BAB 15

256 73 24
                                    

Nggak akan ada orang yang mau dikasih harapan tanpa kepastian yang jelas, kan?

***

Akhirnya, hari itu aku mutusin buat perbaikin hubunganku sama kamu yang cukup merenggang. Sepulang sekolah, tadinya aku mau ajak kamu ngobrol. Tapi, aku lihat kamu ada di gerbang sekolah dan naik ojek online.

Di situ, aku ngerasa kamu lagi nggak baik-baik aja. Makanya, aku ikutin kamu dari belakang. Nggak tahu kamu akan marah atau enggak, tapi aku cuma mau mastiin kalau kamu baik-baik aja.

Jalanan sore itu cukup macet. Motor dan mobil bersahut-sahutan menekan klakson untuk segera kembali ke rumahnya masing-masing, setelah penat beraktivitas seharian. Ya, kadang emang berisik dan gaduh. Tapi, nggak munafik juga kalau setelah capek kerja, pasti orang-orang pada pengin cepet sampe rumah buat istirahat.

Aku coba buat tetep nggak kehilangan jejak kamu. Aku masih ikutin kamu dari belakang. Jujur, aku khawatir banget sama kamu. Takut kamu kenapa-napa di jalan. Takut aja kalau bakalan kejadian sesuatu sama kamu.

Hampir dua puluh menit, aku ikutin kamu dari belakang. Ternyata, kamu mau ke rumah sakit. Aku pun nggak tahu kalau saat itu kamu sakit. Tapi, beberapa saat sebelum sampai, tiba-tiba sebuah mobil nggak sengaja nabrak anak kecil.

Akhirnya anak kecil itu pingsan karena kepalanya mengeluarkan banyak darah. Aku mengalihkan pandanganku ke arah kamu. Di situ, kamu lagi mejamin mata sambil meremas rok kamu kuat-kuat. Kamu kelihatan takut banget di situ.

Motor ojek online yang kamu tumpangi terus melaju, hingga akhirnya kamu sampai di rumah sakit. Kamu bayar sejumlah uang ke ojek online, terus masuk ke dalam.

"Anin kenapa, ya?"

Akhirnya, aku parkirin motorku di parkiran rumah sakit dan terus ikutin kamu dari belakang. Ternyata, kamu duduk di salah satu kursi yang ada di halaman rumah sakit sambil menggenggam tangan kamu sendiri. Keringat dingin bercucuran dari tubuh kamu. Kamu pun nangis di situ.

Aku bener-bener khawatir dan takut terjadi sesuatu sama kamu. Makanya, aku langsung samperin kamu.

"Nin, lo nggak pa-pa?"

"Ini semua emang salah Anin. Maaf. Maaf. Maaf."

Kamu berkali-kali bilang maaf dan nyalahin diri kamu sendiri. Tubuh kamu semakin gemetar.

Aku menggelengkan kepalaku. "Nin, lo nggak salah, kok. Lo nggak salah. Semuanya pasti bakalan baik-baik aja."

Aku coba buat tenangin kamu karena kondisi kamu saat itu bener-bener kelihatan kalut. Tangan kamu semakin gemetar.

"Nin, lo nggak salah."

Tangisan kamu semakin kencang. Sampai akhirnya, kamu cengkram tangan aku kuat-kuat. Kamu nangis sejadi-jadinya waktu itu.

"Aku takut."

"Wajar, tapi lo nggak sendiri, Nin. Gue di sini." Aku mencoba menenangkanmu yang semakin kalut.

Kamu cengkram tangan aku semakin kuat, seolah melampiaskan semua ketakutan kamu di sana. "Aku yang salah. Aku yang salah. Aku yang salah. Maaf, ya, maaf."

Ibu jariku mengelus punggung tanganmu, aku ingin mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Semuanya tidak akan seburuk yang ada di dalam kepalamu.

"Nggak, bukan salah lo."

"Mungkin aku emang salah, tapi jangan pergi," ringismu lagi.

Waktu itu, aku nggak tahu sebenernya apa maksud kamu. Aku nggak tahu hal apa yang nyakitin kamu di masa lalu. Aku nggak tahu apa yang terjadi sama kamu di masa lalu. Sampai akhirnya, kamu harus ngalamin fase-fase berat di dalam hidup kamu.

"Semua hal buruk yang ada di kepala lo nggak akan jadi nyata, Nin. Lo nggak perlu takut, lo nggak sendirian. Lo aman dan akan baik-baik aja. Lo nggak salah dan jangan terus-terusan nyalahin diri lo sendiri."

Kamu akhirnya perlahan ngelepas tanganku dan natap aku dengan mata kamu yang berkaca-kaca. Kondisi kamu saat itu bener-bener bikin aku khawatir, Nin.

Mungkin, aku yang tiba-tiba ngikutin kamu. Padahal, sebelumnya hubungan kita udah merenggang lebih dari dua minggu bikin kamu bingung. Tapi, asal kamu tahu, aku nggak ada sama sekali niat buat mempermainkan kamu.

"Kenapa Kakak bisa ada di sini?" tanyamu sambil memicingkan mata ke arahku. "Kak Dimas ngikutin aku?"

Aku diam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. "Iya, maaf kalau gue nggak sopan."

Karena, gimana pun juga aku tahu kalau yang aku lakuin itu ganggu privasi kamu.

Kamu natap aku dengan tatapan tajam. Aku bisa ngerti kalau kamu marah. Aku bisa ngerti kalau kamu ngerasa bingung. Aku bisa ngerti kalau kamu ngerasa terganggu.

"Sebenernya, Kak Dimas maunya apa, sih?" tanyamu dengan intonasi yang meninggi, seperti setengah berteriak. Matamu menunjukkan seolah kamu marah, kecewa, bingung, kesal karena kehadiranku.

"Maksudnya gimana, Nin?"

"Ya, iya. Kak Dimas maunya apa? Kak Dimas sebenernya maunya gimana? Aku nggak ngerti sama Kak Dimas." Kamu tambah marah.

Belum sempet kujawab lagi, kamu langsung masuk ke dalam rumah sakit. Sedangkan, aku duduk sambil natap langit sore waktu itu.

Emang nggak salah kalau kamu marah. Nggak salah kalau kamu bingung.

Ini salahku, yang sebelumnya kasih kamu harapan tanpa kasih kamu kepastian.

Nggak akan ada orang yang mau dikasih harapan tanpa kepastian yang jelas, kan?

TBC

Author Note:

Waduh, gimana nih pendapat kalian setelah tahu banyak hal dari sudut pandang Dimas? Mau bilang sesuatu ke Dimas nggak? Thanks for reading ❤️

Alya Ranti

Dari Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang