BAB 45

303 79 9
                                    

Ya, kita memang sudah selesai. Namun, sampai kapanpun, kisah tentang kita akan selalu menjadi kisah paling membekas untukku.

***

Matamu menerawang, kamu memainkan ujung-ujung jari tanganmu sendiri, tak berapa lama lalu menggigit bibir bawahmu. Kamu tampak sangat gugup.

Di depanku, kamu terlihat memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam, lalu menganggukkan kepala. "Iya, cerita itu tentang kita. Anna dan Dhirga itu kita. Aku minta maaf, harusnya aku izin dulu sama kamu. Apalagi, cerita kita sampai dijadiin sesuatu yang komersial. Harusnya, ada pembagian tentang royalti juga di antara kita. Aku minta maaf, ya?"

Aku menggeleng. "Gue sama sekali nggak marah, Nin. Apalagi masalah royalti, masalah komersial, gue nggak peduli sama sekali tentang itu. Lo yang berjuang buat semuanya, lo yang berhak buat itu semua. Kenapa akhirnya lo nulis tentang kita, Nin? Kisah yang akhirnya dicintai sama banyak orang."

"Karena masih ada banyak hal yang mau aku sampein ke kamu. Masih ada banyak hal yang belum selesai, Dimas. Tapi, aku bingung harus gimana bilangnya ke kamu. Karena saat itu, dunia kamu juga lagi nggak baik-baik aja."

Matamu terlihat berkaca-kaca, air mata yang di pelupuk mata seolah ingin keluar dari persembunyiannya dan mencelos ke luar. "Beberapa saat setelah putus, aku baru baca surat yang kamu kasih ke aku waktu aku ulang tahun. Aku telat, Dimas. Aku baru tahu semua yang kamu rasain saat aku baca surat itu. Walaupun saat itu kamu juga salah, tapi rasanya nggak adil aja kalau aku putusin kamu gitu aja. Apalagi, setelah itu dunia kamu nggak baik-baik aja. Aku pergi, di saat kamu nggak baik-baik aja."

"Aku cuma mau kamu tahu, kalau aku nggak pernah benci sama kamu," jelasmu, dengan terus menahan air matamu yang mungkin sebentar lagi akan mengalir.

"Bahkan, saat kita putus pun, aku masih sayang sama kamu, Dimas. Aku mau ada di sisi kamu waktu kamu terpuruk, tapi aku tahu kalau itu cuma akan bikin suasananya makin keruh," ungkapmu. Napasmu terdengar terengah-engah, tidak teratur. Beberapa saat setelahnya, kamu terlihat menyeimbangkan napasmu.

Kamu tidak berubah, tetap saja suka menyalahkan dirimu sendiri. Padahal, itu sama sekali bukan salahmu.

"Itu bukan salah lo, Anin. Bukan salah lo."

"Aku cuma nyesel aja, kenapa saat itu kita harus berakhir. Aku kehilangan kamu."

Pada saat itu, akhirnya air mata yang sedari tadi kamu tahan, mengalir keluar membasahi pipimu. Kamu menggenggam erat kedua tanganmu sendiri, seolah menahan apa yang kamu tahan dan rasakan di dalam dada.

Aku juga kehilanganmu, Nin. Kebodohanku membuatku kehilanganmu.

"Seenggaknya, dengan aku nulis itu dan pada akhirnya aku bisa baca ulang tulisan tentang aku dan kamu, itu bisa ngobatin rasa kehilangan aku, Dim. Aku nggak tahu gimana harus aku bilang sama kamu, Dim. Tapi, pada akhirnya ternyata semesta punya caranya sendiri. Aku nggak nyangka kalau pada akhirnya kamu yang akan meranin Dhirga. Aku juga nggak nyangka kamu pada akhirnya akan baca buku itu."

Kamu benar-benar tidak karuan malam itu. Meski ragu, jemariku perlahan mengelus punggung tanganmu. Aku tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin kau tahu kalau semuanya bukan salahmu. "Nggak papa, kok. Gue juga salah. Gue udah baca bukunya sampai akhir, Nin. Gue nggak tahu kalau ternyata gue bikin lo sesakit itu, seterluka itu. Maaf, ya."

"Iya, nggak papa."

"Lo mau ikut gue ke suatu tempat nggak?" tanyaku.

Dari Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang