BAB 2

1.2K 186 81
                                    

Hai, kalau boleh, jangan lupa vote, komentar sebanyak-banyaknya, dan share cerita ini ke teman-teman kalian, ya! Biar makin banyak yang tahu ceritanya Anin dan Dimas ❤️

Gue yakin, kok, kalau gagal sekali itu belum tentu akan gagal selamanya.

***

Dua hari berlalu. Selama itu, aku disibukkan dengan latihan bareng Harmoni Band buat tampil di demo ekstrakurikuler untuk siswa baru. Acaranya besok. Seperti yang kamu tahu. Selama ini, aku aktif ikut band dan beberapa kali tampil jadi aktor drama musikal yang dibikin sama Harapan Musical.

Aku emang nggak lahir dari keluarga musisi, juga nggak lahir dari keluarga yang terjun di dunia seni peran. Tapi, kamu tahu gimana sukanya aku sama dua bidang itu. Menurutku, ketika aku bermusik atau berperan sebagai aktor, aku ngerasa bisa mengeksplorasi lebih banyak hal dari diri aku.

Waktu SMA, aku punya cita-cita terbesar di dalam hidupku. Aku pengin banget jadi aktor. Jadi aktor yang filmnya bisa ditayangin dan ditonton di layar lebar. Dan, sekarang aku berhasil mewujudkannya, Nin. Tapi, dari semua film layar lebar yang aku perankan, Dirga akan selalu jadi tokoh kesukaanku, Nin.

Waktu itu, aku udah sering banget ikutan beberapa casting yang diadain sama rumah produksi. Tapi, belum ada satu pun yang berhasil. Nggak papa. Aku yakin, kok, kalau gagal sekali itu belum tentu akan gagal selamanya. Gagal adalah awal dari sebuah keberhasilan. Asalkan, kita pantang menyerah, mau terus berusaha dan berdoa, dan ngelakuin apa yang terbaik dari diri kita.

Aku juga yakin kalau aktor-aktor yang sekarang udah berhasil. Dulunya, mereka juga punya cerita dan tantangannya masing-masing untuk bisa jadi kayak sekarang.

Cuma, kadang, kan, kita suka iri sama orang lain. Suka banding-bandingin diri kita sama orang lain. Padahal, menurutku banding-bandingin diri kita sama orang lain cuma akan nyakitin diri kita sendiri. Kehidupan orang lain yang kita lihat indah, bahagia, sempurna tanpa celah, belum tentu aslinya akan seindah yang kelihatannya. Karena, kebanyakan orang, kan, cuma nunjukkin yang indah-indah aja di dalam hidupnya. Kita nggak tahu masalah yang dia hadapin sebenernya kayak gimana. Kita nggak tahu gimana susahnya dia untuk menuju sukses.

Oh, iya, dulu bokap pernah kasih nasihat tentang berkarya. Katanya, kita harus berkarya dengan hati. Ketika berkarya, kita harus mencintai dan menyukai apa yang sedang kita kerjakan.

Ketulusan adalah hal utama yang harus dimiliki. Karena kalau kita berkarya dan cuma ngarepin popularitas aja, yang ada kita malah capek dan stress sendiri. Popularitas suatu saat bisa hilang, tapi enggak dengan cinta dan ketulusan kita dalam berkarya.

Bel pulang sekolah udah berbunyi. Tapi, sekarang malah gerimis. Aroma petrikor udah mulai kecium. Ya, aroma alami saat hujan jatuh di tanah yang kering. Aroma yang nggak tahu kenapa rasanya menenangkan aja.

Gerimis yang semula kecil, lama-lama berubah jadi hujan deras yang mengguyur SMA Harapan. Beberapa siswa dan siswi baru, yang masih pakai seragam SMP, semula berada di tengah lapangan sekarang milih buat minggir karena hujan yang makin deres. Aku cepet-cepet jalan menuju ruang musik buat tetep latihan. Karena si Galih, vokalis Harmoni Band udah ngechat.

Galih: Woi, buru ke ruang musik!

Galih, si paling disiplin di Harmoni Band. Menurut dia, lebih baik nunggu satu jam daripada telat satu menit. Dia juga paling perfeksionis di sini. Ya, walaupun kadang-kadang dia rese banget, tapi seenggaknya dia yang bikin aku dan anak-anak yang lain lebih disiplin.

Aku tadinya mau masuk ke ruang musik. Tapi, langkahku terhenti waktu aku ngelihat kamu.

Kamu lagi jalan berdua sama temen kamu. Ya, itu Fiona. Tapi, tiba-tiba langkah kamu terhenti waktu kamu ngelihat kucing yang kakinya luka. Kucing itu nggak bisa jalan, sedangkan di luar hujan dan kucing itu kelihatan kedinginan.

Kamu jongkok, terus gendong kucing itu biar nggak kehujanan lagi. "Aduh, kucing. Kaki kamu sakit, ya? Kasihan, kamu kehujanan dan pasti kedinginan."

Aku senyum tipis waktu kamu ngelus bulu kucing itu penuh dengan kasih sayang.

"Kamu pasti laper juga, kan? Tapi, maaf, ya, aku lagi nggak punya makanan. Aku, tuh, bingung, deh. Kenapa, sih, kamu nggak suka air? Nggak suka hujan? Padahal, ya, kucing. Jadi kamu, tuh, enak. Bisa bebas hujan-hujanan tanpa takut buat dimarahin. Bisa bebas hujan-hujanan tanpa takut dianggep anak kecil."

"Tahu nggak? Aku sebenernya suka main hujan-hujanan. Tapi, ya, gitu. Pasti dibilang anak kecil sama Bang Geri. Atau dimarahin sama Mama karena nanti aku pasti sakit. Padahal, hujan-hujanan itu, kan, seru. Menurut aku, hujan kayak bisa ngerti perasaan kita. Kita jadi ngerasa nggak sendirian lagi. Kita juga bisa nangis bareng sama hujan. Jadinya, orang-orang nggak akan tahu, deh, kalau kita lagi nangis."

Nggak lama kemudian, kamu malah berubah jadi murung. Kamu tersenyum miris. Mata kamu berkaca-kaca. "Karena jadi manusia nggak selalu bahagia. Ada banyak hal yang bikin sedih dan kecewa. Apalagi, ketika kita harus kehilangan orang yang paling kita sayang. Ketika kita harus kehilangan sesuatu yang tadinya bikin kita bahagia banget. Saat kita dihantui dan dibayangi sama banyak bayangan-bayangan buruk. Ada banyak hal yang bikin nangis, marah, kecewa. Ya, tapi, Tuhan udah ciptain manusia sebagai makhluknya yang paling sempurna."

Kamu tersenyum miris, mengalihkan pandangan ke arah hujan yang makin lama justru semakin deras. Kamu lalu kembali menatap kucing dan mengelusnya dengan lembut dan penuh perasaan. "Kamu di sini aja, ya. Jangan hujan-hujanan lagi. Nanti, kamu kedinginan. Kalau aku udah punya obat atau makanan. Nanti, aku ke sini lagi."

Fiona yang udah jalan jauh di depan, nengok lagi ke belakang dan sedikit berdecak kesal. "Ya, ampun! Anindya Ramadhita, lo ngapain, sih? Ayo cepetan! Nanti dicariin senior malah jadi masalah tahu!"

"Iya, Fi, bentar kenapa, sih! Kasihan tahu kucingnya!"

Kamu terus ngelihat kucing itu sambil senyum. "Aku mau samperin Fiona dulu, ya. Habisnya, dia kayak nenek lampir, mana suka marah-marah lagi. Untung dia temen aku. Dadah!"

Setelah itu, kamu jalan nyamperin Fiona. Aku tersenyum dan ngelihat kamu dari belakang. Menurutku, selain tulus, baik hati, dan peduli sama apa yang ada di sekitarnya. Kamu juga lucu banget, kamu ngajak ngomong kucing yang kamu selamatin. Tapi, agak sedih juga di bagian yang kamu curhat sama kucing. Kamu, kayak mendem sesuatu yang dalam dan menyakitkan di dalam diri kamu sendiri.

Tapi, karena kejadian tadi, aku jadi tahu siapa nama kamu.

Anindya Ramadhita.

Lamunanku terhenti waktu si Galih dateng dan gebrak pintu ruang musik. "Woi, bengong aja lo! Kita tungguin dari tadi, malah bengong depan pintu."

"Tahu lo! Hati-hati sawan!" sahut Fahri, gitaris Harapan Musical. "Malah ngelihatin hujan. Mau nulis novel lo?" lanjut Fahri.

Aku cuma ketawa, terus masuk ke dalem. "Sotoy banget lo!"

Aku noleh lagi ke arah jendela, ngelihat kamu berjalan menjauh.

TBC

Author Note:
Dari sini kita tahu, kalau ternyata Dimas udah merhatiin Anin sebelum Anin tahu Dimas dan mereka kenalan. Gimana menurut kalian chapter ini? Apa satu kata buat Dimas? Thanks for reading ❤️

Alya Ranti

Dari Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang