BAB 17

202 65 16
                                    

Bukannya menjawab, tapi kamu justru balik nanya gimana sebenernya perasaan aku ke kamu. Dan, ya, emang harusnya aku lebih awal bilang tentang ini ke kamu biar nggak ada salah paham lagi di antara kita.

"Oke, gue takut buat kehilangan lo, Nin. Karena gue ngerasa bener-bener nyaman dan bahagia ketika gue lagi sama lo. Gue ngerasa bisa jadi apa adanya gue. Dan, selalu ada alasan buat gue ketawa setiap kali gue sama lo."

Kamu justru anggap aku lagi bercanda. Padahal, aku sama sekali nggak bercanda sama apa yang aku ucapin.

"Kak Dimas yakin? Kebapa Kak Dimas nggak anggep aku cewek aneh dan suka ngerepotin? Suka marah-marah sama Kak Dimas kalau aku lagi ngerasa nggak baik-baik aja."

Enggak, kamu sama sekali nggak aneh. Justru, kamu adalah gadis paling istimewa yang pernah aku temui.

"Anin, sekali lagi ngomong kayak gitu. Gue jitak beneran, nih!"

Kamu tertawa. Tak lama kemudian, kamu menceritakan dan memberi tahu bagaimana perasaan kamu ke aku.

Kamu bilang kalau perkenalan kita karena sumpah Fiona yang kesal karena kamu nggak mau mulai hubungan sama cowok. Seterusnya, kamu bilang kalau baru sama aku, kamu berani untuk ngobrol sama orang baru. Katamu, semakin kenal sama aku, kamu makin kagum sama pemikiranku. Kamu ngerasa ada sosok yang ngertiin kamu dan percaya sama mimpi-mimpi kamu.

Nin, aku percaya sama mimpi kamu karena aku bisa lihat potensi itu ada di dalam diri kamu.

Aku lihat kamu sambil tersenyum. Sudah kubilang, mendengar kamu bercerita seperti mendengarkan pendongeng paling andal di dunia karena aku tidak pernah bosan mendengarnya.

"Kak, berhenti ngelihat aku kayak gitu atau Kakak yang aku getok!"

Aku ketawa dan mempersilakan kamu buat lanjutin cerita. Kamu bilang, semenjak aku satu projek sama Jean, ada perasaan membingungkan yang kamu rasain. Perasaan yang nggak pernah kamu rasain sebelumnya.

"Aku bingung apa perasaan ini bisa dibilang cemburu atau enggak. Lagian, sebenernya aku nggak punya hak untuk itu."

Aku tersenyum mendengar penjelasan kamu. "Makasih, ya, Nin, udah jujur."

Aku lega karena udah jelasin apa yang aku rasain dan tahu apa yang kamu rasain ke aku. Aku meminum segelas kopi susu yang ada di hadapanku. Kamu juga minum air mineral kesukaan kamu.

Nggak lama setelah itu, aku kembali letakin gelas kopi itu. "Eh, iya, Nin."

"Kenapa?"

"Terus, sekarang lo maunya gimana? Ya, sebenernya kita ini apa?"

"Kak, aku beneran nggak ngerti tujuan Kak Dimas ngomong ini, tuh, apa."

"Lo mau kita pacaran?" tanyaku, to the point. Pipi kamu kelihatan bener-bener memerah.

Dari Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang