Malam ini, entah ada gerangan apa, Arnold mengundang semua orang untuk makan malam bersama di rumahnya. Bukan hanya sekedar makan malam, namun juga sebagai ajang kumpul dengan banyaknya daging yang siap di panggang.
Sebagai tuan rumah tentu saja Nana bersemangat. Ini bisa di katakan momen yang sangat jarang. Itu di sebabkan oleh Arnold yang sangat menyukai gratisan. Dia tidak pernah mau menyelenggarakan hal semacam ini. Arnold itu tipe orang yang ingin di undang, bukan mengundang.
Alasannya sangat klasik, setiap kali di tanya atau di sindir oleh Nana, Arnold akan mengatakan; "Papa bukan pelit, Na. Tapi hemat!" Begitu katanya, dengan mata yang melotot juga tangan yang berkacak di pinggang.
Biasanya jika sudah seperti itu Nana akan berdecih. Kemudian pergi dengan mulut yang berkumat-kamit meledek. Padahal jika di telisik lebih jauh, sikap Nana sekarang juga tidak jauh beda dengan papanya. Sama-sama pelit yang berkedok kata 'hemat'.
Dan saat ini, Nana dan Winda tengah sibuk menata piring di meja panjang yang sengaja di letakan di belakang rumah, tidak jauh dari kolam renang. Mereka berdua di tugaskan oleh Clarissa untuk berbenah di sana, sedangkan dirinya menyiapkan bumbu di dapur.
Selain menata piring, mereka berdua juga di tugaskan untuk menyiapkan bara untuk memanggang daging nantinya. Namun untuk hal yang satu ini, Nana melakukannya sendiri. Mana mungkin dia membiarkan Winda kepanasan di depan bara api, Nana juga tidak mau jika sampai gadis itu bau asap nantinya. Hal yang lebih pentingnya lagi adalah perihal Winda yang sensitif terhadap asap.
Setelah mengenal lebih jauh selama dua mingguan ini, Nana mengetahui bahwa Winda mudah sesak. Bukan asma, entah apa namanya, Nana dan Winda sama-sama tidak tahu. Yang jelas, Winda akan merasa sesak jika menghirup terlalu banyak asap, menghirup debu, juga jika dia kedinginan.
"Kak Nana nggak pa-pa sendirian ngurus itu?" Winda bertanya di jarak yang cukup jauh dari Nana. Setiap kali akan mendekat, Nana pasti akan langsung melarangnya.
"Nggak, udah lo diem aja di situ. Jangan deket-deket!" Nana mengancungkan pemantik gas yang dia gunakan untuk membakar bara ke arah Winda, membuat gadis itu mengangguk.
"Pacaran teross!"
Nana dan Winda kompak berbalik saat mendengar seruan di belakang mereka. Di sana terlihat Haikal datang bersama dengan Giselle, lalu diikuti oleh Gaara dan Darra di belakang mereka.
"Kaca di sebelah sana gede, tuh. Ngaca gih." Nana menunjuk sebuah cermin yang tidak jauh dari sana dengan wajah datar.
"Gue nggak pacaran, ya!" elak Haikal.
"Terus tuh tangan ngapain?" Nana menunjuk tangan Haikal yang bertaut dengan tangan Giselle, membuat sang empu mendengkus. Kontras dengan Giselle yang terlihat sedikit malu, juga Gaara dan Darra yang tertawa di belakang.
Gaara berjalan menghampiri Nana. "Butuh bantuan?" tanyanya.
"Nggak usah, udah nyala ini."
"Ya udah."
Gaara mengedikan bahu, kemudian berjalan menuju meja makan dan duduk di sana. Lalu dengan sekonyong-konyong mengambil makanan dan minuman yang sudah tersedia. Tidak lupa untuk menawari Darra yang sejak tadi diam saja, namun gadis itu menolaknya.
"Si Jery nggak bareng?" tanya Nana. Dia pikir Jeremy akan datang bersamaan dengan mereka berempat, namun ternyata tidak.
"Nggak. Tadi pas di chat katanya duluan aja. Nggak tau ngapain dulu."
"Ya ngapain lagi? Pacaranlah!" Setelahnya Haikal terbahak, padahal tidak ada yang lucu sama sekali.
"Bagus, ya, ngomongin gue pas orangnya nggak ada."
Semuanya menoleh hanya untuk menemukan Jeremy yang tengah mendengkus masam di dekat kolam renang, tidak lupa dengan Karina di gandengan.
"Kemana aja lo?" Gaara bertanya saat Jeremy sudah duduk di sampingnya.
"Macet," jawab Jeremy, dia kemudian meminum teh hangat yang ada di sana. Gaara tidak bertanya lebih, dia hanya menganggukkan kepala saja.
Tidak lama setelah itu, para orang tua datang. Para anak yang ada di sana membagi tugas. Gaara dan Jeremy menyiapkan daging, kemudian Nana dan Haikal yang akan memanggangnya. Sisanya? Hanya diam menonton seraya berbincang.
"Kami pikir kalian bakal telat," ujar Arnold pada tiga gadis yang ada di hadapannya.
"Nggak mungkin dong, Pa! Aku sama Giselle nggak akan telat kalo urusan makan-makan gini." Itu Haikal yang menjawab, dia datang membawa dua piring daging yang sudah matang.
"Dih, perasaan papa nanya mereka, kok kamu yang jawab?" Arnold mengangkat sebelah alisnya, berniat menggoda Haikal. Sontak semua yang ada di sana tertawa, berbeda dengan Haikal yang mencebik kesal.
"Ini dagingnya udah di panggang semua?" tanya Gio.
"Dikit lagi, Yah. Ini panggangan terakhir," terang Nana, Gio mengangguk.
Tidak lama setelah itu, Nana datang dengan satu piring daging, bersamaan dengan Gaara dan Jeremy yang baru kembali dari dapur untuk cuci tangan setelah membaluri daging dengan bumbu buatan Clarissa tadi.
Acara makan terlihat tentram, dengan para istri yang sedia melayani para suami, dan juga para calon istri yang memperhatikan calon suami mereka makan.
Seperti saat Darra menyodorkan kecap ke Gaara, Winda yang mengambilkan minum untuk Nana, Karina yang mengambilkan apa makanan yang Jeremy inginkan, lalu Giselle yang memotong kan daging untuk Haikal.
Tentu saja itu tidak lepas dari perhatian para orang tua, terutama para ayah. Mereka semua bersyukur, sangat. Usaha mereka tidak sia-sia. Meskipun mereka yakin belum ada rasa cinta di antara mereka, mengingat mereka juga yang baru mengenal hanya dalam waktu dua mingguan ini. Namun, mereka bisa melihat sudah timbul rasa sayang di sana. Belum kentara memang, tapi paling tidak itu sudah ada.
"Jadi, kalian mau nikah kapan?"
Seketika meja makan yang awalnya diisi oleh suara dentingan sendok langsung terdiam sunyi. Haikal bahkan tidak jadi memasukan sepotong daging ke dalam mulutnya.
"Gimana, Pa?" Jeremy bertanya, beruntungnya dia tidak sedang mengunyah ataupun sedang minum. Jika tidak, mungkin saja dia akan tersedak, sama seperti Gaara.
"Iya, kalian mau nikah kapan?"
"Kok nanya gitu?" Kali ini Gaara yang bersuara. Sedangkan para gadis hanya diam menyimak. Mereka tidak tahu harus merespon seperti apa.
"Nanya aja. Atau mau tunangan dulu?" Keylan memberi saran. "Oke, deh, tunangan dulu," lanjutnya. Padahal, tidak ada seorangpun di sana yang merespon.
"Hah?"
Gio berdehem, menyamankan posisi duduknya. Mengambil minum, lalu meneguknya hingga tersisa setengah. Dia jadi gugup, entah mengapa.
"Kami semua mau mempercepat perjodohan kalian. Tenang, nggak langsung nikah, kok. Cuma tunangan dulu aja," jelas Gio, sedangkan yang di jadikan lawan bicara hanya diam.
"So? Mau, ya?"
Kedelapan muda mudi di sana terdiam. Para pria yang sedang berpikir harus memberi jawaban apa, dan para gadis yang diam gugup menanti jawaban apa yang akan di berikan oleh pria di samping mereka.
Gaara menghela napas pendek, menoleh kepada para sahabatnya, menemukan mereka bertiga menganggukan kepala.
"Oke, kami mau."
Gaara bersuara lantang sebagai perwakilan dari yang lainnya. Gaara, Jeremy, Haikal dan Nana berpikir tidak ada salahnya mereka melangkah lebih jauh saat ini. Karena dengan samar, mereka sudah bisa merasakan rasa nyaman.
Gio tersenyum, begitupun dengan yang lainnya. "Good, itu baru anak ayah!"
"Jadi, mau kapan?"
"Terserah ayah."
Gio menimang. "Dua minggu dari sekarang."
Para pria hanya mengangguk. Keputusan Gio adalah perintah bagi mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream cansert
FanfictionDream Cansert, bukan sebuah perkumpulan geng abal-abal yang suka tawuran dan mabuk-mabukan. Bukan pula sebuah perkumpulan geng yang suka melawan orang tua. Namun, sebuah geng yang isinya anak kesayangan papa dan mama juga sekolah. Tidak pernah meras...