BAB 21

240 73 19
                                    

Dua bulan udah berlalu. Dua hari lagi adalah hari di mana pementasan drama musikal di pensi SMA Harapan akan diadakan. Selama itu pula, aku dan seluruh anggota Harapan Musical yang terlibat mempersiapkan diri untuk pensi sebaik-baiknya.

Selama itu juga, hubungan kita berjalan, Nin. Hubungan aku dengan kamu adalah hubungan asmara yang pertama kali aku jalanin.

Sama kamu, tuh, rasanya selalu bisa bikin aku bahagia. Selalu bisa bikin aku ketawa sama tingkah lucu dan lugu kamu. Kamu selalu bilang kalau kamu takut jadi beban buat aku karena kondisi yang lagi kamu alamin.

Padahal, kamu sama sekali bukan beban. Apa pun yang terjadi sama diri kamu dan pada akhirnya bikin kamu trauma juga adalah sesuatu yang ada di luar kendali kamu.

Hubungan ini sama sekali bukan beban buat aku. Aku justru ngerasa beruntung karena semesta mempertemukan kita.

Hari ini aku juga masih harus persiapin diri buat drama musikal di pensi. Waktu bel pulang sekolah berbunyi, aku ambil ponsel dan segera chat kamu.

Dimas Prayuda: Selamat sore, Ibu Penulis. Mau laporan, hari ini aku harus latihan buat drama pensi lagi, ya?

Anindya Ramadhita: Laporan, laporan! Emangnya kamu pikir aku satpam?

Dimas Prayuda: Hahaha iya juga. Nanti kamu alih profesi dari Ibu Penulis jadi Ibu Satpam.

Anindya Ramadhita: Ahaha, garing deh.

Dimas Prayuda: Katanya garing, tapi kamu ketawa.

Anindya Ramadhita: Itu cuma ketawa apresiasi aja, biar kamu seneng.

Dimas Prayuda: Iya, deh, Ibu Penulis yang paling baik hati. Kamu mau nonton latihan dramanya nggak?

Anindya Ramadhita: Nggak usah, deh. Aku minta jemput sama Bang Geri aja. Sekalian, aku mau nulis BAB ceritaku yang belum selesai kemarin. Kamu semangat, ya, latihan dramanya! Inget, jangan lupa pake hati! Good luck. Kamu pasti bisa!

Dimas Prayuda: Bisa apa?

Anindya Ramadhita: Ya, bisa meranin karakternyalah Dimaaass!

Dimas Prayuda: Siap laksanakan, Ibu Penulis. Semangat, ya, nulis ceritanya!

Setelah itu, aku latihan drama. Di sana ada Jean dan yang lain juga. Selain mereka, ada juga Pak Angga, pembina ekstrakurikuler Harapan Musical.

Peran yang harus aku mainkan di pentas drama ini adalah seorang remaja bernama Raja. Menurutku, cukup menantang untuk memerankan tokoh Raja karena mungkin kamu juga tahu kalau ada banyak perbedaan antara karakter Raja dan karakterku yang sesungguhnya.

Raja itu sosok yang urakan, nekat kalau melakukan sesuatu, salah pergaulan. Tapi, di satu sisi Raja adalah sosok yang sangat menyenangkan. Dia mampu membuat Putri, tokoh utama di cerita ini yang diperankan oleh Jean, untuk ke luar dari zona nyamannya dan melihat bagaimana dunia yang sesungguhnya.

Putri terlalu dikekang dan dituntut sempurna oleh orang tuanya. Pertemuannya dengan Raja membuat hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat.

Kalau ditanya apakah peran ini sangat sulit atau tidak. Ya, aku rasa memang sulit. Tapi, kamu kan pernah bilang kalau ketika bermain peran, sang aktor harus mampu seolah-olah menjadi orang lain dan membuat penonton merasakan itu. Oke, itu saran yang sangat bagus, Ibu Penulis. Aku coba saran dari kamu.

Aku dan yang lainnya pun kembali berlatih. Hingga akhirnya, di ujung latihan, Pak Angga menepuk pundakku sambil tersenyum. "Dimas! Perkembangan yang bagus! Akting kamu berkembang dengan sangat bagus. Waktu lihat kamu latihan dan berperan sebagai Raja. Saya bukan lagi melihat sosok Dimas di sana, tetapi saya melihat Raja."

Aku tersenyum senang, lalu menganggukkan kepalaku. "Terima kasih, Pak."

"Saya yakin, suatu saat nanti, kamu akan menjadi aktor yang sangat hebat. Semoga, pertunjukkannya maksimal, ya. Saya bangga sama kamu."

Waktu denger apa yang dibilang sama Pak Angga, rasa capek karena latihan sampai malam langsung terbayarkan. Bukannya haus validasi dari orang lain tentang apa yang sedang aku lakukan. Kamu tahu, Nin, aku emang bener-bener suka sama dunia seni peran dari dulu. Tapi, aku ngerasa seneng aja karena ternyata kemampuan aktingku meningkat.

Aku tersenyum, lalu berjalan ke luar dari ruang latihan dan duduk di salah satu kursi yang ada di koridor sekolah. Aku mengambil ponsel dan hendak menelepon kamu.

"Halo? Dengan siapa di mana?" Suaramu terdengar dari seberang sana. Suara hangat yang selalu bisa meneduhkan hatiku.

Aku tertawa saat mendengarnya. "Halo? Dengan Ibu Anindya Ramadhita, ya? Penulis terkenal itu?"

"Hmm ... kayaknya Bapak salah sambung, deh."

Aku tertawa lagi. "Enggak, kok. Enggak salah sambung."

"Kamu udah pulang?" tanyamu penasaran.

"Belum."

"Masih latihan, ya? Udah malem, tahu. Emangnya kalian enggak diusir satpam sekolah?"

"Udah selesai, kok, latihannya. Sebentar lagi kayaknya aku mau pulang. Tapi, aku mau telepon kamu dulu."

Kamu terdengar tertawa. "Kenapa gitu?"

"Mau bilang makasih banyak, sih, sebenernya."

"Makasih buat apa?"

"Ya, makasih. Ternyata, saran dari Ibu Penulis ampuh. Tadi, Pak Angga bilang kalau kemampuan akting aku meningkat. Pasti karena saran-saran dari kamu juga."

Setelah aku mengatakan itu, kamu justru ketawa. "Dimas, dengerin, ya. Dengerin aku baik-baik."

"Kalo aku nggak mau dengerin kamu gimana?" tanyaku meledek.

"Ih, pokoknya kamu harus dengerin aku dulu!"

"Iya, iya, emangnya Ibu Penulis mau bilang apa?"

"Kalo kamu bilang, kemampuan kamu bertambah gara-gara aku. Ya enggak gitu juga, Dimas! Itu semua karena kerja keras kamu sendiri! Karena kamu nggak pantang nyerah. Bukan gara-gara aku."

Walaupun kamu suka minder sama mimpi-mimpi kamu sendiri. Aku nggak tahu kenapa kamu bisa jadi orang nomor satu yang dukung semua cita-cita aku. Kamu berdiri di samping aku untuk berjuang dan ngelaluin banyak hal, sekalipun itu adalah hal yang berat sekalipun.

"Semangat, ya. Nanti aku pasti nonton pensinya. Kamu jangan capek-capek. Walaupun pasti capek, sih. Selain tampil drama, besok kamu tampil sama Harmoni Band juga, ya?"

Aku mengangguk sambil senyum tipis. "Iya. Gimana tulisan kamu? Aku udah boleh baca belum?"

"Kenapa jadi bahas aku? Nggak boleh, ah! Nanti aja kalo udah terbit jadi buku. Mending, sekarang kamu pulang! Aku mau makan dulu! Dah!" ucapmu, lalu mematikan panggilan di ponsel.

Aku senyum lagi. Aku bener-bener ngerasa beruntung karena dipertemukan sama kamu, Nin. Entah pada akhirnya kisah kita semenyakitkan apa, tapi aku nggak pernah menyesali pertemuanku dengan gadis polos dan lucu bernama Anindya Ramadhita itu.

Dari Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang