud dari menjaga disini adalah menjaga dengan rasa cinta dan kasih sayang, sama seperti dirinya, bahkan mungkin lebih.
"Kalian nggak bakal langsung nikah, tenang aja. Kami bukan orang tua yang ada di dalam novel. Ngejodohin, terus seminggu kemudian nikah. Kami bakal biarin kalian berkenalan dulu, baru bertunangan. Abis itu baru nikah," ujar Arnold. Mencoba untuk meluruskan pemikiran anak-anaknya yang berpikir mereka akan langsung di nikahkan.
"Bener. Jadi, mau, ya?"
"Kami pikirin dulu." Dan dengan begitu, Gaara, Jeremy, Haikal dan Nana bangkit, meninggalkan pavilion kediaman Valerin dengan perasaan campur aduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream cansert
FanfictionDream Cansert, bukan sebuah perkumpulan geng abal-abal yang suka tawuran dan mabuk-mabukan. Bukan pula sebuah perkumpulan geng yang suka melawan orang tua. Namun, sebuah geng yang isinya anak kesayangan papa dan mama juga sekolah. Tidak pernah meras...