Coffee

62 11 2
                                    

Kehidupan bermula dari mata. Saling menatap yang awalnya benci namun ternyata menyimpan rindu. Semua berawal dari saling menatap, tatapan penuh tanya dan penasaran. Namun siapa yang tahu bahwa akhirnya akan jadi seperti ini.


Jeongyeon sedang terdiam. Duduk disebuah cafe dan menikmati sore hari yang mulai turun hujan. Mendung sore itu membuatnya rindu pada keponakan kesayangannya, Ryujin. Sudah hampir 4 bulan lamanya ia tidak mendengar kabar darinya. Tapi siapa tahu, Ryujin saat ini sedang giat belajar dan menempuh pendidikan yang sangat diinginkan kakaknya itu.

Jeongyeon terpaku pada sebuah cangkir kopi berisikan latter dengan art-coffee didalamnya. Sore indah ditemani rintik hujan. Menunggu. Itulah yang sedang ia lakukan. Akhir-akhir ini ia sedang merindukan sosok bersuara berat husky yang tengah sibuk dengan banyak kegiatannya itu. Saat ini, Changkyun sedang berada di Amerika sana untuk melakukan promosi bersama teman-temannya.

Nafas berat terhembus begitu Jeongyeon mengingat bahwa ia merindukan sosok Changkyun. Entahlah, rasa ini belum pernah ia rasakan bahkan ketika ia bersama dengan Jimin. Ngomong-ngomong soal Jimin, beberapa hari lalu ia dan Jimin bertemu di kantor. Jeongyeon memutuskan untuk resign dari kantor Jimin sebelum ini semakin berlarut menjadi tuntutan besar. Memang sayang, namun Jeongyeon ingin menikmati harinya sebagai wanita biasa.

"Sendiri?"  suara asing masuk ke telinga Jeongyeon yang sedang menikmati segelas kopi di sore itu. Jeongyeon menoleh padanya, "Kakak!" ia terkejut karena kehadiran kakak laki-lakinya yang sudah menghilang sekian tahun. Bukan, ini bukanlah ayah Ryujin. Ia adalah kakak tertua Jeongyeon yang menghilang sebelum kakak perempuan Jeongyeon ikut menghilang meninggalkan dirinya bersama Ryujin kecil.

Butir air mata jatuh dari sudut mata Jeongyeon. Kakak-nya pun tidak bisa menahan haru melihat adik yang sudah ditinggalnya selama lebih dari 15 tahun itu. Kakaknya tak percaya melihat adiknya sudah tumbuh menjadi gadis dewasa.

"Benar. Seungyeon benar tentangmu." ucapnya parau. Mendengar nama kakak keduanya disebut, Jeongyeon sontak terkejut. Ia sangat terkejut. Apa yang benar? Siapa yang benar?

Jeongyeon terdiam sejenak. "Ya, kamu pasti terkejut. 2 minggu lalu, aku bertemu dengan Seungyeon di Jeonju. Ia sedang bekerja di minimarket saat aku bertemu dengannya. Ini hal yang aneh bukan?" Jeongyeon masih tidak percaya apa yang didengarnya. "Aku kabur karena sungguh aku malu pada dirimu dan Seungyeon. Tapi ternyata Seungyeon mengikuti jejakku, meninggalkanmu dan si kecil."

Entah bagaimana rasanya. Hatinya sakit namun bahagia. Ini terasa sangat aneh baginya. "Sudah hampir 15 tahun kakak pergi, tak lama, ia juga pergi. Hanya meninggalkan aku dan Ryujin berdua dengan uang 10,000 won di tangan. Jika aku ingat, itu berat untuk kami berdua. Aku harus bekerja keras, menahan tangis, dan memikirkan bagaimana nasib kami esok hari." Dohyeon, kakak laki-laki Jeongyeon, menundukkan kepalanya. Entah apa yang sedang dipikirkan olehnya. Bagaimana ia bisa tiba-tiba menemui Jeongyeon?

"Jika kakak datang untuk meminta maaf, jujur, aku sudah memaafkan. Bukankah itu yang keluarga lakukan? Namun, jika kakak meminta untuk seperti dahulu, aku belum bisa menerima apapun itu. Baik kakak atau kak Seungyeon, aku masih belum bisa menerima kalian berdua dalam kehidupanku. Butuh waktu lama untuk memprosesnya." Dohyeon menunduk dan memahami perasaan adiknya itu. Ia tahu bahwa berat hidup menjadi seseorang yang harus memposisikan dirinya sebagai seorang 'ibu' padahal ia tahu betul bahwa dirinya belum siap.

Dohyeon memberanikan diri menatap Jeongyeon, "Aku tidak meminta banyak darimu.." ia meraih tangan Jeongyeon dan menggenggamnya, "Yang aku minta hanya adikku agar tetap sehat dan kuat seperti ini. Aku tahu bahwa kau bisa."

Obrolan sore itu menjadi sangat sendu dengan kopi dan hujan menjadi saksinya. Hari yang sangat berat namun berharga telah datang ke kehidupan Jeongyeon. Menepis bahwa ternyata ia bisa bertemu dengan kakaknya, namun ia tahu jika ia merindukan sosok kakak yang bisa membimbingnya. Air mata yang bahkan ia tahan karena sudah bertekad pun jatuh membasahi pipinya.

Seperti hujan yang terus turun dengan deras, begitulah air mata Jeongyeon muncul sore itu. Dalam diam, ia menangis mencoba mencerna keadaan yang sedang membawanya saat ini. Ia mencoba mencerna apa yang terjadi sore itu.

"Aku tahu bahwa tidak mudah memaafkan seseorang meski ada pepatah yang mengatakan 'Tuhan saja memaafkan, mengapa hambanya tidak' karena aku tahu bahwa hati manusia sangat rapuh." ucap Dohyeon, "Jangan memaksakan diri untuk memaafkanku atau Seungyeon saat ini." lanjutnya.

Jeongyeon yang masih menangis hanya bisa terdiam tanpa mengatakan apapun pada kakaknya itu. "Mungkin saat ini kau masih bisa berbohong mengatakan bahwa dirimu tidak apa-apa, tapi orang-orang yang berada disekelilingmu mungkin menyadari bahwa kau sedang tidak apa-apa. Jangan terlihat kuat karena hanya karena kau tidak ingin orang-orang tidak ingin mengkhawatirkan dirimu." perkataan Dohyeon itu tepat mengenai hati Jeongyeon. Selama ini memang itu yang dilakukan Jeongyeon untuk menutupi bahwa ia sedang tidak baik-baik saja tapi ia tidak ingin semua orang khawatir tentang keadaannya.

"Aku akan pergi.." ucap Dohyeon, namun sebelum itu, ia menyodorkan sebuah kartu nama, "Jika ada apa-apa, kau boleh menghubungiku sesuka hatimu. Tidak perlu risau tentang segalanya. Nikmatilah hidupmu saat ini." Dohyeon tersenyum pada Jeongyeon dan meninggalkan Jeongyeon yang masih mencoba mencerna keadaan sore itu.

Rintik hujan menemani Jeongyeon yang sedang menangis sore itu. Hangatnya sebuah kopi pun turut menemaninya dikala ia butuh sandaran untuk bercerita. Sosok lelaki yang biasanya akan memeluknya sedang tidak berada didekatnya, ia mencoba menguatkan dirinya sendiri. Mengosongkan pikiran dari apa yang baru saja terjadi.

Ia memegang pipinya yang basah,





"Kenapa aku harus menangis..?"



DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang