EPILOG

550 82 25
                                    

"Kamu berhak buat dapet cinta dari seseorang yang hatinya seutuhnya buat kamu. Buat apa kamu berharap cinta dari seseorang yang hatinya bukan buat kamu? Yang hatinya masih di masa lalu?"

***

Mungkin, penonton menonton sebuah kisah di depan layar dengan apa yang ditampilkan, dengan apa yang terlihat. Namun, mereka tidak benar-benar tahu apa yang sebenarnya terjadi dari balik layar.

Dari balik layar, ada banyak kisah dan ada banyak pilu yang tidak ditunjukkan ke banyak orang.

Jika ada yang bilang menjadi seniman itu gampang, aku tidak setuju dengan hal itu.

Bagiku, menjadi seniman tidak bisa asal bekerja. Namun, seniman harus mencurahkan seluruh pikiran, perasaan, dan fisik untuk karya yang sedang diupayakan.

"Aku udah coba buat itu, Pram. Aku udah coba buat cinta sama kamu, tapi aku nggak bisa buat bohongin perasaan aku sendiri," jawabmu.

Pram menatapmu dengan tatapan penuh tanda tanya. "Maksud kamu, Nin?"

"Aku nggak mau, Pram. Nggak mau pada akhirnya nyakitin kamu lebih dari ini. Aku takut, raga aku sama kamu, tapi pikiran aku di masa lalu."

"Nin, itu cuma perasaan kamu aja. Kamu cuma kebawa suasana karena habis nonton film kamu. Nin, maksudnya apa, sih?"

Kamu menepuk pundak Pram. "Pram, kamu baik banget. Kamu berhak buat dapet cinta dari seseorang yang hatinya seutuhnya buat kamu. Buat apa kamu berharap cinta dari seseorang yang hatinya bukan buat kamu? Yang hatinya masih di masa lalu?"

"Apa kamu nggak bahagia sama aku?"

"Nggak gitu, tapi aku nggak bisa bohongin perasaanku sendiri. Aku juga nggak ngerti sama perasaanku, Pram.    Aku minta maaf, ya?"

Pram menatapmu penuh harap. "Nin, apa kamu nggak mau coba lagi? Aku akan jadi sosok yang kamu mau."

"Pram, aku bisa aja dan akan gampang buat aku pura-pura cinta sama seseorang, pura-pura sayang sama seseorang, dan pura-pura peduli sama seseorang. Itu akan gampang, Pram. Tapi, akan sulit rasanya buat kamu pura-pura nggak cinta sama seseorang. Sulit banget rasanya buat kamu pura-pura nggak peduli sama seseorang. Aku nggak mau, kepura-puraan itu justru nyakitin aku, nyakitin kamu, dan nyakitin orang lain juga. Aku minta maaf, Pram."

Pram menutup kotak cincin yang tadinya ingin dia berikan padamu. Lalu, dia pergi meninggalkanmu dengan raut wajah kecewa.

Kamu terlihat menarik napas untuk beberapa saat, lalu kembali berjalan. Sampai akhirnya, kamu menatapku yang berdiri tak jauh dari tempat kamu berpijak.

"Nin, nggak pa-pa?" tanyaku.

"Nggak pa-pa kenapa?" Kamu justru membalikkan pertanyaanku.

"Enggak, muka lo soalnya nggak biasanya kayak gitu."

Kamu tersenyum ke arahku. "Nggak pa-pa, kok, Dim. Makasih banyak, ya. Tadi euforianya rame banget. Makasih banyak karena udah nulis cerita keduanya. Keren banget! Ceritanya touchy banget, pesan yang mau kamu sampein juga kerasa banget. Selamat, ya!"

Aku membalas senyumanmu. "Makasih juga, ya, Nin."

Tanpa aba-aba, kamu memeluk tubuhku. Aku terdiam sejenak, sebelum akhirnya membalas pelukanmu. Bukannya aku geer, tetapi rasanya pelukan yang kamu berikan tidak terasa seperti pelukan yang diberikan oleh rekan kerja, tetapi lebih dari itu.

Kamu meletakkan dagumu di bahuku, lalu mendekapku dengan begitu erat. "Makasih banyak, ya."

"Iya, gue juga yang makasih banyak ke lo."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 31, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Dari Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang