BAB 9

316 92 28
                                    

BAB 9 ::: Langit dan Pelangi

"Langit itu, nggak selalu cerah, juga nggak selalu mendung. Kadang-kadang terlalu panas, kadang-kadang juga hujan deras. Aku nggak bisa janji buat terus ketawa dan bahagia karena tanpa bisa aku kendaliin pasti akan ada banyak hal yang bisa bikin aku sedih."

***

Kalau aku disuruh bikin ucapan terima kasih tentang apa yang udah aku raih sekarang. Aku mau bilang ribuan ucapan terima kasih ke kamu, Nin. Karena kamu yang nemenin aku untuk ngejar mimpiku. Kayak waktu itu, waktu kamu nemenin aku ke salah satu Production House. Kalau boleh jujur, lebih tepatnya lagi, itu adalah Production House yang memfilmkan "Aku dan Segala Cerita di Dalamnya". Iya, novel kamu yang menceritakan tentang kita, Nin.

Kita pernah ke sana waktu kita SMA. Tapi, dalam situasi dan kondisi yang beda. Ya, aku bangga sama kamu. Kamu berdiri di sini sebagai penulis yang hebat sekarang. Bukan lagi gadis lugu dengan sejuta mimpinya.

Waktu itu, pas aku casting, kamu nunggu di ruang tunggu yang nggak jauh dari sana. Di casting itu, aku gugup banget. Aku juga inget kalau performa akting yang aku tunjukin waktu itu bener-bener jelek banget. Tapi, itu bukan sesuatu yang harus disesali.

Karena, nggak akan ada aku yang sekarang kalau nggak ada aku yang dulu.

Tapi, setelah aku ke luar dari ruangan casting, kamu kelihatan gemetar dan nggak baik-baik aja. Akhirnya, waktu itu aku mutusin buat ajak kamu ke luar dan bergegas ke salah satu kafe buat bikin kamu ngerasa lebih baik.

Tapi, selama di perjalanan, kamu berkali-kali minta maaf karena harus kalut di hari casting-ku. Padahal, nggak ada alasan kenapa kamu harus minta maaf, Nin. Itu bukan salah kamu. Karena kamu pun nggak mau, kan, ada di posisi itu?

"Kak Dimas kenapa nggak jawab, sih? Kak Dimas marah?" tanya kamu lagi. Karena berkali-kali kamu tanya aku marah atau enggak.

Aku justru ketawa karena tingkah kamu yang menggemaskan. Gimana bisa aku marah sama kamu?

"Kenapa harus marah, Nin? Gue cuma bilang kalau lo nggak harus terus-terusan ngerasa bersalah. Ya, emang, sih, enggak ada salahnya ngucapin kata maaf, tapi kayaknya lo udah kebanyakan minta maaf, deh. Lo minta maaf atas sesuatu yang bukan salah lo," jelasku.

Ya, karena kamu selalu minta maaf sama sesuatu yang sebenernya juga bukan salah kamu.

"Ya, tapi aku beneran minta maaf karena—"

"Nin, sekali lagi minta maaf, gue getok, ya?"

"Emangnya Kak Dimas berani?"

Aku ketawa dan acak-acak rambut kamu. "Ya, enggaklah, Nin. Mana berani gue mukul anak kesayangan mama yang satu ini?" ledeknya.

"Maksud Kak Dimas aku anak mama?" tanya kamu, dengan dahi berkerut dan bibir kamu yang cemberut.

Aku ketawa lagi. Mungkin, kamu bakalan tambah kesel. Tapi, aku nggak bisa jelasin gimana lucunya ekspresi kamu kalau kamu kesel. "Ya, iya, emangnya lo anak siapa?"

"Kak!" dumelmu, dengan wajah kesal dan bibir yang cemberut. Bukannya kesal, tapi aku justru tertawa karena tingkah lugu dan lucumu.

"Apa?" tanyaku dan malah lanjut meledek.

Kamu mendengus dan mencubit lenganku. "Kak Dimas, kok, makin ngeselin, sih!"

"Eh, sakit, Nin!"

Kamu memeletkan lidahmu. "Biarin aja, biar Kak Dimas tahu rasa!"

"Badan lo kecil-kecil, tenaga lo kuat juga buat nyubit gue," balasku. "Sakit tahu, Nin," kataku pura-pura sambil mengusap lenganku.

Matamu justru menatapku khawatir. "Hah? Emangnya sesakit itu, ya, Kak?" Matamu menatap lenganku dengan dahi yang berkerut.

Aku mengangguk. "Iya, sakit tahu, Nin."

Kamu menepuk-epuk tanganku. "Yah, maaf, Kak. Padahal tadi kayaknya nyubitnya nggak kenceng-kenceng banget. Sakit, ya?" tanyamu.

Aku tertawa lagi dan mengacak gemas rambutmu. "Bercanda! Kena tipu!" Kini aku memeletkan lidah ke arahmu.

"Kak Dimas! Kakak mau aku cubit lagi?" kesalmu dengan dahi yang berkerut dan bibir yang cemberut.

Aku senyum dan natap kamu. "Nin, janji, ya?"

"Janji apa?" tanya kamu bingung. "Janji buat nggak cubit Kak Dimas lagi?"

Aku menggeleng sambil tertawa pelan. "Enggak ... bukan itu."

"Terus? Kalau bukan itu apa?" tanyamu bingung. "Janji buat nggak pukul-pukul lagi?"

"Bukan ... bukan juga," jawabku, membuatmu berdecak kesal lagi.

"Terus apa?" tanyamu dengan menatapmu lekat dengan tatapan polosmu itu.

Aku menyeka rambutmu yang sedikit berantakkan ke belakang telingamu. Setelah itu, aku menatapmu sambil tersenyum. "Janji untuk terus ketawa dan bahagia."

Setelah kamu denger itu, kamu cuma senyum ke arah aku.

"Kak Dimas tahu nggak filosofi langit?" Kini kamu bertanya.

Aku menatap ke arah langit, memikirkan apa maksudmu, tetapi aku tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Ibu Penulis saat itu. Aku kembali menoleh ke arahmu dan menggelengkan kepala. "Nggak, emangnya apa, sih, Ibu Penulis?"

"Langit itu, nggak selalu cerah, juga nggak selalu mendung. Kadang-kadang terlalu panas, kadang-kadang juga hujan deras. Aku nggak bisa janji buat terus ketawa dan bahagia karena tanpa bisa aku kendaliin pasti akan ada banyak hal yang bisa bikin aku sedih," jawabmu. "Tapi, sebisa mungkin aku akan berusaha untuk jadi langit."

"Kenapa lo mau jadi langit?"

Kamu mengangguk. "Iya, langit yang selalu berusaha buat tetep bertahan apa pun keadaannya."

Aku tersenyum. "Kalau gitu, biar gue jadi pelanginya."

"Kenapa pelangi?"

"Iya, pelangi yang berusaha buat bikin langit terus senyum dan bahagia."

TBC

Author Note:
Dimas .... jujur gue baper sama lo. Jadi cowok kenapa manis banget sih 😫 Thanks for reading ❤️

Alya Ranti

Dari Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang