Extra Part [3]

122 4 0
                                    

Keheningan terjadi selama beberapa menit ini. Tidak ada yang memulai untuk pembicaraan baik di belah pihak perempuan maupun laki-laki. Sampai beberapa menit kemudian datanglah Nina yang membawa sebungkus martabak manis.

Wanita cantik itu yang awalnya bingung kini terlihat mengerti. Berpapasan di tengah jalan dengan Haikal lalu adanya tamu di rumah Inara yang tak lain adalah Rangga.

Nina memang sosok yang peka. Wanita itu memecahkan keheningan di sekeliling mereka dengan suara tawa renyahnya.

"Aduh kalian ini kok pada diem aja sih? Hehe. Ah, iya Om Tante saya bawain martabak kesukaan kalian lohh. Masa nggak mau di makan, sih?"

Entah pelet darimana, eh ralat, entah kenapa kedua orang tua Inara langsung tertawa pelan. Seperti tidak terjadi apa-apa. Mereka memakan martabak manis itu dengan lahap sesekali di iringi dengan bercandaan ringan.

"Iya, Mama juga sama pengen cepet-cepet Inara nikah, haha. Tapi Mama nggak maksa kok, lagian nikah itu harus siap dari kedua belah pihaknya."

Nina melirik kearah Rangga yang sedari tadi hanya menyimak. Wanita itu menyenggol pelan lengan Rangga membuat pria itu menoleh bertanya.

"Sana lurusin niat lo. Ke sini lo mau lamar Inara, kan?"

Bagaimana Nina bisa tahu? Aduh seorang Calista Franina tahu segala hal.

"Maaf om tante, apa saya bisa melanjutkan lamaran saya?"

Deg!

Langsung blank. Pikiran Inara seketika blank. Seperti ulangan matematika yang waktunya hanya beberapa menit lagi dan soalnya masih banyak bisa membuat diri sendiri panik dan seketika nge-blank, itulah yang sedang Inara alami sekarang. Cuma hanya beda konteksnya saja.

"Saya punya niat baik untuk melamar Inara. Bukan karena saya ingin menyakiti hati Inara untuk kesekian kalinya. Seperti yang kalian ketahui kalau masa remaja adalah masa pertumbuhan yang melibatkan perasaan dan pikiran seseorang. Itu yang dulu saya alami. Rasa ambisius untuk memenangkan taruhan dengan menaklukkan hati Inara melingkupi ego saya untuk memenangkan taruhan itu."

Rangga menarik napasnya dalam. Jujur saja, hatinya sedari tadi masih sesak dan rasa takut pun masih menempel erat di dirinya.

"Tapi seiring berjalannya waktu, saya jatuh hati pada putri, Om," ungkapnya seraya menatap Radit yang sedaritadi memang mendengarkan penjelasan Rangga.

"Ini bukan sekali atau dua kali saya berbicara seperti ini. Selain ke teman-teman saya dan Viola teman Inara, saya juga beberapa kali menjelaskan hal yang sama pada Inara, om, tante."

"Saya bingung. Bertahun-tahun berpisah dengan Inara tidak membuat perasaan saya hilang begitu saja. Di pertemukan untuk kedua kalinya membuat saya merasa harus berjuang kembali mendapatkan hati Inara. Menyatukan kembali hati Inara yang sudah saya retak-kan pada saat itu."

"Saya melamar Inara bukan untuk bermain-main, Om. Usia saya sudah waktunya untuk serius dan menjalani hidup dengan pasangannya. Jika Om ataupun Tante gak percaya, kalian bisa melakukan apapun untuk membuktikan keseriusan saya."

Radit menatap Inara sekilas. Pria itu menganggukkan kepalanya pelan. "Saya serahin semuanya kepada Inara. Saya memang ayahnya di sini, tapi yang lebih berhak mengambil keputusan hanyalah Inara."

Ini yang Rangga takutkan. Jawaban Inara. Apakah gadis itu masih mau menerimanya? Tetapi, jika gadis itu menolaknya Rangga akan berjuang kembali, anggap saja rasa keseriusannya.

Inara diam. Tidak berniat untuk mengucapkan jawaban apapun. Gimana, ya, di hatinya ia ingin menerima kembali pria itu tetapi mulutnya terlalu kamu untuk menjawab.

Ranara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang