BAB 23

188 62 4
                                    

Bagian ini bakalan jadi bagian yang enggak pernah terlupakan di dalam hidupku. Setelah selesai ngabisin makanan, minuman, dan juga ngobrol di kafe. Kita memutuskan buat pulang. Tapi, kamu minta aku berhenti waktu ngelihat seorang anak kecil yang kelihatan kelaparan di pinggir jalan. Kamu kasih waffle kesukaanmu ke dia.

Itulah kenapa aku bilang kamu istimewa. Kamu selalu bisa mikirin kebahagiaan orang lain. Kamu selalu bisa empati sama rasa kekurangan dan kesusahan yang lagi dirasain sama orang lain. Ibaratnya, kamu selalu bahagia ketika orang lain ikut ngerasain kebahagiaan yang lagi kamu rasain dan kamu enggak pernah keberatan akan hal itu.

Oh, ya, waktu akhirnya kita mau pulang, Fiona chat aku dan bilang kalau handphone kamu ketinggalan. Tapi, mungkin, ya, kalau handphone kamu waktu itu enggak ketinggalan, aku enggak akan jadi aktor kayak sekarang, ya?

Ya, karena sejak saat itu perjalanan karirku sebagai seorang aktor dimulai.

Kita nyamperin Daffa dan Fiona di tukang nasi goreng yang enggak terlalu jauh dari sekolah. Tapi, ternyata mereka nggak cuma berdua. Ada seorang pria paruh baya yang duduk bersama mereka. Ya, itu Om Hadi, omnya Daffa.

"Halo, Om. Kenalin, saya Dimas."

Om Hadi menanyakan tentang pentas drama seni yang aku laluin. Dia bilang aku berhasil memerankan karakter Raja dengan sangat baik. Dia juga bilang, dia enggak nyangka kalau pembawaan asliku kayak gini. Dia bilang hal yang sama kayak yang kamu bilang ke aku. Katanya dia ngelihat aku di atas panggung adalah Raja, bukan Dimas.

"Dimas, kamu berkenan nggak kalau masuk ke manajemen saya? Kemarin juga, denger-denger salah satu PH besar mau bikin film baru tentang anak remaja gitu. Kayaknya, ada peran yang cocok kamu mainkan. Saya nggak bisa jamin kamu akan langsung dapet peran di sana. Kita coba aja casting dulu, siapa tahu memang kamu cocok dan terpilih."

Aku terdiam karena bingung gimana harus mengekspresikan perasaanku saat itu. Yang jelas, aku bersyukur banget karena bisa dapet kesempatan itu.

Walaupun, pada akhirnya aku tahu kalau prosesnya ternyata nggak semudah yang aku harapkan.

"Dimas? Gimana? Kamu mau?"

Aku mengangguk. "Oh, ya. Dengan senang hati, Om."

"Oke, ini kartu nama saya. Kamu bisa segera hubungi saya," ujar Om Hadi, lalu memberikan kartu itu kepadaku.

Habis itu, kita pulang. Di jalan, aku bisa lihat dari kaca spion kalau kamu senyum-senyum sendiri.

"Anin, kamu baik-baik aja, kan?"

Kamu justru ketawa. "Cie, sebentar lagi ada yang bakalan jadi Bapak Aktor."

"Ibu Penulis mau bales aku ceritanya?"

"Enggak. Aku cuma mau ucapin selamat ke calon aktor professional yang akan meramaikan dunia perfilman di Indonesia, Dimas Prayuda. Nanti, kamu pasti bakalan punya banyak fans-fans cewek, deh."

Aku ketawa waktu denger omongan polos kamu. Kamu selalu gitu, polos dan apa adanya.

"Terus, kamu bakalan jadi salah satu fans aku?"

Kamu menatapku heran. "Ih, pede banget kamu! Enggak, ah! Males! Kenapa aku harus ngefans sama kamu?"

Beberapa saat kamu berpikir, lalu berkata, "Tapi, enggak papa juga, deh. Kalau kamu udah jadi aktor, aku pasti bakalan jadi fans kamu yang paling eksklusif, ya? Kamu jangan sombong, ya? Harus selalu rendah hati dan inget masa-masa perjuangan kamu. Nanti, aku boleh minta tanda tangan sama foto sepuasnya, kan?"

"Ibu Penulis mulai nyebelin, ya?"

"Oooh, emangnya kamu bisa kesel sama aku?"

"Bisa, tuh."

"Bohoong! Mana bisa?"

"Bisa, emang kata siapa nggak bisa?"

Kamu mengentukkan jarimu di dagu. "Bisa, sih. Tapi, paling kamu akting. Kamu, kan, calon aktor professional."

"Masa, sih? Kalau suatu saat kamu udah jadi penulis yang keren banget. Terus, salah satu buku kamu bakalan difilmin. Kalau aku casting di film kamu dan kamu dikasih hak buat milih peran utamanya, kamu bakal milih aku nggak?"

Kamu langsung menggelengkan kepalamu. "Enggak, sih."

"Kenapa enggak?"

"Ya, karena kalau nanti aku udah jadi penulis, kamu pasti udah jadi aktor yang hebat. Bayaran kamu pasti udah mahal, job kamu udah banyak, fans kamu udah di mana-mana. Mana mungkin kamu casting ke film aku?"

"Ibu Penulis, belajar jadi rese dari mana, sih?"

"Wajar, dong. Aku bisa akting rese, kan?"

Saat itu, kami tertawa bersama. Kamu nemenin aku, sampai mimpiku selangkah lagi terwujud.

Dari Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang