BAB 35

223 73 28
                                    

Beberapa minggu setelah itu, film Love in My Heart tetap ditayangkan sesuai jadwal. Ternyata, jumlah penonton film ini tetap banyak. Film ini tetap booming karena jalan ceritanya memang bagus. Tapi, tak jarang juga yang menghujat aku dan Tania.

Beberapa bulan selepas film ini, aku mencoba untuk casting di beberapa judul, tetapi seringkali aku gagal. Katanya, mereka tidak mau menanggung risiko akan namaku yang sedang digosipkan dengan hal yang 'buruk' di masyarakat.

Tapi, sekarang aku lagi ada di perjalanan menuju ke salah satu kantor rumah produksi. Katanya, ada peran yang menjanjikan buatku di sana.

Sesampainya aku di sana, aku ketemu sama casting director film itu. Tapi, dia menepuk pundakku sambil tersenyum. "Sori, ya, Dim. Udah ada orang lain yang lebih tepat buat peran itu."

"Peran yang lain nggak ada, ya, Kak?"

"Buat saat ini nggak ada, Dim. Nanti, gue yakin, kok, karir lo bakal membaik lagi."

Jawabannya menunjukkan bahwa tertolaknya aku adalah karena gosip-gosip yang beredar selama ini.

Aku akhirnya pergi ke salah satu kafe yang tidak jauh dari sana. Aku mengambil ponsel dan membuka Instagramku. Ternyata, Fiona membuat sebuah instastory. Aku segera membukanya. Di sana, ada kamu.

"Hai, guys! Tahu nggak, sih, kalau sekarang temen gue bakalan bener-bener jadi calon penulis terkenal? Tahu nggak? Karya barunya dia—" Belum selesai Fiona berbicara, kamu menutup mulutnya dengan tanganmu.

"Fi, ah!"

"Dia malu, guys! Soalnya, dia lagi happy banget sekarang! Bener-bener sebahagia itu! Pokoknya, nanti gue bakalan update tentang karya barunya sahabat gue! Percaya sama gue, Anin bakalan jadi penulis secepatnya!"

Aku menatap wajahmu dalam-dalam. Perlahan, bibirku mengulas senyum. Syukurlah, ternyata kamu bahagia di sana. Ah, Ibu Penulis, aku sudah bilang dari awal kalau suatu saat nanti kamu pasti akan jadi penulis hebat.

Aku bahagia melihat wajah sumringahmu di luar sana, walau kamu tidak berbahagia bersamaku. Aku harap, kamu akan selalu bahagia. Jangan sering nangis lagi, ya, Nin? Walaupun, aku sadar, ternyata aku sering jadi alasan kenapa kamu menangis.

Aku berdoa, semoga kamu selalu sukses di jalan kamu. Aku sayang kamu. Aku masih sayang kamu, Nin.

***

Beberapa bulan berlalu dan sekarang aku bukan lagi siswa di SMA Harapan. Aku sudah lulus dengan nilai yang cukup memuaskan. Oh, ya, soal kuliah ... aku sudah berbincang banyak dengan orang tuaku. Sebetulnya, aku diterima di salah satu universitas negeri yang ada di luar kota. Namun, orang tuaku menyuruhku untuk tetap berada di Jakarta dengan mempertimbangkan karirku. Padahal, karirku sedang tidak baik-baik saja. Aku juga tidak tahu bagaimana ke depannya. Tapi, mereka tetap mempercayaiku sepenuhnya. Akhirnya, aku dan orang tuaku memutuskan untuk kuliah jurusan Televisi dan Film di universitas swasta di Jakarta.

Sebenarnya, mau universitas swasta atau negeri tetap memiliki kualitas yang bagus. Semuanya tergantung bagaimana mahasiswa tersebut mau mengembangkan dirinya.

Papa tersenyum, lalu menghampiriku yang tengah bergegas untuk berangkat ke kampus. "Dim, harus serius, ya, kuliahnya!"

Aku mengangguk. "Pasti, Pa."

"Papa yakin, semua hal berat yang lagi kamu alamin bakalan lewat. Suatu hari nanti, kamu bisa jadi aktor besar. Aktor yang bisa memerankan banyak peran yang hebat. Sekarang, kamu semangat kejar ilmu dan kembangin diri sebaik-baiknya."

"Makasih, ya, Pa."

Ia mengangguk. "Sana berangkat."

Dua puluh menit kemudian, aku sampai di kampus. Ini adalah hari pertamaku untuk masuk kuliah setelah melalui masa orientasi.

"Dah, sayang! Aku ke kelas dulu, ya!" kata seorang cowok, sambil melambaikan tangannya ke arah cewek yang ada di sampingnya.

Si cewek tersenyum hangat, lalu melambaikan tangannya juga. "Dah! Semangat, ya! Kabarin aku, ya, kalau udah selesai kelas! Nanti pulang bareng, oke?"

Aku nggak asing sama dia. Dia juga ngelihat ke arahku. Nggak lama, dia tersenyum sumringah. "Hai, lo inget gue nggak?"

Aku mengerutkan dahiku. "Nata?"

Dia berdecak kesal. "Nada! Nata emangnya gue Nata de Coco?"

Aku tertawa. "Oh, iya, gue inget, kok."

"Eh, by the way, gue udah nonton film pertama lo itu, lho. Nontonnya bareng sama pacar gue. Waktu itu, gue milih buat lebih percaya sama dia daripada orang lain. Sekarang, kita pacaran lagi, sekampus juga. Jangan bilang, lo maba di sini juga?" tanya Nada panjang lebar.

Aku mengangguk. "Iya, gue kuliah di sini juga. Oh, ya, makasih udah nonton."

"Sama-sama. Lo ada project baru lagi? Berperan sebagai apa?"

Aku menggeleng. "Hm, belum ... belum ada lagi."

"Nanti juga lo bakal main film lagi, tinggal tunggu waktunya aja. Akting lo juga bagus di film yang kemarin."

"Oh, ya? Beneran?"

Nada mengangguk. "Iya, ngapain banget gue bohong? Pacar gue aja yang cowok sampe muji lo."

Aku tertawa. "Makasih, ya. Salam juga buat cowok lo."

"Nggak nyangka banget bakalan sekampus sama lo. Ambil jurusan apa?"

"Televisi dan Film. Lo?"

Nada mengangguk. "Gue ambil Ilmu Komunikasi. Masih sefakultas, ya, kita?"

"Iya, kebetulan banget!" balasku.

"Oh, ya, cewek yang waktu itu lagi lo galauin gimana?" tanya Nada, membuatku mengerutkan dahiku. "Cewek yang gue galauin?"

"Iya, cewek yang ada di dompet lo itu."

Aku tersenyum miris. "Oooh, dia. Dia baik-baik aja, kok. Kabarnya malah dia makin bahagia sekarang. Dia hampir bisa raih apa yang dia mau selama ini."

"Apa?"

"Dia mau banget jadi penulis."

Nada menatap dengan antusias. "Oh, ya? Keren banget! Salam, ya, buat dia! Gue mau ke kelas dulu. Ada kelas bentar lagi," kata Nada.

Aku baru bisa menyampaikan salam dari Nada untukmu lewat tulisan ini, Nin. Karena pada saat itu pun, aku benar-benar kehilangan kamu. Kehilangan kabarmu, kehilangan ceritamu, kehilangan semuanya tentang kamu.

TBC

Author Note:

Jangan amuk akooo 🙈 di sini Dimas malah jadi satu lingkup sama Nada 🤪 tapi Nada emang baik kok. Bener kan? Bener kan? Thanks for reading 🖤

Alya Ranti

Dari Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang