BAB 25

209 61 15
                                    

Setelah itu, kita ke pusat perbelanjaan yang lokasinya nggak terlalu jauh dari sekolah. Kamu juga pilihin beberapa baju yang cocok buat aku pake casting.

Sampai pada akhirnya, tiba di hari di mana aku harus casting. Hari itu, kamu nemenin aku buat casting ke rumah produksi. Banyak poster series dan film yang sebelumnya sudah terproduksi terpampang dengan jelas. Akhirnya, aku nemuin Om Hadi dan beberapa artis yang juga bergabung dalam manajemen ini. Beberapa kali, aku pernah melihat mereka di televisi atau film layar lebar.

Kamu juga kenalan sama mereka di sana. Om Hadi bilang, mereka juga bakalan casting buat film ini. Aku akan usahain yang terbaik. Karena, jujur aja aku sadar diri kalau aku bener-bener pendatang baru yang pengalamannya nggak sebanyak mereka. Beberapa film mereka sudah ditonton dengan jumlah penonton yang nggak sedikit. Followers di Instagram mereka juga lebih banyak, itu pasti jadi poin tambahan untuk mereka. Tapi, aku yakin dengan kemampuan aku sendiri dan kerja kerasku. Kalau film ini memang rezekiku dan aku ditakdirkan buat berperan di film ini, pasti aku akan lolos.

Aku juga sudah mempersiapkan casting kali ini dengan lebih matang. Aku udah pelajarin lebih dalam dari mulai ekspresi wajah, bermonolog di depan kaca, lalu belajar lebih lanjut tentang ekspresi badan, gimana anggota tubuhku bisa bergerak dan memberikan ekspresi tertentu saat berperan.

Hal simple tetapi penting seperti artikulasi dan tongue twisters juga aku sudah berlatih. Dan, seperti yang Ibu Penulis katakan, kali ini aku akan lebih menggunakan hati.

Kamu senyum ke arahku. "Aku ke sana, ya. Kamu semangat," pamitmu, lalu duduk di salah satu kursi kosong.

Aku membalas senyuman kamu, sambil menganggukkan kepalaku.

Beberapa saat kemudian, aku masuk ke dalam ruangan casting, di sana ada sutradara, casting director, dan beberapa orang yang wajahnya belum pernah kulihat sebelumnya. Ini emang bukan casting pertamaku, tapi ini casting pertama di mana aku sudah menjadi talent di manajemennya Om Hadi.

"Dimas Prayuda, ya?"

Aku menganggukkan kepalaku. "Iya, Bang."

"Sejak kapan lo mulai akting?"

"Kalo buat kepentingan komersial, belum pernah, Bang. Tapi, saya sudah penasaran sama dunia akting dari kecil. Terjun di dunia akting udah sekitar tiga tahunan karena saya juga anggota teather di sekolah."

"Oh, ya? Peran apa aja yang udah lo mainin?"

"Lumayan banyak, sih, kalo untuk kepentingan drama sekolah. Mulai dari peran pangeran kerajaan, pahlawan daerah atau nasional, dan peran yang terakhir saya peranin itu peran jadi anak sekolah, namanya Raja."

"Terus, karakternya Raja gimana?"

"Raja itu sosok yang sebenernya peduli sama lingkungan sekitarnya, tapi dia berandalan dan nakal. Terus, dia ketemu sama sosok Putri, seorang gadis baik, yang hidupnya dikekang sama orang tuanya. Tapi, Raja bisa kasih warna buat hidup Putri."

"Sounds good. Terus, seandainya lo bisa jadi aktor yang bisa milih peran yang lo mau, peran apa yang mau lo mainkan?"

"Saya mau meranin peran yang beda sama diri saya. Saya mau coba hal baru dan coba ngerasain gimana rasanya berperan jadi orang lain."

"Terus, biasanya lo gimana kalau mendalami peran yang lo dapet?"

"Biasanya, sih, saya bakalan baca dulu skenarionya. Pahamin gimana karakter dari perannya, entah itu dari fisik, sosial, dan psikologisnya dia. Kadang-kadang, saya juga nanya ke penulis naskahnya mengenai perspektifnya tentang karakter tokoh yang dia tulis. Setelah itu, saya membiarkan diri saya beberapa hari untuk berkelakuan seperti tokoh yang mau saya perankan di saat-saat tertentu, beberapa hari sebelum pertunjukkan dimulai."

"Oh, iya, saya juga belakangan ini dapat saran dari seseorang dan menurut saya ini saran yang bagus. Katanya, kita harus selalu menggunakan hati saat berperan, juga harus benar-benar memosisikan diri kita sebagai tokoh itu, biar tokohnya terasa nyata untuk penonton."

"Oke, menurut lo, gimana tentang karakter tokoh yang tegas, cukup galak, cuek sama lingkungannya. Bakalan bermanfaat nggak buat jalannya cerita?"

"Menurut saya, tergantung gimana cerita itu berjalan dan pembangunan pada karakter tokoh itu sendiri, Bang. Kalau karakternya dibangun dengan baik, pasti tokoh itu juga bisa jadi sesuatu yang menarik di dalam cerita itu."

Setelah itu, aku memerankan beberapa peran sesuai instruksi mereka.

Sampai beberapa saat kemudian, aku ke luar dari ruangan casting, menghampiri Om Hadi, lalu menghampirimu.

"Gimana?" tanyamu.

Aku tersenyum. "Aman, aku ngerasa diriku lebih baik dibanding casting-casting sebelumnya."

Kamu justru tertawa meledekku. "Iya, dong. Aku yakin. Kamu, kan, calon aktor professional."

Ah, kamu membalasnya. Itu pasti karena aku sering panggil kamu Ibu Penulis dan meledeknya. Tapi, katanya ucapan baik adalah doa yang bisa saja menjadi nyata. Jika iya, saat itu aku mengharapkan itu menjadi kenyataan.

Dan, benar saja, beberapa hari setelah casting itu berlangsung, aku dapat pesan kalau aku keterima jadi ensemble cast di film ini. Aku inget banget, waktu itu kita lagi ada di pantai. Sontak, aku langsung memelukmu. "Nin, we did it!"

Kamu juga senyum bahagia.

Karena impianku yang semula kukira hanya mimpi. Impianku yang tadinya kupikir jauh untuk diraih, kini menjadi nyata.

Ini juga terjadi, tidak luput karena bantuanmu.

Ini memang momen membahagiakan. Tapi, ini salah satu momen yang pada akhirnya membuat hubungan kita berubah.

Dari Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang