BAB 46

332 87 33
                                    

Cara paling dewasa untuk berdamai dengan masa lalu adalah memaafkan dan mengikhlaskannya.

***

Setelah banyak mengobrol denganmu di pantai, akhirnya aku mengantarmu pulang ke rumahmu. Ketika sampai di depan rumahmu, aku menatap rumah berdesain minimalis yang sudah lama sekali tidak aku kunjungi. Kamu melepas sabuk pengaman sebelum menatapku dengan tatapan yang begitu dalam. Entah mengapa, aku seperti melihat sorot yang pedih dari matamu. Kesalahpahaman kita selama ini memang menyakitkan. Tidak hanya untukku, tetapi juga untukmu.

"Makasih, ya, udah anterin aku. Makasih juga traktiran makan malamnya," katamu berterima kasih.

"Sama-sama. Salam buat Mama, ya, buat Bang Geri juga."

"Iya, salam juga, ya, buat Nada."

Aku mengangguk. "Iya. Salam juga dari Nada."

Kamu tersenyum, lalu turun dari mobil. Setelah beberapa saat, aku mengklakson mobilku, memberi isyarat bahwa aku juga akan pulang.

Aku bingung dengan perasaanku sendiri. Seharusnya, setelah mengatakan yang sebenarnya kepadamu, aku akan merasa tenang dan lega. Namun, sekarang di satu sisi perasaanku tidak karuan. Mungkin, aku hanya terbawa emosi masa lalu.

Karena bagaimanapun juga, kamu adalah Anindya Ramadhita, sosok gadis pertama yang berhasil membuatku jatuh cinta. Kamu adalah Anindya Ramadhita, yang cerita dari mulutmu pernah jadi cerita yang selalu kutunggu untuk didengar. Cerita yang selalu menarik untuk didengarkan. Kamu adalah Anindya Ramadhita, sosok yang pernah selalu berhasil membuatku tertawa dan bahagia ketika bersamamu.

Tapi, kita memang tidak bisa selalu hidup di masa lalu. Waktu terus berjalan, kita bertambah dewasa, dan kita harus terus melangkah untuk melanjutkan hidup. Benar yang kamu bilang di buku Aku, Kita, dan Segala Cerita di Dalamnya. Sebagian cerita memang berakhir indah, tapi sebagian berakhir untuk memberi pelajaran.

Dan, dari kisah kita, banyak hal yang bisa dipetik. Banyak hal yang bisa diambil agar hal-hal buruk yang kita alami tidak kita ulangi lagi di masa depan.

Di dalam suatu hubungan, seharusnya kita memang saling terbuka. Komunikasi adalah hal yang paling utama di dalam sebuah hubungan.

Benar apa yang kamu bilang di buku itu, kalau saja saat itu kita saling terbuka, kalau saja saat itu kita tidak egois dan hanya mengedepankan diri kita masing-masing, mungkin kisah kita tidak akan semenyakitkan sekarang.

Ah, aku nggak bisa munafik kalau rasa sakit itu sekarang menggebu di dalam dadaku.

Setelah beberapa saat perjalanan, aku menghentikan mobil di depan rumah. Dengan langkah yang tidak bersemangat, aku turun dari mobil dan hendak memasuki rumah. Namun, tanpa kusangka, ternyata Nada ada di sana.

Dengan senyuman hangat dan sumringah, Nada melambaikan tangannya ke arahku. "Halo, Bapak Dimas Prayuda, aktor papan atas Indonesia. Capek, ya, baru balik reading?" tanyanya sambil tertawa hangat.

Aku tersenyum. "Hai, Nad. Kok ke sini nggak bilang-bilang?"

Nada terkekeh. "Iya, dong! Biar surprise! Kamu sibuk banget, kan, akhir-akhir ini. But, i think we still need quality time. Aku bawain pizza kesukaan kamu! Makan, yuk! Lama tahu nungguin kamu dari tadi."

Nada emang mandiri dan cukup berani anaknya. Jadi, nggak heran banget sebenernya kalau dia suka tiba-tiba dateng dan lakuin hal-hal nggak terduga.

"Emang kamu tahu pizza kesukaan aku?" ledekku.

"Ish, resek! Ya, tahulah! Tahu banget! Pastrami pizza yang selalu dipesen berulang-ulang kali. Sini duduk, nggak pegel kamu?" ajak Nada. Aku duduk di sampingnya, sedangkan dia sibuk membuka kotak pizza dan menuangkan minuman soda ke dalam gelas.

Dari Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang