"Ini mah bukan di traktir namanya!"
Gaara, Jeremy, Haikal dan Nana menatap Gio dan yang lainnya kesal. Mereka pikir ayah mereka itu akan membawa mereka ke restoran mahal, atau setidaknya cafe dan juga McD, namun nyatanya mereka malah di bawa ke cafe milik keluarga Valerin.
Sedangkan yang di tatap hanya memasang wajah tanpa dosa seraya meminum latte dan kopi.
"Di traktir, kan di sini kalian makannya gratis, mau sebanyak apapun terserah," ujar Gio ringan.
"Tanpa ayah pun kami tetep gratis makan di sini!" Gaara membalas.
"Udah, udah. Tinggal pesen aja, ya, anak ganteng. Nggak usah misuh-misuh sampe cursing." Arnold menengahi, membuat keempat anak itu menghela napas, lalu memanggil pelayan.
"Gimana ujian kalian? Lancar?"
Gaara dan yang lainnya menghela napas. "Lancar sih, iya. Tapi, pusing."
Keylan tersenyum sebagai balasan, begitupun yang lainnya. Mereka tahu pasti tidak mudah. Apalagi semalam Kaylan melihat anak-anak masih menghapal di jam yang bisa di bilang waktunya untuk tidur.
Watak anak-anak mereka memang seperti itu. Anak-anak mereka akan belajar sampai bisa hanya untuk sebuah ulangan, apalagi ini ujian. Terkadang mereka khawatir dengan itu, anak-anak biasanya lupa untuk makan jika sudah belajar. Jika tidak diingatkan, anak-anak bisa tidak makan seharian.
Mereka juga bingung, kenapa anak-anak mereka itu memiliki sifat yang terbilamh cukup berbanding terbalik dengan sifat mereka, terkecuali Gio. Hanya Gio dan Gaara saja yang memiliki sifat 11 12, yang lainnya 11 15.
"Nggak pa-pa, pusing di waktu ujian itu wajar." Gio mengusap kepala anaknya lembut. Sudah kebiasaan untuk membuat Gaara tenang.
"Papi percaya, kok, nilai kalian pasti bagus!" Keylan mengepalkan tangannya ke udara, memberi semangat.
"PASTI ITU!" Ayah yang lain menyahut seraya berteriak. Untungnya mereka saat ini berada di lantai 2, lantai khusus untuk keluar Valerin dan para sahabatnya.
Gaara, Jeremy, Haikal dan Nana mengulas senyum. Ini adalah salah satu dari sekian banyak alasan mengapa mereka sangat menyayangi ayah mereka masing-masing. Para ayah tidak pernah membiarkan mereka patah semangat, tidak pernah membiarkan mereka sedih, dan juga tidak pernah membuat mereka menangis.
Terbukti, sampai saat ini, mereka hanya menangis sedih beberapa kali. Itupun saat masih SD. Para ayah juga selalu memberikan mereka semangat, mau sekecil apapun, seperti tadi.
"Papa mau nanya, nih. Jangan tersinggung tapi." Arnold menjeda. "Kalian beberapa minggu lagi kelas 12, kan?" Keempat anak yang menjadi sasaran pertanyaan itu mengangguk.
"Terus, kalian punya pacar atau lagi deket sama cewek nggak?" lanjutnya, membuat keempat anak itu bertukar pandang. Perasaan mereka menjadi tidak enak tiba-tiba.
"Kemaren Nana yang nanya, sekarang papa. Kalian kenapa, sih?" Jeremy bertanya dengan alis menukik.
"Kok bawa-bawa gue?" Nana menyela tidak terima. Kemarin dia memang bertanya serius, tapi ada unsur bercandanya.
"Jawab aja pertanyaan papa. Iya apa nggak?"
"Nggak." Mereka menjawab serempak.
"Bagus, deh." Balasan Arnold membuat perasaan mereka semakin tidak enak. Pasti ada apa-apa dengan pertanyaan Arnold barusan, mereka yakin itu.
"Emang kenapa, sih?"
"Nggak pa-pa. Nggak usah di pikirin. Papa kalian cuma iseng," terang Kaylan. Yang sayangnya, ucapannya barusan itu membuat Gaara dan lainnya semakin berpikir negatif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream cansert
FanfictionDream Cansert, bukan sebuah perkumpulan geng abal-abal yang suka tawuran dan mabuk-mabukan. Bukan pula sebuah perkumpulan geng yang suka melawan orang tua. Namun, sebuah geng yang isinya anak kesayangan papa dan mama juga sekolah. Tidak pernah meras...