Bagian 8

61 13 5
                                    

Rangga melipatkan tangannya di depan dada

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Rangga melipatkan tangannya di depan dada. Wajahnya seolah-olah sedang berpikir sesuatu.

"Mau apa, sih, Rang?"

"Karena lo gak hubungin gue tadi pagi, Gue mau kasih lo hukuman."

"Lo pikir lo itu orang bener yang bisa hukum gue seenak jidat lo?" Tuding Inara

"Nih ya Rangga, gue sama lo itu bukan siapa-siapa! Jadi gue gak ngehubungin lo itu ya terserah gue dong? Lo gak ada hak sama sekali nyuruh gue hubungi lo mulu," lanjut cewek itu membuat Rangga menghembuskan napasnya pelan.

"Mau gue seriusin sekarang, nih?"

"Hah?" Rangga berdecak. Cowok itu menuntun Inara untuk duduk di kursi taman. "Malam ini lo jalan sama gue!"

"Gak mau. Makasi."

"Gak ada penolakan. Makasi."

"Lo tuh... Ish!" geramnya kesal. Matanya melebar kaget kala kepala cowok itu tiba-tiba berada di pahanya. Rangga tersenyum sekilas. "Bentaran doang. Kepala gue pusing."

"Lo kalau pusing ke UKS lah! Jangan jadiin paha gue bantal!"

"Lebih enak di sini, Ra. Seger. Apalagi sambil mandangin wajah cantik lo," kekehnya membuat wajah Inara memerah seketika.

"Blushing ya Neng?" Inara menggeleng cepat "Gak lah!"

"Lo gak pusing, Ra, masuk ke kelas IPA?"

Inara menggeleng. "Gak sama sekali. Malah gue suka banget!"

"Pelajaran yang lo suka apa?"

"Kimia. Kenapa? Kepo banget jadi orang."

"Gak apa-apa sih, cuma mau tau lebih dalam tentang lo aja sih." Inara tidak merespon apapun. Matanya sibuk memandangi langit.

"Kayaknya wajah gue kalah cakep ya dari langit?"

"Iyalah! Gue kalau liat wajah lo tuh malah bikin eneg. Beda lagi kalau liat langit. Bikin gue semakin banyak nyimpan harapan."

"Harapan lo apa?"

"Bisa banggain orang tua gue. Paling utama cita-cita gue terwujud."

"Emangnya cita-cita lo itu apa? Jadi istri dan ibu dari anak-anak kita, ya, Ra?"

Inara memukul mulut Rangga keras. "Gak usah ngawur mulu deh ngomongnya! Orang cita-cita gue itu jadi dokter."

"Aminin aja dulu, kek, Ra. Ohh, jadi dokter, ya? Kalau gue sakit gratis sabi dong, hehe."

"Buat lo malah bakalan gue naikin 50 persen harganya, Rang."

"Si buset gitu amat." Inara tertawa pelan. Suara tawa cewek itu membuat dada Rangga mendesir hebat.

"Kalau mau ketawa izin dulu, ya. Biar gue gak mleyot dengernya, Ra."

"Apaan sih!?"

Sejauh ini, Inara bisa mengetahui jika sikap Rangga yang random bisa membuat suasana menjadi menyenangkan apalagi kata-katanya yang seketika membuat jantung Inara berdetak lebih cepat.

Ranara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang