BAB 44

266 76 9
                                    

Beberapa saat berlalu. Selama itu pula, proses pencarian seluruh pemain untuk film Kita dan Segala Cerita di Dalamnya diadakan. Yang menjadi Anna, yang mana lawan mainku di dalam film ini adalah Shafira. Dia memang beberapa tahun lebih mudah dariku, tapi aku akui kemampuannya berakting sangat bagus.

Beberapa pemain yang lain juga banyak yang sebelumnya sudah kukenal.

Tapi, ada satu masalah yang belum selesai di kepalaku. Aku ingin memperjelas apa yang belum jelas di antara kita. Aku mencari momen yang pas dan bagaimana aku harus mengungkapkannya. Dan, aku rasa sekarang aku sudah siap.

Hari ini dijadwalkan untuk reading. Setelah beberapa jam, akhirnya reading hari ini pun selesai. Kamu terlihat sedang bersiap untuk pulang. Namun, aku menghampirimu.  "Anin!"

Kamu menoleh dan menatapku dengan ramah. "Eh, Dimas. Kenapa?"

"Lo malem ini lagi sibuk banget nggak?" tanyaku, berharap aku bisa berbincang banyak denganmu malam ini. Berharap semoga malam ini kamu tidak sibuk.

Kamu menggeleng. "Enggak, sih. Kenapa?"

"Hm, gue mau ngobrolin lebih jauh tentang karakter Dhirga boleh nggak? Soalnya, kayaknya banyak hal yang harus gue tahu tentang Dhirga dari sisi penulisnya, sih. Biar gue lebih tepat meraninnya. Boleh?" pintaku.

Kamu terdiam, hanya menatapku untuk beberapa saat. Aku berpikir, mungkin saja kamu memang sedang sibuk malam ini, sehingga aku tersenyum tipis. "Nin? Boleh nggak, ya? Kalau nggak boleh, nggak papa, sih. Mungkin bisa lain kali." Aku memastikan.

"Hah? Boleh, kok. Boleh banget, dong. Mau tanya tentang apa?" tanyamu.

"Banyak, sih, sebenernya. Tapi, kayaknya kita ngobrolnya nggak di sini, deh. Bisa ngobrol di luar aja nggak? Di tempat yang lebih nyaman."

"Oke."

Begitu kamu menyutujuinya, aku tersenyum. "Makasih, ya, sebelumnya."

"Kita mau ke mana, ya?"

"Makan malam, mungkin? Lo belum makan, kan?"

Sudah lama. Lama sekali aku tidak mengelilingi Kota Jakarta di malam hari seperti ini bersamamu.

Beberapa saat kemudian, kita sudah sampai di depan sebuah kafe. Matamu terlihat menyapu seluruh sudut kafe ini dengan begitu dalam, tak lama kemudian, kamu berkata. "Aku udah lama banget nggak ke sini."

Aku mengangguk. "Gue masih ke sini beberapa kali, sih, tapi jarang juga. Nggak sesering dulu."

"Iya, dulu aku sering banget ke sini."

"Gue juga. Dulu, kita ke sininya, kan, bareng, Nin," balasku seraya tertawa. Kamu juga tertawa. Ya, dulu kita memang sering sekali bersama ke sini.

"Iya juga, ya."

"Masuk, yuk."

Kamu mengangguk, lalu berjalan memasuki kafe. Kita memesan beberapa makanan dan minuman, lalu aku memilih tempat di rooftop, tempat di mana dulu kita sering sekali mengobrol.

Kamu tampak tersenyum menatap bintang-bintang yang ada di langit.

"Kenapa, Nin?"

"Eh? Enggak. Aku cuma lihatin Bintang aja."

"Iya, sih, Bintangnya lagi terang banget malam ini."

"Aku, tuh, suka kagum sama Bintang. Walaupun jauh, tapi dia tetep bisa nerangin Bumi kalau malam. Terus, dia punya sinar yang terang, tapi sinarnya bukan buat dia aja, dia ngasih terang sinarnya ke Bumi dan nemenin banyak manusia di malam hari. Jadinya, yang tadinya ngerasa sendirian, jadi ngerasa punya temen," jelasmu dengan nanar bahagia ketika menatap Bintang.

Dari Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang