BAB 50

722 105 79
                                    

Kalau kubilang, aku sekarang kehilangannya, kurasa tidak. Karena mungkin, sejak awal aku tidak pernah memilikinya.

***

Selama di perjalanan, ponselku tidak henti-hentinya berbunyi. Nada berkali-kali meneleponku dan mengirimkanku banyak sekali pesan.

Nada: Dim, kita harus ngobrol, kita nggak bisa selesai gini aja.

Nada: Aku tahu aku salah. Aku tahu harusnya aku nggak bohongin kamu.

Nada: Kita udah bertahun-tahun bareng, lho, Dim. Masa selesainya nggak baik-baik?

Nada: Dim, i'm sorry. Aku sama sekali nggak maksud mau nyakitin kamu.

Nada: Dim, aku tahu kamu baca. Aku ke rumah kamu sekarang, ya?

Aku menghela napas gusar.

Dimas: Nggak usah.

Nada: Aku harus ketemu kamu.

Dimas: Butuh waktu.

Nada: Oke, besok, ya?

Dimas: Aku sibuk.

Nada: Bohong, aku ke rumah, ya, besok?

Dimas: Besok ada jadwal promo.

Dimas: Be happy aja sama pilihan yang udah kamu bikin, perasaan kamu juga masih di Niko, kan? Don't worry about me.

Dimas: Aku cuma kecewa, aku nggak suka dibohongin.

Setelah itu, aku mematikan ponsel. Aku terlalu kacau sekarang. Yang paling nyakitin tuh bukan karena Nada selingkuh sama Niko, tapi karena aku ngerasa dibohongin. Entah udah berapa kebohongan yang Nada buat untuk nutupin hubungannya sama Niko.

Oke, perasaan emang nggak pernah bisa dipaksa. Aku paham itu, kok. Akan ada orang yang selalu punya posisi di hati kita. Aku juga paham. Tapi, kenapa harus udah sejauh ini, tapi Nada juga belum bisa jujur tentang perasaannya ke aku? Harusnya, mungkin, sebelum tunangan Nada bisa bilang semuanya ke aku. Sebelum semuanya terlalu jauh.

Bertahun-tahun aku sama dia. Bahkan, hubunganku sama dia adalah hubungan terlama yang pernah kujalanin, tapi untuk jujur aja dia masih sulit.

Kedekatanku sama Nada emang berawal dari pura-pura jadi pacarnya, cuma buat bikin Niko cemburu. Mungkin, harusnya aku sadar dari awal kalau semua yang Nada lakuin emang berputar buat Niko, ya?

Mungkin aku yang terlalu bodoh, mungkin aku yang terlalu naif.

Hujan yang tadinya cuma rintik-rintik aja, makin lama semakin deras.

Kalau ditanya sedih, marah, atau kecewa. Kecewa adalah kata yang paling cocok untukku sekarang.

***

Hujan sudah cukup mereda, sisa gerimis halus yang masih membasahi jalanan malam Ibu Kota. Setelah satu jam mengendarai mobil tak tentu arah, aku memutuskan untuk berhenti di sebuah kafe sederhana. Aku beberapa kali ke sini. Kafenya nggak terlalu besar, tapi cukup, juga nggak terlalu ramai, jadinya aku bisa ngerasa nyaman di sini.

Aku memesan segelas espresso. Rasanya memang pahit, tetapi kadang pahit yang jujur akan lebih baik dibanding manis yang semu. Mungkin, pahit dan manis dapat diibaratkan sebagai kejujuran dan kebohongan.

Pahit juga terkadang lebih bersahabat.

Bau petrikor menyusup ke dalam hidungku. Aku kini memejamkan mata, merasakan pahitnya kopi, dan merasakan udara malam merasuk ke dalam kulitku.

Dari Balik LayarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang