13. Devil's Cage

1.1K 117 131
                                    

Rhys meringkuk, pandangan matanya masih saja kosong. Gemetar itu masih juga belum hilang sepenuhnya. Pertanyaan demi pertanyaan hanya dijawab dengan singkat saja bahkan tidak sampai satu kalimat. Dia terpukul dan tidak menyangka, apa yang terjadi begitu cepat dan kenapa harus bocah itu. Ivar memang terkadang menjengkelkan, tapi tetap saja tidak sampai harus menghilangkan nyawa.

Dia belum sarapan juga sejak tadi, tapi makanan yang disediakan oleh pihak kepolisian sama sekali tidak dia sentuh. Bagaimana mungkin Rhys mampu menelan sesuatu, bayangan Ivar yang tergolek di lantai itu masih bisa dia ingat dengan jelas, juga aroma anyir itu. Beberapa kali orang-orang berusaha menanyainya, tapi tetap saja Rhys hanya menjawab dalam satu atau dua kata saja.

Alibi Rhys jelas, pada waktu kejadian dia sedang berada di luar membeli makanan. Nota pembelian dan kedai yang melayaninya sudah menyatakan demikian. Dia di sini sebagai saksi, tapi tetap saja dia harus menjawab banyak pertanyaan dari kepolisian. Dengan jujur Rhys menjawab, Ivar memang konyol, tapi dia hanya kekanakan saja. Dan itu bukan motif yang kuat untuk membunuhnya, kecuali orang itu gila.

"Rhys, lihat mbak," kata Nabila yang masih setia menunggui adik jadi-jadiannya itu.

Rhys masih membisu, meski Willy tadi juga sempat datang dan mengajaknya bicara. Mereka semua masih belum bisa meraba motif apa yang menyebabkan pembunuhan itu. Tidak ada barang Ivar yang hilang dan itu bukan perampokan. Tim forensik sempat menyatakan, bentuk luka seperti itu hanya dilakukan oleh profesional, jadi kematian Ivar bukan random yang korbannya dipilih secara acak. Ini adalah pembunuhan terencana melihat begitu rapinya semua tertutup rapat.

"Mbak paham kamu masih takut, gak apa-apa ada mbak di sini. Rhys lihat mbak." Nabila kembali mengelus pundak Rhys yang masih terlihat shock.

Nabila mengerti, Rhys bukan seorang aparat negara seperti suaminya, dia juga bukan dokter seperti dirinya. Melihat temannya meninggal penuh luka seperti itu pasti membuatnya jiwanya terguncang. Raut muka Rhys masih pucat pasi dan dia hanya meminum seteguk saja air yang disodorkan oleh Nabila. Hanya beberapa jam yang lalu Rhys masih belum pulih dari keterkejutannya. Nabila tidak akan memaksa.

"Rhys, kamu gak perlu kuatir, nanti akan mbak ajukan program perlindungan saksi. Kamu bakal aman, lihat ke arah sana. Lelaki yang berseragam di dekat pintu itu suami mbak, jangan takut lagi ya," ucap Nabila berusaha menghibur Rhys yang masih berdiam diri.

Berbicara dengan Rhys tampaknya sia-sia, Nabila menyudahinya dan dia berpamitan. Bagaimanapun masih ada putri kecil yang menunggunya di rumah, Nabila tidak bisa menelantarkannya meski dia sedang sibuk karena hal lain. Untuk Rhys biar dia menitipkan nya saja kepada suaminya. Pria yang sudah dianggap seperti adiknya sendiri itu masih shock. Mungkin nanti Nabila akan mengirim seorang psikolog atau psikiater mungkin, paling tidak agar Rhys bisa lebih tenang.

"Mbak pergi, Rhys. Jangan kuatir ya, kamu akan baik-baik saja." Nabila berkata sembari memeluk Rhys dengan erat.

Tidak ada jawaban tapi tangan Rhys membalas pelukan itu, tubuhnya sedikit berguncang entah kenapa. Nabila menenangkannya dan berkata semua akan baik-baik saja. Rhys akan aman di sini, dan pelaku itu sedang dicari, motif pembunuhan itu akan segera terungkap. Rhys tidak sepenuhnya percaya tapi tetap dia memutuskan untuk diam saja.

"Mbak pergi, nanti mbak datang lagi. Baik-baik ya."

🍸🍸🍸

Hanya sehari semalam Rhys berada di kantor polisi, dia sudah bisa ditanyai dan menjawab apa saja yang ditanyakan oleh pihak kepolisian. Rhys ditawari perlindungan hingga pelakunya tertangkap, tapi Rhys menolak. Sudahlah buat apa itu, seandainya orang itu ingin membunuhnya tentu dia sudah mati sekarang. Jarak antara kematian Ivar dan kebersamaannya dengan Rhys begitu dekat.

Twist Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang