XOXO

87 8 2
                                    

Tanpa tahu seperti apa cinta pertama itu berkembang, ia akan selalu menjadi sesuatu yang sulit ditebak. Rasa rindu, rasa ingin bertemu, rasa kehilangan, dan rasa yang hanya dirasakan orang itu sendiri. Seperti apa itu cinta pertama? Orang sama sekali tidak bisa menggambarkan seperti apa cinta pertama berkembang dan bersemi.








Jeongyeon terduduk sendiri di ruang tv, ia bukan kesal atau marah seperti sebelumnya. Ia hanya bingung tentang apa yang ia alami akhir-akhir ini. Tanpa ia sadari, banyak orang yang selalu mengelilinginya saat ia membutuhkan mereka. Jeongyeon juga sadar bahwa akhir-akhir ini entah mengapa ia selalu menunggu Changkyun tanpa sadar. Ia tahu betul, saat ia bersama dengan Jimin, ia tidak melakukan hal yang sama. Ia juga tidak pernah bercerita tentang masa lalunya dengan Jimin. Mengapa ia dan Jimin menjadi didalam keadaan sekarang?


**FLASHBACK**


Siang itu Jeongyeon sedang duduk di kantin kampus seperti biasa. Ia tahu bahwa jam kelasnya sudah selesai. Tak ada yang ia cari, tak ada yang ia tunggu. Hanya duduk dalam jenuh memikirkan tugas-tugasnya.

Seorang lelaki menghampirinya. Postur yang ia kenali sejak 2 tahun lalu, postur lelaki yang selalu menemaninya disaat senang atau sedih. "Susu?" lelaki itu menghampiri Jeongyeon sambil memberikan sebotol susu kesukaan Jeongyeon. Jeongyeon tersenyum manis pada lelaki itu. Tidak ada kesan canggung ataupun bahagia. Hanya situasi orang dewasa pada umumnya. "Kelasmu sudah selesai?" tanya Jeongyeon santai. Lelaki itu mengangguk, "Mau kencan sore hari?" lelaki itu menatap Jeongyeon. "Aku tak mau mengganggu jadwal kakak. Aku tahu kakak sibuk. Kencannya lain kali saja." kali ini Jeongyeon menolak ajakkannya.

Lelaki itu menatap Jeongyeon lama sedangkan Jeongyeon sedang asyik membaca buku. Meski ia sadar sedang ditatap, tapi ia tidak merasa terganggu dengan itu. Lelaki itu, Park Jimin, sudah 2 tahun lamanya mereka bersama. Sebagai kekasih? Bukan. Mereka hanya terikat tanpa status apapun. Kencan dalam kamus mereka adalah kencan bukan pada umumnya.

Jeongyeon tahu betul bahwa Jimin menyukainya lebih dari sekedar teman, tapi bagi Jeongyeon, pacaran bukan trend pada dirinya meski teman-temannya banyak yang berkencan. "Sabtu ini ada acara?" tanya Jimin, Jeongyeon menatapnya penasaran. "Apa aku terlihat seperti perempuan banyak acara pada hari Sabtu?" Jimin terkekeh mendengar jawaban Jeongyeon. Ya, gadis didepannya ini hanya tahu bagaimana mengurus Ryujin. "Bagaimana kalau Sabtu ini kita jalan-jalan bersama Ryujin? Ide bagus bukan?" Jeongyeon hanya menatap Jimin tanpa memberi jawaban apapun.

Jimin hanya bisa tersenyum pada gadis yang ia kenal tepat 2 tahun lalu. Kalau bukan karena teman-teman mereka, mereka tidak akan saling bertemu. Apalagi Jeongyeon terkenal sangat tertutup pada orang lain. "Kau tahu apa yang paling aku benci dari dirimu yang sombong itu?" tiba-tiba Jeongyeon bertanya pada Jimin yang sedang memperhatikannya. "Apa?" tanya Jimin penasaran. "Sikapmu itu. Seakan aku hanya milikmu seorang. Kau bukan kekasihku atau keluargaku." ucap Jeongyeon. Jimin tertawa mendengar itu dari Jeongyeon. Ya, memang benar, guyonan seperti ini sudah didengarnya ribuan kali dari mulut Jeongyeon. Love-hate relationship?

Akhirnya mereka berdua meninggalkan kampus dan berjalan berdua. Semua mata tertuju pada Jimin dan Jeongyeon. Jimin adalah salah satu anak dari pengusaha ternama, tidak jarang banyak yang ingin dekat dengan Jimin. Jeongyeon bukan salah satu diantara orang itu. Kebetulan saja Jeongyeon bertemu dengan Jimin saat ini. Jimin tahu bahwa ia meninginginkan Jeongyeon, tapi tidak dengan sebaliknya.

"Jadi, tawaran untuk hari Sabtu ditolak?" tanya Jimin memastikan. Jeongyeon mengangguk, "Tidak ada alasan untuk aku dan Ryujin keluar rumah kalau bukan urusan mendesak. Aku tidak mau Ryujin keluar rumah." ucap Jeongyeon. Jimin menatap Jeongyeon, Jeongyeon menatapnya juga dan menggeleng menandakan bahwa keputusan itu tidak dapat diubah sama sekali. Sifat Jeongyeon memang keras kepala. Jika ia sudah berkata A, maka itu harus A. "Lagi pula, aku tidak ingin keluar rumah. Janjian sama teman-temanmu saja sana. Temanmu banyak, bukan hanya aku." lanjut Jeongyeon dengan berjalan mendahului Jimin.

Jimin hanya tersenyum melihat Jeongyeon. Ia teringat tentang saat pertama kali melihat Jeongyeon, gadis itu sedang menggendong seorang anak kecil. Orang yang melihat pasti akan mengira bahwa itu adalah anaknya. Gadis kecil berkulit putih dan senyumnya manis. Itulah kali pertama Jimin dan Jeongyeon bertemu, untung saja teman-teman mereka mengetahui kenyataan bahwa Jeongyeon memang melindungi keponakannya.

"Aku akan membelikan boneka Ryujin."

Itulah kali terakhir Jimin mengutarakan keinginannya sampai akhirnya mereka harus berpisah karena ada sesuatu yang akhirnya membuat mereka berpisah.


**FLASHBACK END**


Jeongyeon memang masih berpikir kenapa itu berakhir begitu saja. Entah apa alasannya, Jeongyeon tidak pernah bertanya pada Jimin sama sekali. Yang ia pikirkan hari itu hanya bagaimana ia menjalani hidupnya hari ini saja. Ia bernostalgia hanya untuk mengenang yang pernah ada, bukan berarti ia ingin kembali kepada masa lalu atau sebagainya. Ini hanya bagaimana caranya ia bertahan.

Nayeon duduk disamping Jeongyeon sambil memperhatikan Jeongyeon, "Kenapa?" tanya Jeongyeon yang penasaran kenapa dirinya diperhatikan. "Aku hanya bingung, kenapa kau terus tertutup terhadap orang lain? Itu kan tidak merugikanmu untuk berbagi. Bisa sedikit mengurangi beban juga." ucapan Nayeon memang benar. Jeongyeon memikirkan ini juga tapi banyak hal juga yang harus ia pertimbangkan soal ini. "Ada satu dan lain halnya. Ini sulit untuk aku katakan, tapi aku memang tertutup. Bahkan ketika aku sudah mulai mencintai seseorang, orang itu tidak bisa menjamin kalau aku mau menceritakan banyak hal padanya." Nayeon hanya memandang iba pada Jeongyeon. "Hentikan tatapan itu!" ucap Jeongyeon yang menyadari tatapan Nayeon.

Ketika Jeongyeon mengatakan bisa mencintai seseorang, Nayeon tersadar. "Tunggu, maksudnya.. KAU SUKA CHANGKYUN? IYA KAN?" tanya Nayeon histeris. Jeongyeon hanya menaikkan kedua pundaknya menandakan tidak ada jawaban pasti. Memang benar bahwa tidak ada yang pasti pada diri Jeongyeon, bahkan ketika ia tahu tentang perasaannya sendiri tetapi ia hanya bisa mengelak.

"Aku harus menutup kisah ini segera dan membuka kisah baru. Yang lebih bahagia."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 30, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

DreamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang