BAB 48

298 79 19
                                    

Suara tawa Nada memecahkan suasana yang sebelumnya terasa begitu tegang. "Nggak. Nggak ada yang aku sembunyiin, kok. Tadi, kan, kamu nanya tentang pendapat aku soal filmnya. Makanya aku jawab. Kenapa jadi tegang banget, sih? Santai aja, sayang," kata Nada sambil mencubit pipiku dengan kedua tangannya, tak peduli di sekeliling kami banyak orang.

"Oke, thank you, ya, Nad. Habis ini kamu mau ke mana?" tanyaku.

"Aduh, aku lupa lagi bilang sama kamu."

"Bilang apa?"

"Ya, hari ini rencananya aku mau ketemu gitu sama temen aku. Katanya, sih, dia mau ke sini," jawab Nada dengan santai.

"Oh gitu. Ya, udah, aku temenin kamu ketemu sama temen kamu, ya?" pintaku, tetapi entah mengapa Nada justru menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dia ... seperti benar-benar tidak mau kalau aku menemaninya.

"Enggak, nggak usah."

"Kenapa?"

"Ya, soalnya dia udah nunggu di lobi utama. Kalo kamu ke luar, pasti bakalan lebih rame karena pasti banyak fans kamu dan kamu juga harus ambil mobil dulu. Biar lebih simple aja," jawab Nada logis. Secara logika, apa yang dia bilang bener. Bakalan lebih simple kayak gitu.

Aku memicingkan mata ke arah Nada. Iya, aku tahu kalau hubungan itu harus didasari oleh rasa percaya satu sama lain, tapi sikap Nada bener-bener nunjukkin kalo dia lagi ngumpetin sesuatu.

"Please, aku juga butuh girl time sama temen aku, Dim. Dia itu Kana, temen sejurusan aku waktu kuliah itu, lho? Kan kamu juga udah pernah aku kenalin."

Belum sempat menjawab pertanyaan Nada, segerombolan remaja datang menghampiriku untuk meminta berfoto bersama.

Nada tersenyum. "Aku duluan, ya?"

Aku pada akhirnya menganggukkan kepala sebagai tanda persetujuan dari permintaan Nada. Nada terlihat sangat senang, lalu beranjak pergi dan melambaikan tangan.

"Hai, Kak Dimas! Maaf, ya, kalau ganggu waktu sama pacarnya." Salah satu dari mereka meminta maaf.

Aku justru terkekeh gemas dengan tingkah lugu mereka. "Hei, nggak usah minta maaf, dong. Ayo foto bareng-bareng!"

Akhirnya kami berfoto dan membicarakan sedikit tentang film Kita dan Segala Cerita di Dalamnya karena mereka juga ikut menonton gala premiere film tersebut.

"Filmnya bagus, kalo aku suka banget sama sinematografinya, apik! Nontonnya tuh jadi dibikin nyaman dan dimanjain banget. Aku ngikutin ceritanya dan baca novelnya, lho. Aku nggak nyangka kalau ini beneran kisahnya Kak Anin sama Kak Dimas," komentarnya.

Aku tersenyum. "Iya, itu emang cerita kita berdua di masa lalu."

"Kak Dimas baik banget, sih! Kak Anin juga baiiiiik banget sama aku. Kakak tahu nggak? Kak Anin suka bales-balesin DM di Instagram, lho, dan jawab pertanyaan aku kalau lagi bingung soal kepenulisan."

Ibu Penulis yang menepati janji. Dulu, kamu emang bilang kalau suatu saat nanti kamu jadi penulis yang sukses, kamu bakalan bantuin penulis-penulis pemula yang lagi ngerasa kesusahan. Katamu, kamu udah pernah ngerasain itu dan kamu mau kalau penulis-penulis pemula itu ada yang bantu. Penulis pemula, kan, kalau diasah lama-lama juga bakalan bisa jadi professional suatu hari nanti. Katamu, sih, begitu.

"Kak? Kak Dimas? Kak ...?"

Aku tersadar dari lamunanku. "Iya, dia emang baik. Baik banget."

"Oke, Kak Dimas, makasih banyak, ya. Semoga Kita dan Segala Cerita di Dalamnya tembus 10 juta penonton, ya!"

"Aamiin, makasih banyak."

Baru aja diomongin, aku ngelihat kamu lagi jalan berdua sama seorang cowok berpostur tubuh ideal, warna kulitnya sawo matang, rambutnya terlihat rapi, tapi wajah kamu justru kelihatan risih dan nggak nyaman banget.

Dari Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang