Giselle

928 117 1
                                    

Di dalam ruangan kini hanya tersisa Kiera, Clarissa, Nita dan Rina, sedangkan Gio dan yang lainnya berkeliling untuk melihat mungkin saja panti ini sudah mengalami kerusakan.

Gaara, Jeremy dan Haikal juga masih di sini tidak ikut dengan para ayah karena mereka mengira itu pasti akan membosankan. Jadi mereka hanya berdiam diri di sini, dengan pandangan yang tidak lepas dari ponsel.

Keadaan awalnya kondusif, sebelum Kiera memanggil Darra, Karina dan Giselle untuk ikut bergabung. Tentu saja hal itu membuat fokus tiga pria itu terpecah, antara fokus ke arah ponsel serta curi-curi pandang ke arah tiga gadis itu.

"Sekolah kalian gimana?" Rina bertanya.

"Baik, Mi." Giselle menjawab di sertai senyuman.

"Oh, iya. Icel udah sehat, kan? Kemarin mami denger dari ibu Icel sakit." Perkataan Rina barusan sukses membuat Haikal mengalihkan pandang ke arah Giselle, menunggu jawaban gadis itu.

"Sehat, kok. Icel cuma batuk sama flu aja, nggak sampe demam kayak biasanya." Diam-diam Haikal menghela napas lega, untuk apa sebenarnya? Haikal juga tidak tahu. Dia hanya merasa lega saja mendengar gadis itu baik-baik saja.

"Syukur, deh. Icel mau bantuin mami nggak? Eh, nggak Icel aja, sih. Kalian semua." Ketiga gadis di sana mengangguk.

"Bisa ajak mereka keliling? Bunda agak kesel liat mereka main hp terus." Kiera menunjuk tiga pria yang tersisa di sana, membuat mereka melebarkan mata kaget.

"B-boleh, Bun. Ayo!" Darra berdiri terlebih dahulu, kemudian berjalan ke arah luar. Kiera memberi kode pada Gaara untuk mengikutinya, dan langsung dituruti oleh anak itu.

"Karina?"

"Oh, iya, Ma. Ayo!" Karina dan Jeremy berjalan bersama keluar dari ruangan. Kini hanya tinggal tersisa Haikal dan Giselle saja.

"Icel ajak dia?" Giselle menunjukan Haikal yang sedari tadi memperhatikannya.

Haikal sedikit terkekeh saat mendengar nada bicara Giselle yang imut di telinganya, mungkin bukan hanya di telinganya, namun telinga semua orang.

"Iya, Icel ajak Haikal keliling, ya?" pinta Rina, Giselle mengangguk kemudian berdiri. Gadis itu mengisyaratkan untuk Haikal supaya mengikutinya dengan gerakan tangan.

Haikal mengerti, lalu mengikuti Giselle dari belakang. Haikal kembali terkekeh saat melihat rambut Giselle yang di kucir satu itu bergerak seirama dengan langkah kaki Giselle. Belum lagi Hoodie putih long size dan celana legging hitam yang gadis itu kenakan menambah kesan imut pada dirinya. Entah kenapa, sedari tadi Haikal terus mengatakan bahwa Giselle itu imut.

"Mau kemana dulu?" Haikal otomatis berhenti berjalan saat Giselle juga berhenti, gadis itu memutar tubuhnya supaya bisa berbicara dengan dirinya.

"Terserah, sih. Kan lo tour guide gue hari ini." Haikal tersenyum saat melihat Giselle mengangguk, sehingga poninya ikut bergerak.

"Kok gemes?" Haikal bermonolog dalam hati.

"Ya udah. Ke taman belakang, mau?" Giselle kembali bertanya, Haikal dapat memastikan bahwa Giselle termasuk pada gadis yang banyak bicara alias cerewet.

"Boleh."

Taman belakang ini lebih sepi dari pada taman depan. Di sini hanya terdapat dua ayunan, satu jungkat-jungkit, serta satu perosotan. Namun, pemandangan taman belakang ini lebih menyegarkan di bandingkan dengan taman depan.

Di sini juga terdapat banyak tanaman hias yang di jaga dengan apik. Di mulai dari bunga mawar, bunga Dahlia, bunga anggrek putih, serta beberapa jenis bunga lainnya. Di ujung taman sana juga terdapat kolam ikan.

"Udaranya seger. Lo sering ke sini?" Haikal bertanya pada Giselle. Pria itu sedikit menunduk, sebab tinggi Giselle yang ternyata di bawah dirinya.

"Biasanya aku ke sini sama Karina, Darra juga Winda. Pernah sendiri, tapi jarang. Soalnya takut."

"Takut apa?"

"Hantu. Waktu aku kecil, papi pernah bilang kalo pohon beringin itu ada hantunya." Giselle menunjuk pada pohon beringin besar yang berada di paling ujung bagian taman ini. Pohon itu memang terlihat menyeramkan dengan banyaknya akar yang menjuntai ke bawah.

Namun, di sini yang berbicara mengenai itu adalah papinya–Keylan. Semua yang dibicarakan olehnya 5% benar, lalu sisanya salah.

"Jangan percaya omongan papi. Dia suka bohong."

"Bukan papi aja kok yang bilang. Papa juga bilang begitu."

"Papa yang mana?"

"Papa Kaylan." Haikal berdecak saat mendengar jawaban Gadis di sampingnya itu. Perkataan Keylan dan Kaylan itu tidak pernah benar, sungguh.

"Sama aja. Pokoknya jangan percaya kalo papi, papa sama ayah ngomong yang aneh-aneh."

Giselle menganggukan kepala, lalu berjalan ke arah ayunan, kemudian duduk di sana. Haikal mengikuti, dan duduk di ayunan sebelah Giselle.

"Lo sekolah di mana?" Haikal memulai pembicaraan setelah beberapa saat terjadi keheningan.

"Di deket sini. Tapi, kata papi bakalan pindah."

"Kemana?"

"Sekolah kamu."

Haikal tersedak ludahnya sendiri saat mendengar hal itu. Itu artinya, Haikal akan satu sekolah dengan Giselle?

"Lo doang?"

"Nggak, sama Karina, Darra juga Winda."

Haikal mengangguk, setidaknya bukan hanya dirinya dan Giselle saja yang akan satu sekolah, tapi yang lainnya juga.

"Boleh tanya?" Haikal berdehem, dia mengalihkan pandangannya pada Giselle yang fokus menatap bunga Dahlia dihadapannya.

"Kamu kenapa terima perjodohan ini? Kamu padahal bisa nolak, kan?"

Haikal tersentak saat mendengar pertanyaan yang terlontar dari bibir Giselle barusan. Dia tidak menyangka Giselle akan menanyakan hal itu, hal yang juga ingin dia tanyakan pada gadis itu.

"Lo sendiri, kenapa?"

"Aku? Kamu pikir aku masih bisa nolak setelah apa yang udah papi lakuin buat aku selama ini?" Giselle balik menatap manik Haikal, meski terhalang oleh topi, tapi Giselle masih bisa melihat dengan jelas mata Haikal.

Haikal terdiam saat melihat mata Giselle. Dia mencoba untuk menyelami manik itu lebih jauh. Di sana dia menemukan luka dan kesedihan yang kentara, namun terhalang oleh senyum manis yang selalu gadis itu pasang.

"Lo nggak bisa nolak. Sama kayak gue. Gue nggak mungkin nolak permintaan orang tua sendiri, kan?" Giselle mengalihkan pandangannya, kemudian tersenyum kecil.

Keduanya sama-sama terdiam. Menikmati hembusan angin yang membuat poni Giselle berkibar.

"Aku cuma takut."

Dengan cepat Haikal kembali mengalihkan atensinya pada Giselle, menatap gadis itu degan kernyitan. "Takut apa?"

Giselle kembali tersenyum kecil, lalu menggeleng. "Nggak jadi. Aku random aja tadi."

Haikal tahu Giselle berbohong. Meskipun ini pertama kalinya mereka bertemu, namun Haikal sangat yakin bahwa Giselle tengah berbohong. Gadis itu seperti tengah menyembunyikan sesuatu.

"Takut apa, Sel?"

"Ih, kan, aku bilang nggak jadi. Nggak usah dipikirin, aku tuh anaknya random!"

Haikal menghembuskan napas. Giselle menyembunyikan sesuatu, dia yakin itu. Haikal ini termasuk orang yang memiliki tingkat kepekaan yang tinggi, hal semacam ini mudah terbaca oleh dirinya.

Namun, dia juga tidak bisa memaksa Giselle untuk mengatakan apa yang dia takutkan. Itu bisa saja membuat Giselle menjadi tidak menyukai dirinya. Maka dari itu, Haikal akan membiarkan ini mengalir seperti air.

Dream cansertTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang